Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPE bongkrek, ronggeng, dan Srintil. Tiga elemen trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatar 1960-an itu datang lagi di masa sekarang. Roh Srintil, ronggeng ayu itu, kini dihidupkan suara aktris Happy Salma. Sedangkan suara Rasus, pacarnya, diisi Reza Rahadian, yang sayangnya tak berdialek ngapak Banyumasan di sini. Keduanya didampingi Lukman Sardi, narator yang menuturkan karut-marut di Dukuh Paruk setelah petaka tempe bongkrek beracun. Lakon mereka hadir dalam siniar Catatan buat Emak, bagian dari Sandiwara Sastra, yang tayang pada Rabu, 15 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program baru yang tayang di siniar atau podcast Budayakita itu adalah proyek bersama Titimangsa Foundation, Kawankawan Media, serta Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Ini menarik karena menampilkan sastra, yang penting bagi pembentukan jati diri kita, ke dalam bentuk sandiwara audio yang pernah populer banget pada zamannya,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid via konferensi video, 6 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sandiwara Sastra mengangkat sepuluh naskah, baik cerita pendek maupun novel Indonesia, yang disiarkan saban Rabu pukul 5 sore, yakni Cerita dari Kebayoran (Pramoedya Ananta Toer), Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Umar Kayam), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Helen dan Sukanta (Pidi Baiq), Kemerdekaan (Putu Wijaya), Lalita (Ayu Utami), Mencari Herman (Dewi Lestari), Persekot (Eka Kurniawan), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), dan Orang-orang Oetimu (Felix K. Nesi), yang semuanya disutradarai Gunawan Maryanto.
Kemasan Sandiwara Sastra mengingatkan kita pada sandiwara radio yang pernah eksis dan dekat dengan generasi 1980-an dan 1990-an. Pada masa itu, drama radio ngehit dan legendaris, terutama kisah persilatan klasik seperti Misteri Gunung Merapi, Brama Kumbara, dan Saur Sepuh. Narasi drama audio itu tak hanya membuat ketagihan penggemarnya, hingga akhirnya ada yang diusung ke layar televisi, tapi juga memberikan sensasi seru bagi pendengarnya karena memantik imajinasi akan visual tempat, tokoh, bahkan konflik yang terjadi.
Pendiri Kawankawan Media, Yulia Evina Bhara, mengatakan proses produksi siniar Sandiwara Sastra menantang karena berlangsung di tengah pandemi. Walhasil, diskusi, latihan, dan proses merekam 27 pengisi suara berlangsung online. Sejumlah aktornya pun berada di luar negeri sehingga tak memungkinkan kopi darat. Iqbaal Ramadhan, misalnya, tinggal di Melbourne, Australia, dan Ario Bayu di Prancis. Adapun Gunawan Maryanto tinggal di Yogyakarta dan Happy Salma di Bali. “Tapi keterbatasan ini membuat kami kreatif merespons situasi,” katanya.
Karena durasinya hanya sekitar 30 menit, para aktor itu mesti bergelut dengan teks dan waktu. Dalam narasi Catatan buat Emak, misalnya, pemampatannya amat terasa. Narasi tentang tragedi di Dukuh Paruk berkelebat dengan kegalauan Rasus, impian Srintil menjadi ronggeng, malam bukak klambu (malam bagi seorang ronggeng untuk melelang keperawanannya), hingga kilas balik ke masa kecil mereka. Tentu bukan perkara mudah bagi Gunawan untuk meringkas isi novel Tohari yang padat menjadi setengah jam saja. Bukan hal gampang juga menyuguhkan emosi berlapis-lapis kedua tokoh dalam bentuk percakapan yang tampil hanya dalam audio, tanpa visualisasi.
Dalam novel, pembaca terpuaskan oleh kepiawaian Tohari mendeskripsikan secara visual Dukuh Paruk dan tradisi ronggeng. Namun, dalam siniar, keterbatasan durasi meniadakan kemewahan itu. Situasi perdesaan terwakili hanya oleh cericit burung yang samar-samar, yang bergantian dengan bebunyian alat musik tradisional pengiring ronggeng. Durasi pula yang membuat Happy—walau artikulasinya terdengar bak pemain sandiwara radio berpengalaman—kadang terkesan seperti tengah ngebut bicara. Untung saja ini adalah siniar, bukan siaran radio, jadi pendengar bebas memundurkan lagi tayangannya.
Kesan berbeda dimunculkan Mencari Herman, yang tayang sepekan sebelum Catatan buat Emak. Cerpen karangan Dewi Lestari alias Dee itu menjadi yang pertama dialihwahanakan dalam Sandiwara Sastra. Karena naskah aslinya pendek, Gunawan dan ketiga pemerannya—Widi Mulia, Pevita Pearce, dan Ario Bayu—terasa lebih rileks. Pevita, terutama, luwes menafsirkan tokoh Hera, perempuan muda yang terobsesi berkenalan dengan orang bernama Herman. Sosok Hera, yang di cerpennya hanya muncul dari sudut pandang tokoh Abang, di versi siniar diberi porsi lebih besar oleh Gunawan. Dialog-dialognya pun hidup, walau kadang penempatan musik pengiring terdengar kurang pas.
Menggaet aktor yang populer di kalangan anak muda, seperti Iqbaal Ramadhan dan Pevita Pearce, untuk terlibat dalam Sandiwara Sastra adalah strategi jitu. Terbukti, dalam berbagai kolom komentar di akun media sosial yang membahas Sandiwara Sastra, seperti YouTube Budaya Saya, banyak pendengar yang mengaku menyimak siniar karena faktor aktor pengisi suaranya. Pemilihan karya sastra yang dialihwahanakan pun tergolong variatif. Bukan hanya novel lawas Layar Terkembang yang terbit pada 1936, tampil juga karya para penulis muda.
Happy Salma, bos Titimangsa Foundation, menjelaskan, Sandiwara Sastra adalah terobosan yang ingin mempertemukan sastra dengan publik yang berbeda. Misalnya kalangan pelajar yang karena pandemi mesti belajar dari rumah. Happy berharap kemasan podcast yang sedang naik daun bisa menggiring anak muda mencicipi sastra. “Ini juga alternatif baru yang mempertemukan aktor dengan karya sastra, yang tentu mengasah intelektualitas,” ujarnya.
Menurut Gunawan Maryanto, mengubah karya sastra menjadi naskah sandiwara audio sangat berisiko baginya sebagai sutradara—walau sebenarnya ini bukan hal baru buat dia, yang memang penulis, aktor, sekaligus orang teater. Problem berikutnya muncul saat naskah Sandiwara Sastra dipertemukan dengan aktor. “Cara melisankan teks, menghidupkan teks dalam suara, dan aksentuasi para aktor menjadi tantangan yang prosesnya sangat intens,” kata Gunawan—yang akrab disapa Cindil.
Menurut Cindil, dalam tiap produksi, ia dan timnya tak mau terburu-buru. Mereka biasa menafsirkan lebih dulu teks itu, mencari kemungkinan pengucapannya, dan membuka ruang elaborasi. Tujuannya agar imajinasi yang melekat pada satu karya sastra bisa dihidupkan audio.
Para pengisi suara pun tak mau sekadar tampil tanpa meriset. Iqbaal Ramadhan, misalnya, berguru pada Internet untuk mempelajari suara burung perkutut. “Saya memerankan perkutut, sementara di Melbourne tak ada burung jenis itu,” ujar aktor 20 tahun ini. Iqbaal, pemeran Minke dalam Bumi Manusia, mengaku antusias dengan proyek barunya. “Saya yakin ini bisa makin mengenalkan sastra ke anak muda, apalagi sekarang orang seumuran saya banyak yang beralih ke podcast. Bisa jadi juga memancing anak muda untuk tertarik menulis sastra.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo