Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Moncer Seusai Perang Dagang

Pengusaha besar garmen dan tekstil meraup untung besar dari ekspor. Pengusaha kelas menengah masih enggan beralih dari mesin tua.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gantungan baju menyusuri rel-rel yang mengitari ruangan produksi PT Pan Brothers di Jalan Prabu Siliwangi, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten, Jumat, 22 November lalu. Membawa potongan-potongan kain, gantungan itu berhenti di salah satu meja jahit seorang pekerja perempuan. Seusai kain dijahit, pekerja itu menyantolkannya ke gantungan yang langsung kembali bergerak mengikuti rel yang mengepung meja jahit puluhan pekerja di ruangan tersebut. Tak sampai semenit, kain itu sudah berpindah ke penjahit bagian lain yang berjarak sekitar 15 meter.

Hanger conveyor akan berjalan dari satu pekerja ke pekerja lain sampai ke proses quality control, pengemasan, serta penempelan label merek dan harga,” kata Corporate Secretary PT Pan Brothers Iswardeni, yang siang itu menemani Tempo berkeliling pabrik garmen dengan 4.500 pekerja tersebut. Hari itu, para buruh di sebagian ruangan produksi sedang mengerjakan pesanan satu perusahaan asal Kanada. “Tidak ada satu pun yang tercecer,” ujar Iswardeni.

Penggunaan teknologi di Pan Brothers tak hanya di ruangan seluas stadion basket tersebut. Di bagian penyimpanan, Harto, operator mesin robotik, mengatur gerak besi-besi berhidrolik melalui layar monitor di depannya. Dalam waktu cepat, papan besi menurunkan kardus berisi pakaian jadi dan siap diekspor. Harto menilai mesin pintar itu sangat membantu pekerjaannya mengirim bahan dan barang jadi ke bagian lain.


Sepanjang Januari 2018 hingga September 2019, sebanyak 188 pabrik
di wilayah itu tutup. Dampaknya, terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap 68 ribu karyawan.
Selain itu, ada sekitar 200 perusahaan tengah bersiap memindahkan pabrik.


Pan Brothers juga memiliki laboratorium untuk menguji bahan kain sebelum digunakan dalam proses produksi. Pekerja bersertifikasi di laboratorium itu menguji tingkat kelenturan dan kelunturan kain. Laboratorium itu juga menguji daya tahan kain terhadap panas matahari dan proses pencucian dengan detergen. Pekerja di laboratorium itu, Addawiyah, bercerita bahwa Pan Brothers menyiapkan mesin cuci untuk setiap brand. “Merek Amerika berbeda penanganannya dari merek Eropa,” ucapnya.

Berdiri pada 1980, Pan Brothers rutin meningkatkan kemampuan mesin-mesin produksinya. Perusahaan ini meyakini strategi menggunakan mesin digital membuat mereka mampu berkompetisi dalam bisnis garmen dan tekstil pada 2020, bahkan hingga sepuluh tahun berikutnya. “Permintaan pasar, apalagi yang di luar negeri, akan terus membesar. Saya seribu persen optimistis,” ujar Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Anne Patricia Sutanto.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat sektor garmen dan tekstil Indonesia bertumbuh pesat. Pada 2018, pertumbuhannya mencapai 8,73 persen. Angka ini berlipat tahun berikutnya. API mencatat pertumbuhan itu mencapai 19,86 persen pada triwulan kedua. “Pertumbuhan ini terutama berasal dari kalangan pemain besar,” kata Ketua API Ade Sudrajat kepada Tempo, pertengahan November lalu.

Pada periode yang sama, kontribusi ekspor sektor garmen dan tekstil menyumbang 8 persen dari total nilai ekspor. Ade memperkirakan angka ini terus meningkat, khususnya bagi para pengusaha papan atas. “Mereka memiliki kemampuan dan kesadaran untuk berinvestasi di mesin-mesin berteknologi baru,” ujarnya.

Pekerja menjahit pakaian untuk seragam tentara Portugal di pabrik PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah./ ANTARA/R. Rekotomo

Menurut Iswardeni, salah satu faktor yang meningkatkan ekspor perusahaannya dan pemain garmen negeri ini adalah perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. “Perang” itu membuat kedudukan para pengusaha menjadi setara karena dikenai tarif yang sama. Ketika perang dagang terjadi, Amerika mengutip pajak 25 persen untuk setiap produk Negeri Panda. Cina merespons dengan menutup 33 pabrik mereka di Amerika.

Seusai perang dagang, misalnya, ekspor produk garmen dan tekstil Pan Brothers ke Amerika meningkat sekitar 31,5 persen dari 2018 ke 2019. Pada 2018, perusahaan itu mendulang US$ 140,6 juta atau sekitar Rp 1,97 triliun. Tahun ini nilai ekspornya meroket menjadi US$ 184,9 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun. Iswardeni memperkirakan pertumbuhan ekspor ke Negeri Abang Sam bertumbuh tahun depan.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan perang dagang dua negara besar itu membuat Indonesia mampu menggantikan Cina sebagai pemasok garmen dan tekstil ke Amerika. Rosan memperkirakan sektor ini makin moncer hingga lima tahun ke depan, bahkan bisa berkembang empat kali lipat. Kadin mencatat sektor ini menikmati kenaikan ekspor 25-30 persen ke Amerika. “Kita makin kompetitif,” ucapnya pada akhir Oktober lalu.

Namun posisi Indonesia masih kalah oleh Vietnam. Nilai ekspor Vietnam mencapai US$ 35 miliar setahun. Salah satu sebab pengusaha garmen dan tekstil di negara itu bisa menikmati keuntungan dari perang dagang adalah pemindahan pabrik milik Cina ke Vietnam. Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto, menilai Vietnam sebagai kompetitor yang agresif. Begitu pula pabrik-pabrik asal Cina yang masih menjadi penguasa pasar global. Toh, Iwan menganggap Vietnam dan Cina bisa menjadi mitra usaha yang baik bagi pengusaha Indonesia. “Kita harus netral,” katanya, Kamis, 5 Desember lalu.

Sama seperti perusahaan besar lain, Sritex memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk berkompetisi. Pabrik Sritex di Jalan Samanhudi, Sukoharjo, Jawa Tengah, menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Luas gedung pabrik pemintalan, misalnya, hampir selebar lapangan sepak bola. Mesin-mesin digital yang tampak masih mengkilap memenuhi tiap area gedung. Hanya belasan karyawan yang terlihat di dalam pabrik. Semua mesin bekerja memintal kapas menjadi benang secara otomatis.

Sentuhan tangan manusia hanya terjadi saat mengontrol kualitas benang. Petugas quality control memegang dan memeriksa benang-benang untuk memastikan serat-serat terpilin dengan baik. Proses itu berlangsung setiap hari selama 24 jam penuh. Mengedepankan teknologi, menurut Iwan, Sritex bakal mengganti mesin-mesin itu seiring dengan perkembangan zaman. “Inovasi menjadi pilar sukses bisnis kami,” ujar Iwan.

Kondisi berbeda dialami pengusaha garmen dan tekstil kelas menengah. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan pengusaha kelas menengah masih mengandalkan mesin tua. Dia memperkirakan para pengusaha itu enggan meningkatkan kemampuan bisnisnya karena sudah merasa puas terhadap permintaan pasar dalam negeri. “Mereka bahagia dengan kondisi itu,” ucap Ade.

Ade menyebutkan kondisi itu membuat bisnis garmen dan tekstil kelas menengah nyaris ambruk saat produk Cina membanjiri Indonesia. Selain murah, mode garmen Cina variatif dan terus berganti. Sementara itu, produsen dalam negeri mengandalkan model dan bahan yang monoton. “Mereka malah mengeluhkan kebijakan pemerintah yang tak melindungi industri di dalam negeri,” katanya.

Regulasi dan birokrasi memang menjadi tantangan terbesar para pengusaha kelas menengah. Ade mengatakan dampak kebijakan antidumping pada 2014, misalnya, mulai berasa tahun ini. Salah satunya bea masuk bahan baku poliester meningkat menjadi 14 persen. Akibatnya, pengusaha memilih mengimpor bahan jadi yang lebih murah dari Cina ketimbang produk dalam negeri, yang lebih mahal karena tarif tersebut.

Membanjirnya produk Cina di Tanah Air berdampak masif terhadap pabrik garmen dan tekstil di Jawa Barat. Sepanjang Januari 2018 hingga September 2019, sebanyak 188 pabrik di wilayah itu tutup. Dampaknya, terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap 68 ribu karyawan. Selain itu, ada sekitar 200 perusahaan tengah bersiap memindahkan pabrik.

Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers, Anne Patricia Sutanto, mengatakan pabrik garmen dan tekstil Indonesia sebenarnya bisa lebih unggul ketimbang negara lain, termasuk Vietnam. Dia berharap para pengusaha bisa mengganti mesin tua dengan mesin digital agar mampu berkompetisi. Produk-produk Indonesia masih memiliki reputasi yang baik di pasar premium global. “Presiden Joko Widodo bahkan sempat kaget setelah mengetahui Adidas, Columbia, dan Lacoste itu berasal dari pabrik kami,” ujarnya.

Banjir Impor, Panen Ekspor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus