Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ada Front di Cikeusik

Polisi menangkap Ketua Front Pembela Islam Pandeglang. Berkomunikasi intensif dengan bupati.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERAP sepatu membuyarkan kesunyian permukiman di pinggiran Bogor, Jawa Barat, Rabu dinihari pekan lalu. Perayaan Maulid Nabi di masjid kampung telah usai berjam-jam lalu. Belasan lelaki bersepatu lars mendekati satu rumah di permukiman itu, lalu mengetuknya.

Begitu membuka pintu, tuan rumah kaget. Mereka yang berdiri di depan pintu pada dinihari buta itu menenteng senapan panjang. ”Kami dari kepolisian. Mau menjemput Haji Ujang,” kata lelaki yang berdiri paling depan, seperti ditirukan sumber Tempo. Tanpa disadari pemiliknya, polisi berpakaian preman mengintai rumah itu sejak siang sehari sebelumnya.

Haji Ujang, yang disebut para penjemputnya, telah tujuh hari bersembunyi dari kejaran polisi. Populer dengan sebutan Ujang Bengkung, ia bernama asli Ujang Arif bin Surya. Ia diincar polisi setelah penyerbuan ribuan orang ke rumah penganut Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Ahad tiga pekan lalu itu.

Banyak jejak menunjukkan keterlibatan Ujang dalam peristiwa yang menewaskan tiga orang itu. Sejumlah kiai yang diperiksa polisi menyebut Ujang sebagai pengirim pesan pendek ajakan mengusir Ahmadiyah dari Pandeglang. Tim Pembela Muslim yang menjadi pengacara Ujang juga mengakui penyebaran pesan pendek itu.

Sejumlah saksi mata melihat Ujang berada di tempat kejadian. Sebelum insiden, Ujang tampak berada di antara massa yang berkelimun di depan Masjid Al-Huda, Cangkore, sekitar 500 meter dari rumah Ismail Suparman, juru dakwah Ahmadiyah, yang jadi sasaran penyerangan. Mamat, saksi mata, yakin melihat Ujang karena kawannya yang berdiri di sebelahnya menyaksikan lelaki yang sama. ”Itu Ujang Bengkung, Ketua FPI Pandeglang,” kata Mamat, menirukan kawannya.

Selain melihat Ujang Bengkung, Mamat menyaksikan wajah asing bergerombol tak jauh dari tempatnya berdiri. Di barisan depan, tampak sekelompok lelaki berperawakan tegap yang rata-rata berbalut jaket hitam dan mengenakan peci. Pagi itu, mereka bersiap-siap menuju rumah Suparman. Golok yang masih tersarung menyembul dari balik jaket. Pita biru terpacak di dada mereka.

Tatkala barisan ini bergerak menuju rumah Suparman, Ujang Bengkung masih terlihat di sekitar masjid Cangkore, titik berkumpul massa dari pelosok Pandeglang. ”Dia ikut gelombang kedua,” kata Mamat.

Saksi lain, sebut saja Ali, yang berada di depan rumah Suparman sepanjang kericuhan, juga melihat Ujang. Ia bahkan sempat mencium tangan Ujang begitu pria 45 tahun itu tiba di depan rumah Suparman. Ali mendengar sebagian massa yang tiba bersama Ujang berbicara dengan logat Betawi. Seperti kelompok pertama, massa Ujang menaruh pita di dada, tapi warnanya hijau.

Ujang menghilang dua hari setelah penyerangan Cikeusik. Dicari-cari polisi, dia panik. Diam-diam ia meninggalkan rumah tanpa pamit kepada kedua istrinya, Nengsin dan Umi Iyoh. ”Mereka enggak tahu ke mana Haji Ujang pergi,” kata Syamsuddin, ipar Ujang.

Ujang ditangkap di rumah kerabatnya di pinggiran Bogor. ”Malam itu juga langsung dibawa ke Kepolisian Daerah Banten,” kata Kepala Bidang Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Negara Komisaris Besar Boy Rafli Amar.

l l l

HANYA segelintir warga Cikeusik­ yang mengenal Ujang Bengkung. Dua kiai yang menerima pesan pendek ajak­an mengusir Ahmadiyah—Munir bin Masri dan Muhammad bin Syarif—menggeleng ketika ditanya siapa Ujang. ”Saya tidak tahu,” kata Muhammad, Ketua Gerakan Muslim Cikeusik. Diang­gap ikut terlibat menggerakkan massa, Munir dan Muhammad ditetapkan polisi sebagai tersangka.

Seorang warga Cikeusik lain mengetahui, Ujang merupakan kiai dari Kampung Bengkung, Desa Ciseureuheun, Cigeulis, 30 kilometer lebih ke arah barat Cikeusik. Karena berasal dari Bengkung, Ujang lebih dikenal dengan panggilan ”Kiai Ujang Bengkung”. Ia getol menyerukan pengusiran Jemaat Ahmadiyah dari Pandeglang.

Di Kampung Bengkung, Ujang mengasuh Pesantren Bani Surya, diambil dari nama ayahnya, Surya, juga seorang kiai. Menurut Syamsuddin, hanya ada sekitar sepuluh orang santri yang mondok di pesantren itu. ”Santrinya tidak banyak, tapi beliau sering berceramah atau mengisi pengajian ibu-ibu,” katanya.

Kepala Kepolisian Daerah Banten Brigadir Jenderal Agus Kusnadi sebelum dicopot terang-terangan mengatakan polisi akan memeriksa aktivis Front Pembela Islam. ”Dia Ketua FPI Banten,” kata Agus kepada para wartawan, tiga hari setelah kejadian. Yang ditunjuk adalah Ujang Bengkung, Ketua FPI Pandeglang. Dari situlah pertama kali FPI dikaitkan-kaitkan dengan insiden Cikeusik.

Menurut polisi, sejauh ini kaitan FPI dengan penyerangan Cikeusik baru terlihat dari jejak Ujang Bengkung di lokasi dan pesan pendek yang disebarnya ke para kiai. ”Keterlibatan organisasi belum ditemukan,” kata Boy Rafli Amar.

Lewat juru bicaranya, Munarman, FPI pusat, yang bermarkas di Petamburan, Jakarta, menolak dikait-kaitkan dengan insiden Cikeusik. Menurut dia, FPI pusat tak pernah mengirimkan orang ke desa itu. Ia juga mengatakan, di Pandeglang atau Banten, tak ada Front Pembela Islam. ”Lagi pula, FPI tak perlu pakai pita-pitaan,” ujarnya.

Syamsuddin mengatakan tak mengetahui aktivitas Ujang dalam organisasi. ”Saya belum pernah melihat kedekatan beliau dengan FPI,” ujarnya. Tempo tak berhasil mewawancarai Ujang, yang berada di Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Banten.

Jejak Ujang justru direkam jelas oleh Achmad Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan. Ia mengaku lama mengenal Ujang. Pada tahun-tahun dia menjabat bupati, Ujang kerap menemuinya. Ujang dianggap tokoh lantaran memimpin Front Pembela Islam di wilayah itu. Selain FPI, organisasi yang dirangkul ­Dimyati antara lain Front Hizbullah.

Menurut anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat ini, FPI di Pandeglang memiliki cukup banyak pengikut. Itulah salah satu alasannya merangkul Ujang Bengkung. ”Daripada rusuh, mending saya ajak berunding,” kata Dimyati, yang menjabat bupati sejak 2000 sampai 2009.

Lantaran sering bertemu, keduanya menjadi dekat. Tak jarang, Ujang cukup menelepon bila meminta Dimyati mela­kukan sesuatu. ”Tolong, ada maksiat di Pantai Carita,” ujarnya menirukan Ujang. ”Saya jawab: siap, segera saya tertibkan.” Sebagai Ketua FPI Pandeglang, kata Dimyati, Ujang selalu melaporkan hal yang mengganjal hati, termasuk soal Ahmadiyah. ”Saya bilang, Ahmadiyah tak boleh syiar,” ujarnya. ”Ahmadiyah patuh, FPI enggak rusuh.”

Saking dekatnya, ketika FPI Pandeglang menggelar acara, Dimyati juga kerap hadir. Di sanalah Dimyati mengaku beberapa kali bertemu dengan Rizieq Shihab, Ketua FPI, yang datang jauh-jauh dari Jakarta.

Anton Septian (Jakarta), Wasi’ul Ulum (Serang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus