Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lembaga Pelindung tanpa Anggaran

Dibekukan sejak Mei lalu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Lampung Timur akan bersalin menjadi lembaga teknis pemerintah. Petugas tak pernah menerima gaji sejak awal berdiri.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Korban perkosaan, Nina, di Lampung Timur/Benni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dibentuk pada 2016, P2TP2A Lampung Timur tak punya kantor dan rumah aman sendiri.

  • Petugasnya tak mendapat gaji dan bergantung pada donasi.

  • Pemerintah menjanjikan P2TP2A Lampung Timur akan memiliki rumah aman sendiri.

BERDIRI sejak Oktober 2016, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur belum memiliki kantor sendiri hingga kini. Para petugas P2TP2A menumpang ruangan di gedung Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Jalan Raya Lintas Pantai Timur Sumatera, Sukadana, Lampung Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

P2TP2A adalah lembaga nonpemerintah. Bupati Lampung Timur kala itu, Chusnunia Chalim, membentuk P2TP2A untuk memberikan pelayanan kesehatan dan psikologis, rumah aman, serta pendampingan kepada perempuan dan anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas P2TP2A periode 2016-2021 berjumlah 24 personel. Mereka adalah wakil masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan anak dan perempuan. “Kami ini mitra kerja Dinas PPPA,” ujar Ketua P2TP2A Lampung Timur Maria Azahra pada Jumat, 17 Juli lalu.

Karena itu, pegiat P2TP2A tak berstatus pegawai negeri. Mereka pun tak bergaji. Lembaga ini tak memiliki anggaran transportasi dan fasilitas sendiri. Sumber pendanaan berasal dari hibah pemerintah daerah atau pihak ketiga.

Menurut Maria, tak banyak orang yang mau mengurus organisasi yang berbasis kerelaan seperti P2TP2A. “Tugas ini semestinya menjadi tanggung jawab negara,” ucapnya.

Ia mengatakan para pengurus P2TP2A tak direkrut berdasarkan kompetensi tertentu. Itu sebabnya, layanan lembaga ini tak berjalan maksimal layaknya unit pelaksana teknis. P2TP2A Lampung Timur bahkan tak memiliki tenaga psikolog dan medis. “Jadi kami sendiri yang harus memperkuat kapasitas,” tuturnya.

Keberadaan P2TP2A Lampung Timur menjadi pembicaraan setelah salah seorang petugasnya, Dian Ansori, diduga memerkosa Nina—bukan nama sebenarnya. Bocah perempuan 13 tahun itu seharusnya berada di bawah perlindungan P2TP2A karena pernah menjadi korban pemerkosaan pamannya sendiri pada November tahun lalu.

Seharusnya P2TP2A melindungi Nina di rumah aman. Masalahnya, kata Maria, P2TP2A Lampung Timur tak memiliki fasilitas itu. Maria membantah jika P2TP2A disebut kecolongan. “Tindakan pelaku membawa korban ke rumah itu di luar kontrol kami,” ujarnya. Akibat ulah Dian, sejumlah pihak mengusulkan pembubaran P2TP2A Lampung Timur.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, memprotes usul itu. Ia menganggap perempuan dan anak korban kekerasan masih memerlukan lembaga seperti P2TP2A. Menurut Retno, kekerasan seksual yang diduga dilakukan Dian Anshori seharusnya tak menyeret nama lembaga. “Yang bermasalah dihukum, jangan lembaganya,” katanya.

Retno menilai kerja advokasi dan perlindungan terhadap perempuan dan anak selama ini justru terkesan mengabaikan peran lembaga lain. Padahal, dalam banyak urusan, P2TP2A dan Dinas PPPA seharusnya menjalin kemitraan dengan lembaga lain, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. “Komitmen antarlembaga negara tengah diuji. Jangan jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPPA) Provinsi Lampung Amsir mengatakan P2TP2A dibekukan sejak Mei lalu. Lembaga ini akan berubah status menjadi UPTD PPPA dalam waktu dekat. “Sesuai dengan instruksi Kementerian PPPA dan Kementerian Dalam Negeri,” ucapnya.

Dengan cara ini, masalah yang membelit P2TP2A dapat teratasi. Di Provinsi Lampung, kata Amsir, hanya Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Metro yang memiliki UPTD PPPA. “Jika berubah status, dukungan anggaran pemerintah untuk sarana teknis, seperti rumah aman dan kebutuhan atas kualifikasi tenaga pendamping, akan terjawab,” ujarnya.

RIKY FERDIANTO, HENDRY SIHALOHO (LAMPUNG TIMUR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus