Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS pembalakan liar hutan di Riau ”naik pangkat”. Pekan lalu, kasusnya dibahas di Istana. Setelah delapan bulan adu tarik antara Kepolisian Daerah Riau dan Menteri Kehutanan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan membentuk Tim Khusus Pemberantasan Illegal Logging. Namun tim yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. dan beranggotakan sejumlah menteri serta Gubernur Riau ini malah dikecam di lokasi perkara: Riau.
Dikecam? ”Bagaimana mungkin menyapu dengan sapu kotor? Tim ini sarat pejabat yang terindikasi terlibat pembalakan,” kata Jhony Setia Mundung, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), masygul. Walhi—yang selama empat tahun meneliti pembalakan oleh perusahaan besar di Riau—adalah pelapor perkara yang kini berbuah Ope rasi Mandiri oleh Polda Riau itu.
Jumat pekan lalu, Walhi dan sejumlah aktivis lingkungan di Riau mendeklara sikan Anti-Kejahatan Kehutanan dan penolakan terhadap tim khusus presiden. Gerakan yang dideklarasikan di Pekanbaru ini beranggotakan belasan organisasi nonpemerintah, di antaranya World Wild Fund Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, dan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru.
Riau memang tengah bersih-bersih. Kepolisian daerah setempat menggelar operasi berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia. Sampai akhir Agustus lalu, Polda Riau berhasil memberkas 189 kasus pembalakan ilegal dengan 248 tersangka. Di antaranya, 167 kasus sudah dinyatakan lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Di samping pelaku langsung, seperti sopir dan penebang, ikut jadi tersangka dua mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau, yakni Asral Rahman dan Sudirno. Selain itu, polisi sedang mendalami keterlibatan empat bupati di Riau, yang diduga terlibat pemberian dokumen dan perizinan di luar prosedur. Salah satunya Bupati Indragiri Hilir Rusli Zainal, yang kini Gubernur Riau.
”Beberapa direktur dan manajer pa brik kertas juga sudah dinyatakan sebagai tersangka. Pemeriksaannya masih berjalan,” kata juru bicara Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Zulkifly, kepada Tempo. Polisi menemukan hampir 25 persen perusahaan kayu di Riau terlibat, termasuk dua perusahaan ”raksasa”, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper, salah satu anak perusahaan konglomerasi Raja Garuda Mas, dan PT Indah Kiat Pulp and Paper, milik Asian Pulp and Paper, anak perusahaan Sinar Mas Group.
Hasil interogasi dan pemeriksaan barang bukti oleh polisi ternyata mengantar sampai pada akar pangkal perkara, yakni izin Menteri Kehutanan M.S. Kaban. Menurut Kepala Polda Riau Brigjen Sutjiptadi, semua kasus yang terjadi berupa pelanggaran aturan hutan tanaman industri (HTI). Aturan tersebut melarang penebangan di hutan alam, hutan produktif, hutan gambut, atau hutan multikultur. ”Kenyataannya, justru dilakukan penebangan di hutan-hutan tersebut, yang menjadi tempat pengendalian air, lalu diganti dengan pohon akasia,” ujar Sutjiptadi.
Menurut Sutjiptadi, pemberian izin tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang prinsip pemberian hak pengusahaan HTI. Dalam beleid itu dinyatakan bahwa hanya lahan kosong yang bisa dikonversi menjadi hutan produksi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Tata Urutan Perundang-undangan, izin menteri tadi dengan sen dirinya batal. ”Kebijakan menteri seharusnya tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah dan Undang-Undang Kehutanan,” ujar Sutjiptadi.
Ada dokumen menarik yang ditemukan polisi. Menteri Kaban telah memberikan dispensasi kepada 8 anak perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper. Dalam surat tertanggal 17 Juli 2006 tersebut—berarti setelah Inpres Nomor 4 Tahun 2005 terbit—Kaban memberikan dispensasi untuk Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dispensasi diberikan karena perusahaan-perusahaan tersebut sedang dalam proses verifikasi izin oleh Departemen Kehutanan. Alasan dispensasi, sebagaimana tercantum dalam surat itu, ”untuk menghindari terhentinya kegiatan pembangunan HTI yang meliputi pembukaan lahan, penanaman, dan pemberian kesempatan kerja masyarakat sekitar hutan….”
Selain dispensasi, ada semacam ”ja min an terselubung” yang diberikan kepada grup Asian Pulp and Paper. Bentuknya berupa surat pernyataan resmi berkop menteri pada November 2006. Isinya menyatakan bahwa Sinar Mas Forestry dalam membangun hutan tanaman sejak 1983 telah memperhatikan berbagai aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta aturan hukum. Juga prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan. Pernyataan ini dibawa Asian Pulp and Paper kepada para pemegang sahamnya di Jepang. Tak cukup sampai di situ, Kaban bahkan menjadi pemapar utama dalam seminar pengolahan hutan berkelanjutan Asian Pulp and Paper di Tokyo, 14 November tahun lalu.
Izin Menteri Kaban punya posisi pen ting. Sebab, pemerintah sudah menghentikan pemberian izin HTI sejak 2002. Penyetopan dilakukan karena para bupati ”mengobral” izin konsesi lahan yang merusak hutan. Izin konsesi yang sudah diperoleh akan ”hilang” jika tak diverifikasi dan tak disetujui oleh Menteri Kehutanan. Nah, lantaran prakteknya sejumlah perusahaan itu sudah telanjur menebang, mereka perlu payung hukum.
Benarkah demikian? Juru bicara Riau Andalan Pulp and Paper, Troy Pantauw, hingga kini belum menjawab konfirmasi tertulis yang diajukan Tempo. Sedangkan Sinar Mas—lewat juru bicara G. Sulistiyanto— menyatakan akan taat pada apa pun keputusan hukum pemerintah. ”Perusahaan kami adalah perusahaan publik dengan modal miliaran dolar dan diawasi oleh banyak stakeholder, sehingga tidak akan gegabah. Hukum merupakan panglima tertinggi untuk menjalankan perusahaan kami,” kata juru bicara perusahaan dengan 300 ribu pekerja itu kepada Rika Panda dari Tempo.
Jaminan semacam surat menteri ini juga terjadi dalam perkara PT Mujur Timber di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kaban menyatakan bahwa pelanggaran oleh PT Mujur Timber—yang menjarah Taman Nasional Batang Gadis—terhadap hak pengusahaan hutan merupakan pelanggaran administratif dan bukan pidana. Surat tertanggal 27 September 2006 itu menyatakan bahwa sanksi atas pelanggaran itu adalah denda 15 kali dari nilai kerugian.
Hakim pengadilan Mandailing Natal kemudian membebaskan dua terdakwa kasus Mujur Timber, yakni Washington Pane dan Lingga Tanurwidjaja, dalam perkara yang merugikan negara Rp 119 miliar itu, April lalu. Kini surat itu juga digunakan untuk membela Adelin Lis, tersangka pembabat hutan asal Medan, Sumatera Utara, yang sempat lari ke Cina sebelum akhirnya tertangkap, di pengadilan yang sama. Padahal belakangan terungkap bahwa pihak Adelin dan Kaban sempat melakukan pertemuan saat kasus itu diungkap polisi.
Karena menemukan dugaan ”keterlibatan” Kaban, Polda Riau tentu ingin meminta penjelasan. Namun Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini menolak hadir, bahkan mengecam polisi. ”Kapolda Riau dan Sumatera Utara harus dievaluasi. Mereka harusnya menegakkan aturan, bukan hantam kromo. Benar atau salah, ditangkap semuanya,” kata Kaban di depan Komisi Hukum DPR, Juli lalu. Menurut Kaban, polisi melakukan intervensi terlampau jauh. ”Masyarakat dan pengusaha sudah mengeluh,” ujarnya.
Parlemen kini memutuskan membuat Panitia Kerja Pembalakan Liar. Tak hanya menyangkut polisi, isu menyangkut Kaban juga tak sedap di Senayan. Sejumlah anggota parlemen yang berkunjung ke Brasil, Juli lalu, mendapati nama Kaban dan istrinya ada dalam daftar buku tamu Kedutaan Indonesia, bersama pasangan Sukanto Tanoto dan istri bos kelompok Raja Garuda Mas itu. ”Saya lihat namanya tertulis berurut an,” kata Djoko Susilo, anggota Dewan dari Komisi Pertahanan. Isu bertiup, Kaban ”dekat” dengan Sukanto Tanoto.
Benarkah? ” Itu kunjungan Departemen Kehutanan untuk peninjauan hutan tanaman industri. Jadi tanaman ekaliptus di sana tumbuh dengan subur dan cantik sekali, padahal bibitnya didatangkan dari Indonesia,” kata Ahmad Fauzi Mas’ud, Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan. Kaban datang dengan sejumlah anggota stafnya, termasuk Fauzi. Entah mengapa, Sukanto juga berada di Brasil. ”Mungkin dia juga ingin melihat di sana. Kan, dia peng usaha hutan,” ujar Fauzi kepada Widi Nugroho dari Tempo. Sukanto kepada rombongan Kaban bahkan menyindir, lebih mudah mendapat izin di Brasil ketimbang di Indonesia.
Setelah mencermati serangkaian kejadian tersebut, kini para aktivis lingkung an di Riau mengaku tak berharap banyak. Dari ratusan kasus yang diungkap itu, belum satu pun yang diajukan ke peng adilan. ”Kita jadi mulai ragu dengan polisi,” kata Suseno Setiawan, Koordina tor Konsorsium Jaringan Kerja Penyela mat Hutan Riau. Apalagi kini ditambah dengan tim khusus bentukan Presiden.
Arif A.K., Budi Setyarso, Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo