Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA hangat terasa di ruang pamer Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Rabu, 2 Oktober 2024. Sastrawan dan seniman seperti Eka Budianta dan Dolorosa Sinaga meriung di ruangan yang penuh tulisan nama Sitor Situmorang. Salah satu putra Sitor, Indra Logo Sutan Haborsahan Situmorang, dan sejarawan JJ Rizal ikut menyambut para tamu acara siang itu. Mereka berkumpul dalam peringatan seabad kelahiran sastrawan Sitor Situmorang yang diramaikan dengan pameran arsip “100 Tahun Sitor Situmorang: Wajah Tak Bernama” di ruangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran yang digelar selama 2 Oktober-2 November 2024 ini menampilkan arsip tentang Sitor, seperti kliping tulisannya serta foto-foto dan perjalanan hidupnya, termasuk ketika dia terlibat dalam upacara adat di kampung halamannya di Harian Boho di kaki Gunung Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Ada potret diri Sitor setengah badan dalam posisi menyamping berukuran besar yang dipajang dekat pintu masuk. Ada pula foto Sitor berpose di bawah pohon raksasa dan bersama sahabatnya, sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku berjudul “Gajah, Harimau, dan Ikan” karya Sitor Situmorang dipamerkan pada pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, TIM, Jakarta, 3 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Dalam kesempatan itu, Eka Budianta menyampaikan kenangan tentang pertemuannya dengan Sitor di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat. Dia juga bercerita tentang pencarian buku-buku sang sastrawan dengan harga yang murah. Istri kedua Sitor, Barbara Brouwer, juga hadir dalam perhelatan ini. Acara ini dimeriahkan pembacaan dan musikalisasi puisi karya Sitor oleh para hadirin.
Pada Sabtu, 19 Oktober 2024, Martina Heinschke, akademikus Universität Hamburg, Jerman, meluncurkan Zwischen den Kontinenten, buku puisi Sitor dalam dua bahasa, Indonesia dan Jerman, di Ruang Bilik Anak Perpustakaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Heinschke menggarap buku ini hampir delapan tahun. “Agak lama karena saya mengerjakannya di sela-sela kesibukan pekerjaan,” kata Heinschke kepada Tempo.
Penerjemah Martina Heinschke berdiskusi ketika peluncuran buku Zwischen den Kontinenten Ausgewählte Gedichte von Sitor Situmorang di TIM, Jakarta, 19 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Heinschke sudah lama mengenal Sitor melalui karya-karya sastranya. Dia akhirnya mendalami karya-karya itu untuk menulis disertasi mengenai pemikiran Sitor sebagai sastrawan Angkatan 1945. Ia juga pernah bertemu dengan Sitor untuk keperluan disertasi tersebut. Namun saat itu Heinschke belum berpikir untuk menerjemahkan puisi Sitor ke bahasa Jerman. Tapi ia sempat meminta izin Sitor jika suatu saat akan menerjemahkannya.
Heinschke mengaku tak mudah menerjemahkan karya Sitor. Ia melakukan banyak riset dan membandingkan terjemahannya dengan karya terjemahan puisi Sitor lain dalam bahasa Jerman. Karya Sitor, dia menjelaskan, sepertinya mudah, jelas, dan apa adanya, tapi ketika dipelajari lebih lanjut bisa punya makna lain.
Peringatan seabad kelahiran Sitor Situmorang juga digelar di berbagai tempat lain. Selain di Jakarta, perayaan diadakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 2 November 2024, kafe ViaVia di Yogyakarta pada 24 November 2024, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro di Semarang pada 16 Oktober 2024, dan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya di kampus Madiun, Jawa Timur, pada 2 Oktober 2024.
Sekelompok diaspora Indonesia di Paris, Prancis, juga memperingati seabad Sitor. Di kota tempat Sitor pernah tinggal itu, Asosiasi Seni 7+ menggelar pameran serta pembacaan dan musikalisasi puisi Sitor yang bertema Paris. Selain itu, tokoh teater Jim Adhi Limas dan JJ Rizal berencana menapaktilasi tempat-tempat Sitor berkarya dan membacakan puisi di kota itu.
•••
SITOR Situmorang lahir di Harian Boho pada 2 Oktober 1924 dengan nama Raja Usu Situmorang. Dia meninggal di Apeldoorn, Belanda, pada 21 Desember 2014. Sitor selama ini dikenal sebagai penulis puisi yang terhimpun dalam buku seperti Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, Angin Danau, dan Si Anak Hilang. Dia juga menulis sejumlah cerita pendek yang terkumpul dalam buku seperti Pertempuran dan Salju di Paris.
Pameran di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin memunculkan karya lain Sitor, seperti buku anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan yang diterbitkan Sinar Harapan pada 1981. Buku berwarna kuning-biru itu menampilkan sampul bergambar empat gajah yang seperti sedang berjingkrakan di sebuah kubangan kolam.
Buku itu dilengkapi ilustrasi karya Salim Martowiredjo. Salim bukan sembarang ilustrator. Lukisan dan ilustrasinya pernah mendapat berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional, seperti dari Ikatan Penerbit Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, serta Pusat Kebudayaan Asia-Pasifik untuk Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam Noma Concours for Picture Book Illustrations di Jepang.
Foto Sitor Situmorang bersama keluarga di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, TIM, Jakarta, 19 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Salim, kini 83 tahun, masih ingat jelas ketika Sitor memintanya membuatkan ilustrasi untuk buku cerita anak itu. “Senang. Siapa tidak kenal Pak Sitor? Tapi ya deg-degan juga, khawatir tidak mumpuni,” kata Salim kepada Tempo melalui sambungan telepon.
Salim mengatakan baru kali itu keinginannya membuat ilustrasi buku anak terwujud. Sebelumnya dia lebih banyak melukis tentang kehidupan anak. “Mungkin karena itu Pak Sitor memilih saya membuat ilustrasi untuk buku ini,” ujarnya.
Cerita bermula pada 1978 atau 1979 saat Salim berpameran bersama pelukis Sudaryono Sudarso di Balai Budaya Jakarta. Dalam pameran itulah Sitor melihat karya Salim. Sitor lalu mengajaknya ke Erasmus Huis, yang kala itu masih berada di daerah Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, dan dikenalkan dengan manajer lembaga kebudayaan Belanda itu.
Salim malah kemudian diminta berpameran tunggal di sana. Setelah itu barulah Sitor memintanya membuat ilustrasi untuk buku cerita anak tersebut. “Waktu itu bukunya juga belum jadi sepertinya, tapi saya menyanggupinya,” tuturnya.
Saat mulai melukis, Salim mengaku bingung. Biasa melukis di atas kanvas, kali ini ia harus membuat ilustrasi di atas kertas. Akhirnya dia memutuskan membuat ilustrasi berupa coretan di kertas dengan gambar hitam-putih.
Tantangan lain muncul setelah draf buku diberikan Sitor. Salim kali ini harus membuat ilustrasi candi di Jambi yang menjadi latar cerita. Ia akhirnya dapat menggambarnya setelah menemukan contoh gambar candi itu.
Salim mengaku lupa honor yang ia terima atas jasa membuat ilustrasi buku itu. Tapi dia menyebutkan honornya “cukup memadai”. Selain itu, ia bisa berkenalan dengan sastrawan lain di kemudian lain dan mendapat pesanan ilustrasi untuk majalah sastra Horison.
•••
PAMERAN arsip Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin itu juga merekam kehidupan Sitor sebagai “pengikut” Presiden Sukarno dan marhaenis di Partai Nasional Indonesia sejak awal. Pada 1959, Sitor menjadi pendiri sekaligus Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), organisasi sayap kebudayaan PNI.
Karya-karya dan pendapat Sitor dianggap sealiran dengan para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Sitor berseberangan pandangan dengan para tokoh Manifes Kebudayaan, kelompok pengusung pandangan humanisme universal yang disokong antara lain oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin, Hartojo Andangdjaja, Gerson Poyk, dan Taufiq Ismail. Pada masa kepemimpinan Sukarno, LKN dan Lekra mendapat angin dan dinilai bertanggung jawab atas represi terhadap para seniman di luar kelompok itu, termasuk orang-orang Manifes Kebudayaan.
Keadaan berbalik setelah Sukarno dilengserkan dan Soeharto berkuasa. Sitor dan orang-orang lain yang dianggap kiri pun diburu. Sitor ditangkap polisi pada 1967 dan disiksa di Central Polisi Militer Rumah Tahanan Guntur, Jakarta. Ia lalu ditahan di penjara Salemba tanpa proses pengadilan.
Sebagai tahanan politik, Sitor dilarang menulis. Dia hanya boleh membaca kitab suci. "Bapak dipenjara delapan-sembilan tahun. Setelah bebas, ia banyak ke sana-sini sampai saya enggak ketemu-ketemu. Saya merasa kehilangan Sitor sebagai sosok ayah," kata Indra Logo Sutan Haborsahan Situmorang, anak keenam Sitor. Di masa kecilnya, Logo tak ditunggui sang ayah yang masih dibui.
Logo Situmorang, putra Sitor Situmorang, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Hidup keluarga Sitor saat ia dipenjara morat-marit. Istrinya harus menghidupi enam anak-anaknya. Logo mengungkapkan, semula keluarga mereka tinggal di perumahan Peruri, kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Rumah itu diberikan Sukarno, tapi kemudian mereka diusir dari sana. Mereka lalu tinggal di rumah adik ibunya di Karet, Jakarta Selatan, yang baru setengah jadi. “Saya tak tahu bagaimana perjuangan Ibu saat itu. Yang saya ingat, kakak dan abang saya bekerja untuk membantu keluarga,” ujar Logo.
Ketika keluarga sudah diizinkan menjenguk Sitor di penjara, istri pertamanya, Tiominar, dan anak-anaknya sering datang. Pagi-pagi benar mereka naik bus menuju penjara Salemba. Istri Sitor membawa dua tas berisi rantang makanan dalam jumlah banyak. Isinya nasi, sayur, dan lauk. “Sederhana, Ibu paling masak daun ubi tumbuk, kalau ada rezeki dikasih teri,” ujar Logo.
Mereka lalu akan makan bersama Sitor di ruang jenguk tahanan. Sisa lauk biasanya dapat dinikmati para tahanan lain, termasuk Hersri Setiawan, sastrawan Lekra yang pernah dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Logo beberapa tahun lalu bertemu dengan Hersri, yang masih ingat soal makanan itu. "Ibumu itu pahlawan bagi kami,” kata Hersri.
Arsip perjalanan Sitor Situmorang pada Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, TIM, Jakarta, 3 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Sitor dibebaskan dari Salemba pada 1 Januari 1976 dan menjalani wajib lapor seminggu sekali selama setahun. Istri dan keluarganya dibebani tugas mengawasinya seperti intel. Mereka dipaksa melapor kepada aparat jika ada kawan-kawan tahanan politik atau pengikut Sukarno yang datang menjumpai Sitor.
Dalam film dokumenter karya Afrizal Malna, Sitor mengatakan kepada Pramoedya Ananta Toer bahwa ia tak tahu istrinya menandatangani surat pembebasan dari aparat. Salah satu poin dalam surat itu mensyaratkan Sitor tak boleh menerima tamu setelah dibebaskan. Dia baru mengetahui duduk persoalannya setelah anak-anak keluarga Sukarno datang tapi diusir oleh istrinya.
Setelah lebih leluasa bergerak, Sitor sering bertandang ke rumah teman-temannya, termasuk Pramoedya dan pengusaha Karel Mompang Sinaga. Karel adalah bapak perupa Dolorosa Sinaga. Karel dan Sitor bersahabat sejak masih anak-anak. Menurut Dolorosa, keduanya berteman sejak mereka duduk di bangku hollandsch inlandsche school—sekolah setingkat sekolah dasar di masa Hindia Belanda—di Tarutung, Sumatera Utara. Ayah Sitor adalah pemuka adat, sementara ayah Karel bekerja untuk Belanda sebagai pembuat jalan.
Ketika ayah Karel membangun jalan Tarutung-Sibolga, mereka bertemu. “Bapak Sitor sudah berteman (dengan bapak Karel), terus anak mereka, bapak saya dan Sitor, juga berteman,” ucap Dolorosa melalui sambungan telepon pada Selasa, 22 Oktober 2024. Sitor dan Karel lalu berpisah hingga bertemu lagi di Jakarta, ketika Sitor sudah menjadi seniman, sementara Karel mendirikan PT Asuransi Bumi Asih Jaya.
Dolorosa mengatakan ayahnya pernah bercerita, semasa bersekolah, ketika guru sedang menerangkan pelajaran di kelas, Sitor malah membuat puisi. Ayahnya menilai karakter Sitor sebagai seniman terbentuk sejak saat dia masih bersekolah. Setelah keluar dari penjara, Sitor sering bertemu dengan Karel, tapi Dolorosa mengaku tak tahu persis apa yang mereka perbincangkan.
Dolorosa mengingat sosok Sitor sebagai orang yang suaranya kencang dengan gestur yang sangat ekspresif ketika berbicara. Sitor lebih banyak berbicara daripada Karel yang pendiam. Dolorosa melihat perkawanan ini aneh karena mempertemukan dua karakter yang berbeda. “Bapak saya senang mendengarnya karena bapak saya pendiam. Sitor itu eksentrik dari dulu,” kata Dolorosa, lalu tertawa terbahak. Ayahnya, Dolorosa menambahkan, pun sangat religius dan hidupnya menyebarkan cinta kasih Kristus. Sedangkan Sitor memaknai dunia dengan kebebasan dan kemerdekaan.
Sitor lantas pindah ke Belanda pada 1980 dan memperistri Barbara Brouwer, mantan diplomat di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Bila pulang ke Jakarta, Sitor pasti menginap di rumah Karel di Wisma Bumi Asih di Jalan Solo. Sitor sudah dianggap bukan tamu. Mereka akan makan siang dan makan malam bersama. Karel juga selalu mengabari Dolorosa jika Sitor datang. Namun saat itu Dolorosa sudah tak tinggal bersama sang ayah dan hanya datang untuk menyapa.
Foto Sitor Situmorang ketika muda dalam pameran di TIM, Jakarta, 19 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Di kemudian hari, Dolorosa malah berteman dengan Sitor. Dia masih ingat bagaimana ia sering dikenalkan kepada kawan-kawan seniman Sitor di Dewan Kesenian Jakarta. "Dolo (panggilan Dolorosa) ini bapaknya teman sekelas saya. Tapi, setelah kami tua, kami berjumpa, dia sudah mengambil jalan usaha, saya tetap jadi seniman,” ujar Sitor saat itu. “Untung ada putrinya, seniman, jadi saya berkawan sama putrinya saja."
Setelah Sitor keluar dari penjara, kehidupan ekonomi keluarganya belum membaik. Sitor harus melapor, diawasi, tak bebas berkarya dan bekerja. Indra Logo Sutan Haborsahan Situmorang mengingat bahwa kesulitan keuangan itulah yang kemudian mendorong Sitor melego lukisan karya Affandi berupa sketsa dirinya sebagai jaminan utang. Lukisan kecil itu berlatar warna kuning dengan wajah Sitor dari samping—lukisan ini muncul dalam film dokumenter Rindu Kelana produksi Yayasan Lontar.
Foto terakhir Sitor Situmorang semasa hidup di Apeldoom, Belanda pada pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di TIM, Jakarta, 19 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Logo tak tahu lukisan itu kini di tangan siapa. Ia menuturkan, ayahnya pernah bercerita bahwa, sekeluar dari penjara, Sitor menjenguk Affandi di Yogyakarta. Keduanya sangat lama tak bersua. Affandi bahkan meminta istrinya tak mengganggu pertemuan mereka. Pulang dari rumah Affandi, Sitor membawa dua lukisan. Satu berwarna dan satu lagi hitam-putih.
Menurut JJ Rizal, juga sastrawan Ajip Rosidi, sekeluar dari penjara, Sitor seperti "bendungan jebol". Semua idenya tumpah. Sitor setiap hari berada di depan mesin tik. Menurut Logo, konon saat itu ayahnya sedang membuat novel tapi kemudian draf itu dibuang.
Selain membuat buku cerita anak, Sitor bersama seniman lain menulis buku Bung Karno dan Seni (1979) terbitan Yayasan Bung Karno. Ada pula buku lain, seperti Kamus Istilah Manajemen dan sejumlah buku terjemahan. “Saya kira itu di masa Bapak mengerjakan dalam rangka mencari duit, ya. Jadi apa saja dikerjakan,” kata Logo. Buku-buku sastra terjemahan lawas bertarikh 1950-1960-an dan buku-buku lain itu juga dipajang dalam pameran di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Pameran ini mencatat sepotong kisah lain kehidupan Sitor yang mungkin terlupakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo