Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARKUS Solo Kewuta duduk bersama saya di sebuah restoran Cina di Vatikan, Sabtu, 14 September 2024. Pastor asal Indonesia itu baru saja mengambil koper-kopernya di Santha Martha, tempat tinggal Paus Fransiskus. Staf Dikasteri untuk Dialog Antar-Agama Takhta Suci Vatikan itu baru sempat mengangkut pulang barang-barang yang ia bawa selama kunjungan Paus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami berjanji bertemu untuk makan siang sambil mengobrol ngalor-ngidul soal perjalanan apostolik atau kerasulan Paus Fransiskus. Kami yang turut serta dalam rombongan itu selama hampir dua pekan punya pengalaman spiritual masing-masing. Saya pun meluapkan isi hati kepada pastor asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya menganggap Pater—berarti “bapa” atau “pastor”—Markus seperti bapak baptis. “Saya sepertinya akan sulit kembali ke liputan sehari-hari setelah dua pekan bersama Paus Fransiskus dan teman-teman baru dari Vatikan,” kata saya kepada pastor dari Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini itu.
Hari itu saya menyadari bahwa perjalanan Paus Fransiskus benar-benar telah berakhir. Paus telah kembali ke tempat tinggalnya di Santha Martha, Vatikan. Tak ada lagi perjumpaan dengan Paus atau para pejabat Vatikan yang ikut dalam rombongan. Bersamaan dengan itu, aktivitas harian saya pun berubah.
Lanskap Vatikan dari Asrama Frater Pontificio Collegio Urbano, Roma, 15 September 2024. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Saya tak lagi bangun pagi dengan terburu-buru untuk berlari ke lobi hotel dan menemui Biro Pers Vatikan supaya nama saya tak dicoret dari daftar jurnalis peliput acara Paus Fransiskus. Saya pun tak perlu loncat dari satu tempat liputan ke lokasi lain untuk mengikuti kegiatan Paus yang begitu padat. Tak akan ada lagi laporan harian. Tapi, bukannya merasa lega, saya malah merasa kosong.
Kepada Pater Markus, saya bertanya apa yang ia rasakan selama kunjungan Paus Fransiskus ke empat negara. Bukannya menjawab, ia justru memberikan wejangan kepada saya. “Kadang-kadang kita perlu memaksa menetralkan perasaan agar hidup kita berlanjut,” tutur Markus. Saya hanya mengembuskan napas panjang-panjang.
Saya lantas teringat, dalam misa terakhir kunjungan Paus di Singapura, Kamis, 12 September 2024, saya menyaksikan orang tua berkursi roda berupaya menyentuh Paus Fransiskus. Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu kemudian memberkati dan memberinya kalung rosario—kalung manik-manik untuk berdoa kepada Bunda Maria, ibu Yesus.
Paus juga meminta para pengawalnya menggendong bayi atau anak-anak agar mendekat kepadanya. Ia lalu berdoa untuk mereka. Tangis saya tumpah menyaksikan pemandangan itu. Seorang kawan jurnalis lantas memeluk saya. “Menangislah, itu normal.”
Matteo Bruni, Direktur Biro Pers Takhta Suci Vatikan, juga menghampiri saya. “Bukan hanya kamu, saya pun masih tak bisa menahan emosi melihat perjumpaan Paus dengan anak-anak atau orang sakit itu,” kata Matteo.
Ahad, 15 September 2024, saya memutuskan pergi ke Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Paus akan memberikan berkat Angelus pada pukul 12.00 waktu setempat. Saya memutuskan memulai dan mengakhiri perjumpaan dengan Paus dengan Angelus Domini—doa Malaikat Tuhan yang didaraskan pada pukul 06.00, 12.00, dan 18.00.
Paus Fransiskus menghadiri pertemuan dengan peserta ziarah yang dipromosikan oleh Ordo Ulama Reguler, Theatine, di Basilika Santo Petrus di Vatikan, 14 September 2024. REUTERS/Remo Casilli
Saya masuk ke Vatikan pukul 9 pagi. Saya terdiam sebentar. Ini barangkali kesempatan terakhir saya bertemu dengan Paus Fransiskus. Entah kapan saya ke Vatikan lagi atau entah kapan Paus akan mengunjungi Indonesia dan negara-negara tetangganya.
Saya ditemani Anton Baur Asmoro, pastor Keuskupan Agung Jakarta yang sedang menjalani studi doktoral di Roma. Kami menunggu Paus Fransiskus keluar dari jendela teratas Istana Apostolik Vatikan. Tepat pukul 12.00, Fransiskus muncul dengan jubah putihnya. Persis seperti yang saya lihat pada Ahad, 1 September 2024.
Ia memimpin doa, kemudian berpidato. Seperti dua pekan lalu, Paus Fransiskus berbicara dengan lantang. Wajahnya juga tampak lebih segar. Di tengah kerumunan manusia di Lapangan Santo Petrus, saya menikmati setiap kata yang ia ucapkan.
Paus Fransiskus melambaikan tangan setelah selesai menyampaikan pesan soal perlunya gereja membela korban. Saya ikut melambaikan tangan, berharap ia melihat saya dari kejauhan. Paus pelan-pelan menghilang dari pandangan saya. Seiring dengan berakhirnya kunjungan Paus, saya berjalan pelan meninggalkan Lapangan Santo Petrus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo