Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
“Terus bergerak adalah bagian dari hal yang menggerakan harapan itu sendiri,” kata Suciwati.
Suciwati sempat hendak menyerah dan menghentikan Aksi Kamisan.
Banyak anak muda yang memahami gerakan Aksi Kamisan sebagai upaya menjaga solidaritas.
BAGI Suciwati, harapan akan penegakan hak asasi manusia (HAM) tak bakal pernah luntur. Dengan tidak berdiam diri dan terus memperjuangkan keadilan, harapan atas penegakan kasus pelanggaran hak asasi manusia akan terus menyala. Dan semua itu, kata Suciwati, kini berada di tangan anak muda. “Terus bergerak adalah bagian dari hal yang menggerakkan harapan itu sendiri,” kata istri pejuang HAM Munir Said Thalib tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembari terus bergerak menyuarakan ketidakadilan, perempuan kelahiran Malang, 56 tahun lalu, ini juga masih terus memperjuangkan keadilan atas pembunuhan suaminya yang terjadi pada 2004. Terlebih pengusutan kasus ini tak kunjung menemukan titik terang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)—yang membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus itu—mengalami sejumlah ganjalan. Salah satunya adalah mangkirnya saksi yang akan diperiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua itu ia jalankan bersama kawan-kawannya dalam Aksi Kamisan. Gerakan perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM ini, sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang, masih konsisten berdiri di depan Istana Negara setiap Kamis saban pekan. Mereka tetap teguh menuntut keadilan di tengah kemerosotan Indeks Hak Asasi Manusia Indonesia.
Berdasarkan kajian Setara Institute yang dirilis bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2024, Indeks HAM Indonesia menurun jika dibandingkan dengan indeks pada 2023. Skor rata-rata untuk seluruh variabel pada Indeks HAM 2024 adalah 3,1 atau turun 0,1 dari tahun sebelumnya.
Suciwati dan kawan-kawannya juga enggan lepas harapan, meski urusan penegakan HAM pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto cemong oleh pernyataan Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Pada 21 Oktober 2024—sehari setelah Prabowo dilantik—Yusril menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran hak asasi berat. Yusril lalu meralat pernyataannya dan menyatakan bahwa yang ia maksud tak ada pelanggaran berat karena pada 1998 tak ada genosida atau pembantaian kelompok etnis.
Melalui sambungan telekonferensi dari Kota Batu, Jawa Timur, Suciwati menerima wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita, pada Kamis, 12 Desember 2024. Selama hampir satu jam, Suciwati bercerita soal bagaimana ia dan kawan-kawan terus bergerak, merawat ingatan bersama, agar harapan atas penegakan HAM di Indonesia tetap menyala. Berikut petikan wawancaranya.
Apa keresahan Anda atas penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia?
Hari ini, harapan penegakan HAM kita terasa menipis, ya. Lalu saya teringat tulisan-tulisan Cak Munir (Munir Said Thalib) pada 2001 dan saya buka lagi kemarin. Ketika itu Cak Munir juga menulis soal menipisnya harapan penegakan HAM di Indonesia. Bayangkan, pada 2001 saja, Munir merasa harapannya sudah menipis, apalagi sekarang, hancur mungkin, ya? Tapi kami harus terus membangkitkan harapan itu dan sasarannya sekarang adalah anak muda.
Mengapa anak muda? Apa yang bisa kita lakukan agar mereka tak kehilangan harapan atas situasi penegakan HAM di Indonesia?
Karena merekalah yang nanti meneruskan republik ini. Berikan mereka ruang, berikan mereka kesadaran soal bagaimana negara ini dikelola. Kesadaran soal betapa buruknya partai politik kita—kalau perlu, partai politik itu diboikot saja semua—karena merekalah yang melahirkan oligarki dan segala kekacauan saat ini. Anak muda harus tahu bahwa apa pun bentuk kezaliman harus dilawan.
Istri aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati. Dok. TEMPO/Rizki Dwi Putra
Salah satu ruang itu adalah Aksi Kamisan. Anda juga yang menginisiasi gerakan itu...
Januari 2025, Aksi Kamisan berusia 18 tahun, lho. Aksi Kamisan merupakan bagian dari ruang di mana saya terus menjaga harapan tadi. Aksi ini kemudian lahir di banyak tempat, sampai ada di 70 kota. Selain lewat aksi itu, saya masih sering diundang untuk berbicara dan berdiskusi di kampus-kampus. Saya lebih memilih berdiskusi langsung dengan anak muda dibanding muncul di publik luas.
Bicara soal Aksi Kamisan, bagaimana cara Anda dan kawan-kawan merawat gerakan itu?
Memang butuh konsistensi dan napas panjang. Gerakan ini terus ada karena kami terus berkomunikasi dengan banyak orang yang masih peduli. Tentunya juga didukung oleh keteguhan, kesetiaan, dan kegigihan masing-masing. Kami melihat gerakan ini sebagai cara kami mencintai Indonesia, meskipun kami terus dihantam dengan fitnah-fitnah keji dari orang-orang yang ingin berkuasa dan mengikuti nafsu angkaranya.
Bagaimana cara Anda menghadapi berbagai serangan itu, seperti tudingan Aksi Kamisan hanyalah aksi lima tahunan, yang sempat ramai di media sosial?
Mereka yang menyerang kami telah menggadaikan rasa kemanusiaannya. Mereka dibayar untuk menafikan dan menyerang korban, yang bagi saya itu hal jahat. Di luar itu, memang ada orang-orang yang tidak tahu karena tak mau belajar. Karena itu, kami terus menggaungkan agar anak muda tidak malas belajar dan membaca sejarah.
Semangat Anda masih sangat besar, ya...
Merawat semangat itu tentu prosesnya panjang. Jujur saja, kami sempat merasa, sudah deh (kami menyerah saja), apalagi kalau hanya sedikit orang yang datang ke Aksi Kamisan. Kami sempat berpikir akan membubarkan Aksi Kamisan ini kalau hanya tiga orang yang berdiri di sana. Hal seperti inilah yang melelahkan. Namun kemudian, saya menyaksikan rupanya banyak yang masih mendukung kami, bahkan para anak muda. Pernah juga ada seorang murid SMA yang bergabung.
Apa makna kehadiran mereka itu bagi Anda?
Hal itu cukup mengejutkan dan kami menyadari, oh ternyata suara kami didengar. Artinya gerakan ini diakui, kan, meski kami bisa melihat pemerintah masih terus saja berbohong.
Ketika bertemu dengan generasi muda, apa yang Anda sampaikan soal perjuangan HAM?
Mereka merasa bahwa aksi ini menjadi ruang semangat dan solidaritas. Mereka melihat, masak ada seorang ibu yang berdiri di sana memperjuangkan haknya dibiarkan seorang diri. Sesederhana itu sebetulnya.
Anda punya cerita soal persinggungan dengan generasi muda?
Ada. Anak SMA yang aktif mengikuti Aksi Kamisan ini sempat diskors oleh sekolahnya. Rupanya orang tuanya justru mendukung anaknya hadir dalam Aksi Kamisan. Ini kan keren sekali. Kami sempat hendak menulis surat untuk kepala sekolahnya, tapi akhirnya (anak SMA itu) tidak jadi diskors.
Akhirnya Aksi Kamisan menjadi ruang untuk masyarakat bersolidaritas, ya?
Banyak anak muda yang memahami gerakan ini sebagai upaya menjaga solidaritas. Bahkan banyak anak muda yang bilang gerakan semacam ini harus dibuat radikal. Dulu kan ada kejadian Sondang Hutagalung—mahasiswa Universitas Bung Karno—yang membakar diri di depan Istana Negara pada 10 Desember 2011. Kami menyayangkan cara seperti itu karena kami ini berjuang untuk menghargai nyawa, untuk hak asasi manusia.
Museum Munir yang Anda dirikan bisa menjadi sarana pembelajaran ihwal HAM. Bagaimana antusiasme anak muda yang datang ke sana?
Pada 2019, kami bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Batu hendak mendirikan museum ini di Kota Batu. Namun, karena kami melihat ada indikasi yang tidak baik dari pemerintah kota, kami batalkan perjanjiannya. Sekarang museumnya ada di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, ada Museum Munir. Sudah banyak kampus atau sekolah yang berkunjung. Bahwa banyak yang mau datang, pasti. Kami bebaskan saja orang mau datang.
Apa harapan Anda dengan adanya museum itu?
Memang masih kecil dan saya berharap museumnya bisa jadi lebih besar dan berdiri sendiri. Tapi kami sedang berpikir dan mengevaluasi sambil berefleksi sejauh mana efektivitas rencana itu.
Istri aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati saat mengikuti peringatan 19 tahun pembunuhan Munir, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 7 September 2023. TEMPO/Subekti.
Bagaimana cara Anda mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada dua anak Anda, Sultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati?
Saya biasa berdiskusi dengan anak-anak saya, bicara soal kejujuran, atau betapa pentingnya membela orang tertindas, dan mereka akhirnya belajar sendiri. Nilai-nilai itu tak hanya kami bicarakan dalam diskusi karena mereka pasti mendengarkan saya berbicara di media massa, berdiskusi dengan teman, atau ketika saya membuat acara. Mereka sering ikut. Saya hanya sebatas mengajarkan soal ruang moralitas yang harus mereka pilih. Pilihan-pilihan itu saya kembalikan kepada mereka. Ini jadi ruang hidup mereka.
Apakah ada inisiatif dari pemerintahan Presiden Prabowo untuk menemui para korban pelanggaran HAM?
Pada 2014, Prabowo sempat mengutus orang agar saya bertemu dengan dia. Tapi tentu saja posisi saya sudah jelas: buat apa saya harus datang kepada orang yang bermasalah terhadap kemanusiaan?
Menurut Anda, apa yang menjadi masalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia?
Problemnya jelas, soal ketidakmauan. Kedua, kita bisa melihat sistem yang tidak pernah berubah. Sistem itu adalah partai politik dan parlemen, yang isinya dari partai-partai itu juga. Ada yang mengaku independen, tapi ternyata sama saja. Problemnya jadi ruwet, sudah seperti benang kusut yang enggak bisa dicari mana ujungnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo