Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBELI hilir-mudik di sejumlah toko sepatu sepanjang Jalan Cibaduyut, Kota Bandung. Sebagian datang mengambil barang pesanan berupa dua-tiga pasang sepatu yang dikemas di dalam kotak. Yang lain asyik menjajal sepatu yang berjejer di rak pajangan gerai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan berbeda ada di belakang pertokoan. Di dalam bengkel yang tersebar di gang-gang sempit dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, para perajin sepatu Cibaduyut berkutat merangkai bagian per bagian alas kaki. Sepatu Amble adalah salah satu alas kaki berbahan kulit sapi yang lahir berkat bantuan para tenaga terampil Cibaduyut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agit Bambang Suswanto merintis Amble pada 2009 dengan menunjukkan selembar foto contoh sepatu beken dari luar negeri kepada para perajin sepatu Cibaduyut. Harga sepatu itu mencapai Rp 1,5 juta. Para perajin sepatu ternyata mampu membuatnya dengan kualitas dan ongkos produksi yang membuat Agit puas. “Harga pokok penjualannya Rp 130 ribu,” kata Agit kepada Tempo pada Kamis, 14 November lalu.
Agit yang kala itu baru berusia 19 tahun dan masih kuliah semester III di Universitas Widyatama, Bandung, makin bersemangat. Bermodal Rp 1,5 juta, dia memesan 13 pasang sepatu kulit pria dengan lima model. Dibanderol paling mahal Rp 300 ribu, sepatunya ludes terjual.
Satu dekade berlalu, Amble kini memproduksi hingga 1.500 pasang sepatu per bulan. Harganya Rp 300-650 ribu. Tak cuma menggunakan kulit sapi, Agit mengembangkan produknya dengan material lain, seperti kulit sintetis dan corduroy. Menambah produk sneakers berkualitas, bisnis sepatu Agit kini meningkat. “Dulu konsumen beli produk lokal karena murah, sekarang karena kebanggaan,” ujarnya.
Yukka Harlanda dan rekannya, Putera Dwi Kurnia atau Uta, juga menuai hasil bisnis sepatu Brodo, yang mereka rintis pada 2010. Ide bisnis itu berawal dari kesulitan Yukka mendapatkan sepatu berukuran besar. Sepatu merek luar negeri mahal dan tak cocok dengan seleranya. Mereka lalu memesan sepatu kepada perajin sepatu Cibaduyut. “Ikut pameran ternyata laku, terus pesan lagi,” kata -Yukka.
Bermodal awal sekitar Rp 3,5 juta untuk membuat beberapa pasang sepatu, Yukka dan Uta kini memimpin industri Brodo, yang menghasilkan ratusan ribu pasang sepatu setiap tahun. Konsumen utamanya adalah kelas menengah yang mau membayar di atas Rp 500 ribu untuk sepasang sepatu. Mereka juga memiliki rekanan untuk pembuatan komponen -sepatu secara terpisah, antara lain sol luar, kulit, dan tali sepatu. “Ada 20 perusahaan yang menjadi mitra kami,” ujarnya.
bermodal awal sekitar Rp 3,5 juta untuk membuat beberapa pasang sepatu, Yukka dan Uta kini memimpin industri Brodo, yang menghasilkan ratusan ribu pasang sepatu setiap tahun. Konsumen utamanya adalah kelas menengah yang mau membayar di atas Rp 500 ribu untuk sepasang sepatu.
PT Laguna Maju Semesta menjadi mitra produsen andalan Brodo di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. Kapasitas produksi pabrik dengan 60 pegawai itu mencapai 6.000 pasang sepatu per bulan. Mereka menjalani semua tahap pembuatan sepatu, dari pemotongan bahan hingga pengemasan. Mereka juga melayani pembuatan sepatu pesanan khusus. “Harganya bisa berlipat-lipat dari yang dipasarkan,” kata ahli sepatu Laguna Maju Semesta, Wahyu Priyatna.
Produksi sepatu di Indonesia adalah industri besar. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri mengatakan jumlah permintaan sepatu, yang kini menjadi kebutuhan pokok, mengikuti pertambahan populasi manusia. Lebih dari 800 juta alas kaki terjual sepanjang 2018. Sepatu pun menjadi produk andalan Indonesia dalam perdagangan global. “Indonesia masuk 10 besar eksportir terbesar di dunia,” tutur Firman pada akhir Oktober lalu.
Indonesia merupakan pembuat alas kaki terbesar keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Pada 2018, ada 1,41 miliar pasang sepatu yang diproduksi dengan nilai ekspor mencapai US$ 5,1 miliar. Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadi pasar terbesar. “Industri ini dibutuhkan dan memiliki prospek bagus di Indonesia,” kata Firman.
Amerika menjadi pasar terbesar dengan kontribusi mencapai 27 persen dari seluruh ekspor sepatu Indonesia. Pesaing terbesar Indonesia di sana adalah Vietnam, yang melejit menjadi produsen besar sejak awal 2000. Nilai ekspor sepatu Vietnam hingga September lalu mencapai US$ 13 miliar. “Pertumbuhan penjualan mereka dua kali lipat Indonesia,” ujar Firman.
Pada 2019, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, nilai ekspor alas kaki Indonesia menurun. Hingga September lalu, angka penjualan baru mencapai US$ 3,2 miliar. Kondisi perekonomian dunia yang lesu dan persaingan sengit dengan Vietnam membuat ekspor merosot hingga 12 persen. Namun Firman optimistis bisnis sepatu bergairah lagi pada 2020 dengan nilai ekspor bisa melewati US$ 5,1 miliar. “Potensi kenaikan ekspor masih terbuka,” katanya.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina membuka keuntungan bagi Indonesia. Gara-gara Amerika mem-batasi masuknya produk buatan Cina, Indonesia kecipratan untung karena ada peralihan suplai penjualan sepatu ke Negeri Abang Sam. Pada 2018, angka penjualannya menembus US$ 1,4 miliar. Adapun pada kuartal pertama 2019, ekspor sudah menembus US$ 560 juta. “Tahun depan bisa lebih baik. Untuk pasar Amerika masih bagus,” ucap Firman.
Presiden Direktur PT Panarub Industry Budiarto Tjandra mengatakan industri sepatu bersaing dalam kompetisi -global yang sensitif terhadap perubahan. Peningkatan upah minimum daerah setiap tahun di Indonesia berdampak besar pada ongkos produksi dan daya saing industri sepatu Indonesia. “Upah -menentukan pembeda harga jual sepatu. Kalau harga material rata-rata sama saja,” kata Budiarto pada Selasa, 3 Desember lalu.
Panarub adalah salah satu produsen sepatu terbesar di Indonesia. Perusahaan itu memiliki dua pabrik sepatu di Tangerang dengan 11 ribu pekerja. Mereka memproduksi sepatu olahraga Adidas, Mizuno, dan Specs. Pada 2016, Panarub membangun pabrik di Brebes, Jawa Tengah. Dengan upah pekerja dua kali lebih rendah, menurut Budiarto, biaya produksi sepatu mereka di Brebes bisa ditekan. “Harga produk lebih kompetitif dan peluang berkembang kian besar,” ujarnya.
Perajin di bengkel sepatu Amble di Bandung, 12 November 2019. TEMPO/Anwar Siswadi,
Pabrik Panarub di Brebes memiliki sekitar 5.000 pekerja dengan kapasitas produksi mencapai 800 ribu pasang sepatu per bulan. Panarub juga menambah lini bisnisnya di Brebes dengan membangun PT Rubber Pan Java. Menurut Budiarto, pabrik yang beroperasi pada awal tahun depan itu akan memproduksi sol luar sepatu. “Untuk menambah rantai pasokan industri sepatu dalam negeri,” katanya.
Ada lebih dari 18 ribu produsen sepatu di Indonesia, 155 di antaranya pabrik besar. Mayoritas fasilitas produksi terpusat di Provinsi Banten, salah satu daerah dengan upah minimum tertinggi di Indonesia yang mencapai Rp 4,1 juta. Menurut Firman, besarnya selisih upah minimum memicu sejumlah pabrik direlokasi dari Banten ke daerah lain.
Lebih dari 25 pabrik dipindahkan dari Banten ke Jawa Tengah dalam tiga tahun terakhir. Upah tertinggi di Jawa Tengah pada 2020 ada di Kota Semarang sebesar Rp 2,7 juta. Brebes, Jepara, Salatiga, Sragen, Temanggung, dan Semarang dinilai potensial untuk dibangun industri sepatu. “Ini upaya industri untuk tetap kompetitif,” ucap Firman.
Yukka Harlanda, salah satu perintis merek sepatu Brodo. TEMPO/Nurdiansah
Meski demikian, upaya relokasi pabrik itu membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Perusahaan juga harus berinvestasi untuk melatih pekerja baru karena jumlahnya tak sebanyak di Banten. Menurut Firman, strategi memindahkan lokasi produksi ini membuat Indonesia masih bisa bersaing dengan Vietnam, yang upah produksi dan lahannya rendah. “Prospeknya cukup bagus. Kalau tidak berinovasi, kita akan makin tertinggal dari Vietnam,” ujarnya.
Tekanan lain dari Vietnam adalah peluang negara itu menambah ekspor ke Eropa yang terbuka lebar. Vietnam telah membuat kesepakatan kerja sama dengan Uni Eropa, yang memberikan keuntungan jangka panjang dalam ekspor sepatu. Vietnam sudah menguasai sekitar 12 persen pasar sepatu di Uni Eropa, sementara Indonesia baru mendapatkan porsi sebesar 4 persen. “Semoga pemerintah bisa segera merampungkan negosiasi kerja sama ini agar industri bisa leluasa,” kata Budiarto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo