Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Berebut Cuan di Koneksi Cepat

Gurihnya bisnis data Internet membuat operator telekomunikasi berlomba menggarap sambungan kencang. Didorong performa bisnis digital yang sedang mengembang.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAPIT dua rumah warga di Desa Tanjung Anom, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menara telekomunikasi PT XL Axiata berdiri menjulang setinggi 50 meter. Seorang teknisi yang mengurusi pengembangan jaringan dan infrastruktur terlihat tengah menyiapkan penggantian antena perangkat stasiun pemancar jaringan seluler (BTS) pada Jumat, 8 November lalu. Satu unit antena sektoral anyar tampak tergeletak di bawah menara dengan kabel-kabelnya yang masih terbungkus plastik.

Menurut dia, perangkat BTS dengan enam antena itu mampu memancarkan jaringan 4G dengan kapasitas 10 megabita. “Jangkauannya mencapai 5 kilometer. Fasilitas ini sudah ada sebelumnya, kami memperbaruinya dengan mengganti antenanya,” kata teknisi tersebut saat ditemui Tempo. Bersama tiga rekan teknisi lain, ia mengerjakan pemasangan antena BTS itu selama dua hari.

Menara berkelir abu-abu yang diperbaiki itu adalah satu dari lebih 100 menara telekomunikasi XL di Medan dan sekitarnya, termasuk Deli Serdang. Aldi Desmet, Regional Corporate Communication West Region PT XL Axiata, mengatakan pengguna terbanyak nomor XL memang ada di Jawa. Namun hal itu tak menyurutkan XL Axiata meningkatkan kualitas layanan di Sumatera, terutama untuk jaringan Internet. “Di sini basisnya si merah (Telkomsel). Tapi banyak warga pakai paket data XL,” ucapnya.

Juru bicara XL Axiata, Henry Wijayanto, mengatakan perusahaannya tengah gencar membangun jaringan telekomunikasi dan data di daerah terpencil melalui skema Kewajiban Pelayanan Umum (USO). Skema yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika ini mensubsidi tarif Internet, khususnya bagi operator yang menggelar layanan di kawasan Indonesia timur agar tak lebih mahal dari wilayah lain.

Pada 2017 dan 2018, XL Axiata membangun jaringan USO di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun tahun ini pembangunannya mencakup 289 titik di berbagai lokasi di Indonesia timur, termasuk Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua. “Kami masih berfokus pada pembangunan jaringan di 4G untuk dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan, terutama yang memakai smartphone,” kata Henry.

Pertumbuhan layanan mobile data, yang hingga kini masih kompetitif, juga membuat PT Telkom Indonesia terus berinvestasi di infrastruktur, seperti kabel serat optik, BTS, dan menara pemancar. Apalagi total layanan data dan digital tahun depan diperkirakan mencapai 75 persen dari pendapatan Telkom. “Seiring dengan meningkatnya pendapatan dan tingkat pendidikan di Indonesia serta meluasnya cakupan jaringan 4G kami, konsumsi data akan meningkat,” ujar Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah.

Direktur Keuangan Telkom Harry M. Zen mengatakan data, Internet, dan layanan teknologi informasi menjadi sumber pendapatan terbesar perseroan. Hingga September lalu, Telkom meraup total pendapatan Rp 102,6 triliun. Dari jumlah itu, Rp 60,6 triliun (59 persen) berasal dari penjualan data Internet. “Terutama didorong performa bisnis digital yang terus meningkat,” ucapnya.

Anak usaha Telkom, Telkomsel, turut menikmati gurihnya keuntungan (cuan) dari bisnis data Internet. Jumlah pelanggan Telkomsel hingga September lalu melonjak menjadi 170,9 juta. Sebanyak 112,1 juta (65,6 persen) di antaranya merupakan pelanggan data. Lonjakan jumlah pengguna ini membuat traffic data Telkomsel meningkat 55,2 persen menjadi 4.673 petabita—setara dengan 4.673 juta megabita. Sepanjang tahun ini saja Telkomsel telah menambah 20.829 stasiun pemancar jaringan seluler, yang semuanya berbasis 4G.

Menurut Ririek, selain melalui jaringan yang sudah ada, Telkom memanfaatkan Palapa Ring untuk memperluas layanan 4G. Sementara XL Axiata baru memanfaatkan Palapa Ring Barat untuk pengoperasian layanan 4G di Kepulauan Anambas, Telkom telah menggunakan Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Tengah. Adapun untuk Palapa Ring Timur, yang baru diresmikan pada 14 Oktober lalu, Ririek mengatakan Telkom masih menganalisis kebutuhan pelanggan yang dapat dila-yani dengan jaringan tersebut.

Dicetuskan pada 2005, Palapa Ring sempat tersendat dan baru digarap sebelas tahun kemudian. Palapa Ring adalah proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di 57 kabupaten dan kota yang merupakan daerah terpencil. Dengan mengintegrasikan jaringan yang sudah ada dengan jaringan baru, serat optik Palapa Ring merentang 36 ribu kilometer dari barat ke timur. Lewat proyek ini, tulang punggung sistem telekomunikasi diharapkan menjangkau semua 514 kabupaten dan kota.

Palapa Ring Barat, yang rampung pada Maret 2018, menjangkau wilayah Riau, Kepulauan Riau, hingga Natuna. Sedangkan Palapa Ring Tengah, yang tuntas Desember 2018, meliputi area Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara hingga ke Kepulauan Sangihe-Talaud. Adapun serat optik Palapa Ring Timur membentang sepanjang 6.878 kilometer, yang menjangkau Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anang Latif, mengatakan Palapa Ring penting untuk mendorong akselerasi pertumbuhan industri telekomunikasi dan pemerataan pembangunan lewat ketersediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi berkapasitas besar. “Investasi terbesar infrastruktur telekomunikasi, yaitu jaringan tulang punggung, telah diselesaikan melalui Palapa Ring. Setelah itu, layanan ekonomi digital akan hadir dan menggerakkan taraf hidup masyarakat setempat,” kata Anang, 15 November lalu.

Arief Mustain, perwakilan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia, mengatakan industri telekomunikasi masih berpeluang berkembang. Salah satunya dilihat dari pengguna seluler yang mencapai 322,1 juta, yang sebagian besar pelanggan data. Konsumsi data tiap tahun juga tumbuh 87 persen untuk ukuran pentabita. Dengan konsumsi sebesar itu, “Kita bisa melihat perkembangan di sektor e-commerce dan digital coach baik untuk pendidikan maupun hiburan,” ujarnya.

Prospek bisnis digital yang cerah telah membuat Galumbang Menak, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo), tergiur untuk nyemplung ke industri penyedia layanan Internet berkecepatan tinggi berbasis serat optik. Lewat merek dagang Oxygen.id, pria 53 tahun ini masuk ke pasar triple play—layanan berlangganan televisi interaktif, telepon, dan Internet—dengan pesaing terkuat IndiHome dari Telkom. “Sampai lima tahun ke depan masih ada potensi 20 juta pelanggan,” tuturnya.

Teknisi melakukan pengetesan jaringan 5G di Gedung Telkomsel Smart, Jakarta, April 2017. TEMPO/Tony Hartawan

Moratelindo bukan wajah baru di dunia industri telekomunikasi. Perusahaan besutan Galumbang ini adalah penyedia infrastruktur telekomunikasi sejak didirikan pada 2000. Moratelindo adalah salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium penggarap jaringan serat optik Palapa Ring Barat dan Timur. “Keunggulan kami di backbone jaringan. Kami sekarang nomor dua setelah Telkom,” Galumbang mengklaim.

Nilai plus dalam membangun jaringan tulang punggung serat optik tak membuat Galumbang terlena. Sejak didirikan pada 2015, Oxygen telah meraup sekitar 50 ribu pelanggan. Kebanyakan pelanggannya adalah perkantoran. Ia menargetkan penambahan 5.000 pelanggan baru tiap bulan, naik dua setengah kali lipat dari pencapaian selama ini. Oxygen tidak hanya mengincar pelanggan di Jakarta, tapi juga Medan, Jambi, Palembang, Lampung, Pontianak, Kupang, Denpasar, Semarang, Bandung, Malang, Solo, dan Makassar.

Galumbang juga memperlebar sayap bisnisnya dengan membangun pusat data di Jakarta, Batam, Medan, Bali, Surabaya, dan Palembang. Moratelindo bahkan menggandeng raksasa teknologi Facebook dan Amazon untuk mengembangkan pusat data, tapi masih terhambat izin. “Membangun infrastruktur selalu menjadi problem di negara ini. Proses izin kita sering telat,” ujar Galumbang. Soal gedung data center saja, ia mencontohkan, “Membangunnya hanya sembilan bulan, tapi izinnya bisa dua tahun.”

Ismail, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan 4G akan tetap menjadi bisnis utama bagi operator telekomunikasi hingga beberapa tahun ke depan walaupun teknologi 5G, yang lebih cepat, sudah mulai dikembangkan. “Teknologi 4G sudah sangat mendominasi seluruh jaringan global pada 2025, termasuk Indonesia,” katanya.

Kualitas layanan 4G ataupun 5G kelak sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur serat optik dan jaringannya. Makin terpencil lokasinya, makin mahal ongkosnya. Di sinilah, menurut Ismail, peran Kementerian untuk menyelesaikan isu regulasi dengan pemerintah daerah, menyiapkan aturan, sehingga operator tidak terhambat regulasi yang tidak jelas atau berbeda antarpemerintah daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus