Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sela kesibukan kerja, Lulu Khairumah bertandang bersama tiga koleganya ke kantor pemasaran Kota Citra Maja Raya di Lebak, Banten. Siang itu, Rabu, 27 November lalu, karyawati sebuah perusahaan swasta di Jakarta tersebut sedang menengok bakal rumah impiannya. Dia menjelajahi beberapa rumah contoh di kompleks hunian yang dikembangkan PT Ciputra Residence tersebut. “Di sini masih murah dan terintegrasi dengan commuter line,” kata Lulu kepada Tempo.
Dibangun di atas lahan seluas 1.600 hektare, Citra Maja Raya bukan perumahan baru. Ciputra Group membangunnya sejak 2014 dan meresmikannya dua tahun kemudian. Ciputra Residence mengklaim telah menjual 15 ribu unit rumah tinggal dan rumah toko. Sebanyak 7.000 unit di antaranya telah diserahkan kepada pemiliknya.
Peresmian Citra Maja Raya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan kompleks ini bukan hanya untuk permukiman milik Ciputra, tapi juga menandai dimulainya pembangunan Kota Maja sebagai kawasan urbanisasi baru.
Maja memang masuk daftar sepuluh calon kota baru yang dicanangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Selain membangun Maja, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berencana membangun metropolitan baru di Padang, Palembang, Pontianak, Banjarbaru, Makassar, Manado, Sorong, Jayapura, dan Tanjung Selor (Kalimantan Utara).
Kepala Hubungan Investor dan Keuangan Korporasi Ciputra Development Aditya Ciputra Sastrawinata mengatakan penjualan hunian Citra Maja Raya tak pernah suram meskipun industri properti nasional sedang kemarau sejak 2013. Dibanderol di kisaran Rp 150-500 juta per unit, perumahan ini mengusung konsep transit oriented development atau dekat dan terhubung dengan fasilitas transportasi massal.
Bagian dalam kompleks Citra Maja Raya. TEMPO/Joniansah
Pembeli dapat memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang digulirkan pemerintah. Walhasil, pendapatan pra-penjualan (marketing sales) Citra Maja Raya hingga November 2019 mencapai Rp 400 miliar. “Kami main di volume. Marginnya cuma 35 persen,” ujar Aditya saat ditemui di DBS Bank Tower, Ciputra World 1, Jakarta, Rabu, 6 November lalu.
Menurut Aditya, generasi ketiga keluarga Ciputra, penjualan properti di segmen menengah ke bawah atau kurang dari Rp 2 miliar selalu lebih subur dibanding segmen di atasnya. Rata-rata properti yang diincar adalah hunian pertama, bukan hunian investasi. Proporsi penjualan properti residensial Ciputra Group pada kelompok ini mencapai 68 persen.
PT Summarecon Agung Tbk juga menggeber ekspansi bisnisnya dengan menambahkan area properti komersial di kawa-san The Orchard Summarecon Bekasi. Area bisnis bernama Burgundy Commercial itu mulai dipasarkan perdana akhir November 2019. Sebanyak 21 unit ruko telah terjual dari total 42 unit yang akan dibangun. Sementara itu, di kawasan residensial, Summarecon Bekasi meluncurkan kluster baru, yakni Klaster Morizen, yang dipasarkan dari Rp 3,1 miliar per unit.
Direktur Eksekutif Summarecon Agung, Albert Luhur, mengatakan industri properti akan terus tumbuh meski sempat kembali stagnan menjelang pemilihan presiden pada April lalu. Tahun ini Summarecon Bekasi akan terus mengembangkan kawasannya di 300 hektare lahan yang tersedia. Albert menyebutkan seluruh penjualan properti Summarecon meningkat 76 persen dibanding tahun lalu. Hingga semester I 2019, Summarecon membukukan kenaikan pendapatan 0,52 persen menjadi Rp 2,67 triliun. “Jadi bukannya tidak ada konsumennya. Mereka hanya menunggu,” kata Agung.
SEJAK akhir 2013, pertumbuhan industri properti terus melambat. Pada tahun yang sama, penjualan hunian residensial dan komersial mencapai puncaknya. Kala itu harga komoditas melesat, rupiah menguat, dan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,7 persen. “Setelah itu lewat, anjlok,” ucap Kepala Riset dan Konsultan Savills Indonesia, Anton Sitorus.
Pasokan dan harga jual properti tak pernah seimbang dengan daya beli masyarakat sejak 2014. Yang terjadi, kata Anton, pengembang mengurangi ukuran propertinya (downsizing) atau menunggu hingga permintaan kembali tumbuh.
Hal serupa terjadi dua tahun terakhir di tengah gejolak perekonomian dunia. Likuiditas perbankan yang mengetat dan tren suku bunga tinggi menjadi salah satu penyebab industri properti lesu darah. Data menunjukkan, tiga dari empat pembeli properti memang bergantung pada kredit perbankan.
Belakangan, sektor ini kembali bergairah. Survei Bank Indonesia menunjukkan, pada triwulan III 2019, penjualan rumah pasar primer—pengembang besar di 18 kota—meningkat. Penjualan rumah tipe kecil melonjak paling tinggi, yakni mencapai 23,01 persen dari minus 16 persen pada triwulan yang sama 2018. Badan Pusat Statistik juga mencatat meningkatnya laju produk domestik bruto industri real estate yang sepanjang Juni-September 2019 mencapai 5,99 persen.
Gairah muncul seiring dengan langkah pemerintah dan Bank Indonesia menggulirkan pelonggaran kebijakan. Pemerintah, misalnya, menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) atas penjualan rumah mewah dari 5 persen menjadi 1 persen untuk menarik investasi properti. Bank sentral menyokong dengan melonggarkan kebijakan giro wajib minimum untuk meningkatkan likuiditas perbankan dalam penyaluran kredit. BI juga menaikkan rasio kredit terhadap nilai agunan (loan-to-value) agar uang muka pembiayaan pemilikan rumah makin ringan.
Rapor industri properti yang membaik menjadikan sektor ini sebagai salah satu tumpuan perekonomian Indonesia 2020. Peluangnya cukup terbuka. Kementerian Keuangan tengah mengkaji sejumlah rencana insentif lanjutan untuk sektor ini. Tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia enam bulan terakhir diperkirakan juga berlanjut dan bakal terasa dampaknya terhadap pemangkasan bunga kredit perbankan pada tahun depan.
Rabu, 20 November lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyentil rendahnya pertumbuhan industri properti yang hanya di kisaran 3,5 persen dalam lima tahun terakhir. Berbicara dalam Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia bidang properti, Sri meminta pengusaha segera merumuskan masukan agar industri ini bisa tumbuh lebih cepat. “Ini multiplier effect-nya di atas satu. Artinya, kalau sektor ini naik, pengaruhnya besar,” tuturnya. “Bila properti tumbuh Rp 1 triliun, dampaknya Rp 1,9 triliun untuk konstruksi dan Rp 1,2 triliun untuk real estate.”
Foto udara gerbang masuk kompleks Citra Maja Raya. citramaja.com
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia Totok Lusida optimistis pertumbuhan properti pada 2020 akan mencapai 10 persen seperti yang ditagih oleh Menteri Sri Mulyani. Namun Totok berharap pemangkasan perizinan, terutama oleh pemerintah daerah, dapat segera terwujud. Dia mengingatkan pembangunan properti akan menciptakan sentra ekonomi baru di daerah sekitarnya. “Kalau properti bangkit, 174 usaha lain akan tumbuh,” ujar Totok.
Menurut dia, banyak hal yang sebenarnya masih bisa digarap oleh pengembang untuk mendongkrak pertumbuhan di sektor ini. Terlebih data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan, hingga Maret 2019, selisih pasokan dan permintaan (backlog) perumahan masih cukup tinggi, yakni 7,6 juta unit.
Pengembang, kata Totok mencontohkan, semestinya dapat menggarap skema pembiayaan kredit pemilikan rumah untuk aparatur sipil negara (ASN)—termasuk personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI—yang selama ini pemanfaatannya belum optimal. Dengan skema ini, ASN dengan gaji maksimal Rp 8 juta per bulan bisa menerima subsidi untuk pembelian rumah seharga Rp 300 juta dengan luas tanah 72 meter persegi. Ada pula fasilitas kredit rumah dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk pembelian rumah Rp 120-190 juta bagi peserta lembaga tersebut.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee berharap pengembang serius menggarap pasar milenial, yang lekat dengan fasilitas serba digital. Konsep serba sharing, seperti hunian bersama dan kantor ala co-working space, diperkirakan menjadi sasaran pada 2020. “Kebutuhan hunian akan meningkat,” ujar Hans.
Dengan alasan yang sama, Aditya Ciputra Sastrawinata antusias menyongsong 2020. Tahun depan, kelompok properti Ciputra mematok target penjualan di atas Rp 6 triliun. “Pelan-pelan semoga bisa seperti 2013 lagi,” kata Aditya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo