Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Dilema yang Luar Biasa

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kondisi perekonomian yang terus merosot akibat pandemi Covid-19. Berhentinya aktivitas masyarakat karena pembatasan sosial telah berpengaruh besar terhadap penurunan ekonomi pada kuartal kedua yang diperkirakan minus 4,3 persen. Ia menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi pandemi hingga menggerakkan kegiatan ekonomi.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja tertutup dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/7/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pandemi Covid-19 telah menggerus pertumbuhan ekonomi nasional hingga diperkirakan minus 4,3 persen pada kuartal kedua 2020.

  • Pemerintah berfokus membelanjakan anggaran sebagai katalis untuk memulihkan kembali sisi permintaan ekonomi yang anjlok karena dampak pembatasan sosial.

  • Menurut Sri Mulyani, kegiatan perekonomian harus kembali bergerak untuk mencegah potensi terjadinya kebangkrutan massal.

PERTUMBUHAN ekonomi nasional terus tergerus akibat pandemi Covid-19. Pemerintah memperkirakan ekonomi pada kuartal kedua merosot drastis hingga minus 4,3 persen akibat berhentinya sebagian besar aktivitas masyarakat dalam tiga bulan terakhir. “Penurunan ini terutama dikontribusikan oleh konsumsi yang turun cukup tajam,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 57 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 17 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan investasi yang juga terus menurun, Sri Mulyani mengatakan perekonomian masih akan tertekan hingga beberapa bulan mendatang. Apalagi DKI Jakarta dan Jawa Timur, dua provinsi yang menyumbangkan lebih dari 30 persen dari produk domestik bruto (PDB), masih berjibaku mengendalikan penyebaran virus corona. Karena itu, pemerintah kini berfokus membelanjakan anggaran untuk memulihkan kembali demand masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pagebluk melanda Tanah Air pada Maret lalu, pemerintah mengeluarkan sederet kebijakan penyelamatan ekonomi yang tak jarang menuai kontroversi, dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang penanganan Covid-19 yang digugat ke Mahkamah Konstitusi hingga belanja anggaran perjalanan dinas senilai Rp 4,1 triliun. Pemberian stimulus yang memicu defisit anggaran hingga lebih dari Rp 1.000 triliun juga memantik kritik publik. “Membikin policy pasti ada risikonya,” ucap Sri Mulyani.

Melalui konferensi video dari kantornya, Sri Mulyani berbincang dengan wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Khairul Anam, dan Ghoida Rahmah. Selama sekitar satu jam, Direktur Pelaksana Bank Dunia 2010-2016 ini menceritakan strategi pemerintah menghadapi pandemi, pentingnya kegiatan ekonomi kembali bergerak, hingga ancaman resesi.

Seberapa terpuruk kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19?

Covid sudah menjangkiti lebih dari 200 negara dan wilayah di dunia. Di Indonesia sekarang sudah mencapai di atas 80 ribu kasus positif dengan angka kematian 3.797 jiwa. Dengan episentrum pertama wabah di Jakarta, kami langsung tahu Covid tidak hanya menjadi masalah kesehatan. Jakarta merupakan daerah yang berkontribusi sangat besar terhadap ekonomi, yaitu 18 persen dari PDB. Jawa Timur, yang sekarang menjadi episentrum kedua, menyumbang 14,9 persen. Total dua itu saja sudah lebih dari 30 persen. Kalau kita tambah dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat, dampak Covid pasti mempengaruhi perekonomian sangat besar. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berimbas pada kegiatan sosial-ekonomi. Dampaknya cukup besar, terutama di sektor transportasi yang kemudian langsung berhenti. Inilah mengapa terjadi kemerosotan ekonomi di kuartal pertama dari biasanya di atas 5 persen menjadi hanya 2,97 persen. Dengan penerapan PSBB di berbagai daerah selama lebih dari tiga bulan, pengaruhnya bukan lagi hanya pada sektor transportasi, tapi juga perdagangan, manufaktur, dan sektor jasa konstruksi. Kami melihat penurunan ekonomi di kuartal kedua diperkirakan minus 4,3 persen, terutama dikontribusikan oleh konsumsi yang turun cukup tajam.

Pertumbuhan ekonomi terpukul ketika sektor konsumsi tak berjalan?

Sisi konsumsi merupakan salah satu kontributor yang besar dalam PDB, yaitu 56,6 persen. Konsumsi terutama yang nonmakanan, seperti transportasi, pakaian, perumahan, restoran, dan barang elektronik, merosot sangat tajam. Yang nonmakanan ini terhadap total konsumsi hampir 60 persen. Jadi, kalau mereka menurun, konsumsi pasti mengalami kemerosotan. Karena tingkat konsumsi merosot, PDB juga merosot. Penurunan ekonomi di kuartal kedua lebih dalam dari yang kami perkirakan sebelumnya, yaitu minus 3,8 persen. Kuartal kedua memang akan sangat berat. Sebab, anggaran belum turun semua karena baru selesai refocusing, realokasi, dan ditambah (anggaran), tapi eksekusinya baru mulai Juni.

Bagaimana dengan sektor investasi?

Investasi juga menurun karena terjadi penghentian kegiatan ekonomi. Kami perkirakan investasi itu kontraksinya mendekati 8 persen. Jadi kalau dua komponen, yaitu konsumsi dan investasi, merosot negatif, ekonomi kita juga pasti mengalami kontraksi. Karena dua ini saja sudah menjelaskan lebih dari 88 persen dari total PDB. Jadi demand-nya terkena, yaitu konsumsi dan investasi. Ekspor juga melemah karena globalnya melemah. Semua komponen permintaan dari ekonomi kita merosot.

Apa jalan keluar yang diambil pemerintah untuk mengatasinya?

Satu-satunya yang diharapkan hanya belanja pemerintah. Inilah mengapa kami sekarang berfokus pada bagaimana pemerintah membelanjakan (anggaran) dan menjadi katalis untuk memulihkan kembali sisi permintaan ekonomi. Kalau dari sisi supply-nya, sejak PSBB tentu tidak ada pergerakan, makanya transportasi langsung terkena. Kemudian hotel dan restoran terkena, perdagangan, dan sekarang sektor konstruksi real estate serta manufaktur. Ini yang menjadi pemikiran pemerintah, bagaimana caranya memulihkan ekonomi. Tentu sisi kesehatan tetap menjadi fokus utama. Kalau kesehatannya tidak pulih, ya ekonominya tidak akan bisa pulih.

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dengan agenda membahas percepatan pemulihan ekonomi nasional di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 29 Juni 2020. Tempo/M. Taufan Rengganis

Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan soal rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Bagaimana memastikan belanja pemerintah betul-betul berkualitas dan berhasil mengalirkan kembali konsumsi domestik?

Pemerintah, dalam mengkonstruksikan respons kebijakan fiskal, mengikuti logika potential domino effect, yaitu dampak kesehatan yang mempengaruhi sosial, ekonomi, dan keuangan. Kebijakan fiskal ditetapkan lewat undang-undang (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang prosesnya panjang. Kami mendesain APBN 2020 dengan defisit yang mengecil, yaitu 1,76 persen dari PDB, primary balance-nya hampir nol karena kami memperkirakan ekonomi sudah membaik. Tapi ternyata, dengan Covid, semuanya berubah sehingga kami melihat APBN langsung terkena. Dari sisi penerimaan pajak merosot. Di sisi lain, belanja untuk kesehatan naik. Lalu bantuan sosial ditambah karena banyak orang tidak bekerja, penerimaan masyarakat merosot, terutama kelompok pekerja atau miskin. Dampaknya pada sektor ekonomi, usaha kecil-menengah gulung tikar, tidak bisa jualan, tidak bisa bekerja, mereka mungkin berhenti atau bangkrut. Sektor keuangan, yang meminjamkan uang kepada sektor usaha, juga akan terkena. Jadi efek domino inilah yang coba kami atasi.

Bagaimana caranya?

Maret lalu, kami sudah bicara bahwa respons pertama kalau APBN harus menjadi instrumen paling penting dalam situasi ini, tidak akan mungkin kami menahan di defisit 3 persen. Melalui perpu, defisit 3 persen direlaksasi dalam situasi khusus. Namun kami juga berhati-hati karena suatu negara kalau defisitnya sudah dibuka akan tuman (ketagihan). Kalau sudah di atas 3 persen itu kan gampang, enggak usah nyari pajak, belanja terus, tinggal bikin utang, utang, utang. Di semua negara seperti di Eropa dan Amerika Latin sudah terjadi. Ini bisa menciptakan bahaya disiplin fiskal yang membuat kita kolaps. Padahal 20 tahun terakhir kita terkenal hati-hati menjaga kebijakan fiskal sehingga ekonomi selalu bisa tumbuh dengan stabil. Karena itu, kami kunci relaksasi defisit hanya tiga tahun, sampai 2022. Kami memperkirakan (Covid) seperti wabah flu Spanyol yang terjadi 18-24 bulan plus pemulihannya.

Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan ada batas atas defisit anggaran sehingga kemungkinan terburuknya bisa diantisipasi karena pembiayaan defisit berasal dari utang. Mengapa batas atas defisit belum ditentukan?

Sebetulnya batas atas defisit termasuk yang dibahas di kabinet sewaktu menyusun perpu. Dalam kabinet ada yang mengatakan, apa perlu dikasih batas baru, maksimal 5 atau 10 persen.

Bagaimana respons Anda saat itu?

Waktu itu saya mengatakan begini, "Apakah di ruangan ini ada yang tahu Covid-19 berlangsung berapa lama dan seberapa dahsyat?" Saat itu, seluruh dunia panik, harga saham kita jatuh, nilai rupiah tertekan hampir mendekati 16 ribu, terjadi capital flight sampai Rp 124 triliun hanya dalam satu minggu. Saya bertanya itu dan enggak ada yang tahu. Kalau enggak tahu, kenapa membuat batas yang kalau nanti ternyata perlu defisit lebih tinggi kami perlu bikin perpu lagi. Saya tanya berapa kebutuhan anggaran kesehatan, juga enggak ada yang bisa jawab. Sebagai Menteri Keuangan, saya menyampaikan tak ada alasan tidak bisa melakukan langkah-langkah pengamanan kesehatan karena enggak ada uang. Saya taruh dulu saja uang di situ, nanti pengelolaannya dilihat. Maka fleksibilitas penting, tapi tetap akuntabel dan hati-hati.

Pemerintah dikritik karena dianggap kurang serius memperhatikan protokol kesehatan saat melonggarkan pembatasan sosial untuk menggerakkan kembali aktivitas ekonomi. Tanggapan Anda?

Saya dalam posisi protokol kesehatan itu non-negotiable. Jadi bukan kebijakannya, tapi masalah disiplin semua orang. Masih butuh banyak edukasi dan sosialisasi. Tapi banyak orang menanyakan ke pemerintah bolehkah membuka kembali restoran, mal, dan lain-lain. Kalau pemerintah bilang enggak boleh, lalu apa alternatifnya. Orang kan enggak bisa terus diam selama enam bulan. Tapi begitu dibuka akan terjadi (penularan). Makanya kalau Anda lihat di semua negara, di Tokyo, bahkan di Seoul, mereka membuka kembali, begitu terjadi outbreak, tutup lagi. Beijing dan California juga begitu. Poin saya begini. Semua pembuat kebijakan pasti mendapat tekanan luar biasa. Masalah kesehatan, ekonomi, kelangsungan hidup banyak orang. Permintaan membuka masjid, gereja, itu luar biasa. Ini kan sangat dilematis. Saya setuju kecepatan membuka ekonomi tidak boleh mengorbankan masalah kesehatan, karena cepat atau lambat ekonomi akan menekuk lagi kalau Anda meremehkan masalah kesehatan. Pilihan-pilihan kebijakannya selalu sangat sulit dan setiap policy pasti ada risikonya. Tapi tidak berarti kita kemudian menyerah atau tidak berani ambil risiko atau keputusan.

Pemerintah memberikan stimulus begitu besar dan defisit APBN 2020 melambung sampai Rp 1.039 triliun sehingga pemerintah harus berutang. Apakah tambahan utang itu berkelanjutan?

Soal defisit, saya selalu menggunakan persentase terhadap PDB, yaitu 6,34 persen. Waktu saya pertama kali menjadi Menteri Keuangan, rasio utang terhadap PDB masih di sekitar 58 persen. Sekarang persentase utang kita di 30 persen. Dengan defisit yang sekarang melonjak, pada akhir tahun bisa mencapai 36-37 persen. Soal berkelanjutan itu tergantung apakah pertumbuhan ekonomi pulih dan defisit akan menurun, serta suku bunga utang bisa terkendali. Kalau suku bunganya naik terus tapi pertumbuhan negatif, atau positif tapi sangat rendah, ya menimbulkan dinamika utang yang negatif. Kalau Anda melihat di negara-negara maju, seperti Jepang atau negara yang utangnya sudah 200 persen dari PDB dan ekonominya tetap di nol persen, ya lama-lama menggulung terus. Makanya negara-negara yang biasanya punya utang tinggi ini persoalannya apakah bisa menurunkan utangnya terhadap PDB melalui pertumbuhan ekonomi yang stabil. Itu paling sulit.

Soal cetak uang, sampai berapa Bank Indonesia bisa mencetak tanpa membuat pasar guncang?

Kalau kita lihat surat keputusan bersama pemerintah dengan BI (tentang pembagian beban pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional), situasi ini extraordinary dan exceptional. Maka kami dan BI membuat terobosan melalui perpu, yaitu sekarang BI bisa membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Itu sudah bisa menstabilkan dan menurunkan suku bunga karena pasar confident pemerintah punya defisit tapi juga ada bank sentral yang menjadi standby buyer. Kemarin kami dan BI bersepakat hal-hal yang berhubungan dengan public benefit, seperti kesehatan, bantuan sosial, untuk sektoral dan daerah, dibiayai dengan SBN yang diterbitkan menggunakan private placement di BI sebesar Rp 397 triliun. Itu betul-betul BI cetak uang karena saya nanti keluarkan surat utang, BI langsung kasih saya duit. Supaya market dan semuanya tetap confident  bahwa pemerintah Indonesia dan Gubernur BI tidak ugal-ugalan, kami umumkan ini hanya untuk situasi extraordinary, untuk tahun ini saja yang dalam bentuk cetak uang. Tahun depan kita masukkan lagi ke APBN. Saya dan Gubernur BI sudah menjelaskan kepada DPR, media, dan bicara kepada investor. Mereka paham dua orang ini ternyata tidak gila.

Singapura mengalami resesi ekonomi akibat pandemi ini. Apa strategi Indonesia agar tidak seperti Singapura?

Singapura negara kecil. Penduduknya hanya 5 juta dan denyut ekonominya semua bergantung pada ekonomi global. Ekspor dan impornya 100 persen lebih dari PDB. Transportasinya, Singapore Airlines, begitu terkena Covid, ya berhenti. Makanya langsung nyungsep dalam sekali. Indonesia, paling tidak, adalah negara besar. Populasi, permintaan domestik, dan wilayah geografinya besar. Orang masih bisa wira-wiri di antara kita sendiri. Jadi Indonesia masih punya sumber pertumbuhan dalam negeri yang lebih banyak opsinya dibanding Singapura. Tapi kita tetap terkena dampak kalau ekonomi dunia berkontraksi 5 persen. Ekspor kita enggak akan bisa tumbuh. Ini yang membuat salah satu mesin pertumbuhan ekonomi terganggu. Makanya kita harus konsentrasikan pada investasi dan konsumsi dalam negeri. Caranya, ya tadi, percaya protokol kesehatannya masih bagus sehingga orang makan di restoran enggak takut ketularan.

Sebagian pihak meminta pemerintah tidak hanya memberikan stimulus kredit atau bunga untuk usaha mikro kecil dan menengah, tapi juga memperhatikan korporasi besar. Bagaimana skema yang disiapkan?

Kita tahu, kalau ekonomi mau tumbuh, bank dan korporasi harus mulai jalan lagi. Makanya kami sekarang sedang memformulasikan bagaimana bantuan terhadap korporasi dan bank. Kami mungkin akan menggunakan seperti yang UMKM. Jadi ada uang dari pemerintah dengan bunga murah yang kemudian ditaruh di Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), sebetulnya istilahnya bank mitra. Kalau saya menaruh Rp 1 triliun, bank harus memberikan kredit tiga kali lipat. Banknya sendiri masih memegang risiko 20 persen, pemerintah 80 persen. Ini supaya banknya juga bertanggung jawab, jangan cuma buang-buang duit. Kemudian dijamin oleh Askrindo dan Jamkrindo yang juga masih dijamin lagi. Jadi ada dua lapis. Kami sedang memikirkan mekanisme seperti itu untuk korporasi.

Apa strategi yang disiapkan untuk mencegah terjadinya moral hazard?

Ini dilema yang luar biasa. Sebagai pengambil kebijakan, saya mengalaminya waktu kita bicara tentang Bank Century pada 2008. Selalu keputusannya nolong, enggak, nolong. Kalau menolong, kami mikirnya untuk kepentingan makro. Di tengah proses itu, dalam lingkup mikro, bisa saja ada orang mengambil untung yang disebut orang aji mumpung. Makanya pemerintah membuat policy, lalu dibuat rambu-rambunya. Pertama, karena ini bank milik pemerintah, tidak apa-apa kami taruh dulu (uangnya). Bank pembangunan daerah juga masih bisa kami awasi karena punya pemerintah daerah. Kalau bank umum lain, ya nanti kami lihat rekam jejaknya. Apakah mereka memang betul-betul punya program untuk mendorong ekonomi, ada nasabahnya atau tidak, apakah bisnisnya berjalan. Penempatan dana murah bukan hanya untuk menaruh dana kemudian bank mendapatkan untung, tapi dipakai buat memberikan kredit modal kerja kepada dunia usaha.

Bagaimana mekanisme pengawasannya?

Kami minta Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, kepolisian mengawasi. Sampai semua orang akhirnya malas mendapat uang dari pemerintah karena yang mengawasi lebih banyak dari yang mengerjakan. Itu yang terjadi sekarang.

Pada awal Juni lalu, Majalah Tempo menerbitkan laporan tentang defisit BPJS Kesehatan. Sebelumnya, Kementerian Keuangan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit atas BPJS Kesehatan dan merekomendasikan sejumlah perbaikan. Bagaimana perkembangannya?

Perbaikan sudah berjalan dan kami ada monitoring-nya. Dalam laporan BPKP misalnya disebut ada masalah pembersihan data. Semula ada 20 juta penerima bantuan iuran (PBI), tapi sekarang sudah dirapikan datanya tinggal 2 juta orang.

Juga kalau kita bicara soal masalah rumah sakit yang menagih pembayaran tidak sesuai kelasnya, itu sudah dikoreksi Kementerian Kesehatan. Mekanisme di BPJS Kesehatan untuk memeriksa billing dari manajemen rumah sakit juga sudah diperbaiki. Kalau masih ada indikasi fraud di rumah sakit, ya silahkan diinvestigasi.

Kami juga sudah minta Kementerian Kesehatan untuk mendefinisikan akses pelayanan dasar itu seperti apa. Kalau sekarang kan orang bayar iuran BPJS Kesehatan Rp 40 ribu tapi besok bisa operasi jantung pasang lima ring dan semua ditanggung. Ada juga ibu hamil minta operasi caesar pada tanggal cantik. Hal-hal semacam itu kami sudah diskusikan dengan Kemenkes dan minta soal batasan layanan itu diperbaiki dengan penerbitan Permenkes. Pokoknya kami tracking perbaikan governance-nya.



SRI MULYANI INDRAWATI
 | Tempat dan tanggal lahir: Bandar Lampung, 26 Agustus 1962 | Pendidikan: Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (1986); Master of Science of Policy Economics dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1990); PhD of Economics dari University of Illinois Urbana-Champaign (1992) | Karier: Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (2002-2004), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), Menteri Keuangan (2005-2010), Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Perekonomian (2008-2009), Direktur Pelaksana Bank Dunia (2010-2016), Menteri Keuangan (2016-2019 dan 2019-sekarang) | Penghargaan: Menteri Keuangan Terbaik Asia (2006), Menteri Terbaik Dunia (2018), Menteri Keuangan Terbaik di Asia-Pasifik (2017-2019) | Organisasi: Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (2019-2023)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus