Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU melewati pintu masuk museum etnologi nasional Wereldmuseum Leiden, Belanda, pengunjung yang jeli bisa melihat imprint persegi dengan warna yang agak pudar di lantai marmer cokelat di lobi. “Arca Ganesha semula berdiri persis di situ,” kata Marjolein van Asdonck, konservator Wereldmuseum, kepada Tempo pada Jumat, 4 Oktober 2024, sembari menunjukkan tempat arca asal Jawa Timur itu dulu dipajang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 11 tahun, arca dari abad ke-13 ini adalah obyek pertama yang menyambut pengunjung salah satu museum etnologi tertua di dunia itu. Sebelum arca Ganesha itu dibawa ke Indonesia, semua staf museum diberi tahu lewat surat elektronik pada 12 September 2024 bahwa arca tersebut akan meninggalkan museum dalam waktu dekat dan “semua orang mendapat kesempatan mengucapkan selamat tinggal”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arca Ganesha adalah salah satu obyek utama yang dikembalikan pemerintah Belanda ke Indonesia pada September lalu bersama tiga arca Singasari dan ratusan benda jarahan Hindia Belanda asal Bali dari Perang Puputan Badung 1906. Semua benda seni yang direpatriasi kali ini berasal dari koleksi Wereldmuseum, yang memiliki gedung di Leiden, Amsterdam, dan Rotterdam.
Selain di lobi, kekosongan yang ditinggalkan benda-benda tersebut terasa di ruangan pameran yang khusus menyorot Indonesia. Di etalase Bali, misalnya, terlihat sudut kosong dengan dua tonggak horizontal. Layar digital dengan keterangan tentang obyek-obyek ruangan berisi informasi kedaluwarsa beserta foto dan deskripsi tentang gapura kembar setinggi hampir tiga meter asal Tabanan, Bali, jarahan dari Perang Puputan. “Wah, infonya belum sempat diperbarui,” ujar Asdonck.
Informasi mengenai beberapa benda lain sudah diperbarui, seperti narasi tentang tiga giwang emas, yang juga berasal dari Tabanan. Di layar digital tertulis bahwa giwang-giwang itu sudah dikembalikan ke Indonesia pada 24 September 2024.
Pengembalian benda bersejarah pada September lalu itu adalah repatriasi kedua Belanda ke Indonesia sejak kedua negara bersepakat memulai proses pemulangan benda-benda cagar budaya Indonesia yang dirampas dan diboyong ke Belanda di masa kolonial. Pada 2022, pemerintah Belanda membentuk Komite Koleksi Kolonial yang bekerja sama dengan Indonesia, yang diwakili Komite Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda. Pemulangan pertama yang mencakup empat arca Singasari koleksi Pita Maha dan harta jarahan Lombok terlaksana pada 2023.
Arca Nandi sedang dipersiapkan di Wereldmuseum Leiden untuk diberangkatkan ke Indonesia. Boudewijn Bolle, Wereldmuseum, Belanda.
“Sampai sekarang semua berjalan sesuai dengan yang kami harapkan,” tutur Ketua Komite Koleksi Kolonial Lilian Gonçalves-Ho Kang You di Amsterdam pada 30 September 2024. Gonçalves-Ho Kang You memaparkan proses kerja mereka. Mula-mula Indonesia menyampaikan daftar benda cagar budaya yang diharapkan akan dikembalikan dari Belanda. Belanda lalu memeriksa benda-benda apa saja yang berada di tangan pemerintah pusat. “Perjanjian kami dengan Indonesia adalah government-to-government, jadi tidak mencakup kepemilikan pribadi atau swasta,” katanya.
Benda-benda milik pemerintah daerah pun, Gonçalves-Ho Kang You menambahkan, tidak otomatis bisa masuk ke pertimbangan repatriasi. Pemerintah provinsi atau kota boleh mengambil keputusan sendiri, tapi pemerintah pusat dan daerah selalu mencoba mencapai kompromi. Pemerintah Kota Rotterdam, misalnya, memiliki 66 benda cagar budaya dari Perang Puputan. Untungnya, Rotterdam terbuka untuk bekerja sama dalam proses repatriasi benda-benda tersebut. “Sekarang masih dalam taraf pembahasan,” ujar Gonçalves-Ho Kang You.
Institusi Belanda pemilik koleksi yang potensial dipulangkan ke Indonesia harus mengadakan penelitian asal-usul (herkomstonderzoek) terhadap benda-benda tersebut. Begitu penelitian rampung, laporannya diserahkan kepada Komite Koleksi Kolonial, yang lalu memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan. “Keputusan akhir ada di tangan Kementerian,” ucap Gonçalves-Ho Kang You.
Segera setelah merdeka, Indonesia sebetulnya sudah berseru kepada pemerintah Belanda agar mengembalikan obyek jarahan itu. Namun, sampai dua tahun lalu, prosesnya berjalan seret. Pemerintah Belanda hanya pernah mengembalikan arca Prajnaparamitha dan beberapa koleksi asal Lombok pada 1975. Beberapa artefak lain yang sudah dipulangkan adalah keris, tombak, dan pelana kuda tunggangan Pangeran Diponegoro.
Dalam acara penandatanganan perjanjian pengembalian koleksi budaya ke Indonesia pada 20 September 2024 di Wereldmuseum Amsterdam, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Bruins berjanji melanjutkan repatriasi dengan Indonesia. “Ada perubahan signifikan di kedua pemerintahan tahun ini, di Indonesia dan di Belanda. Tapi saya berharap hubungan kita tidak akan berubah dan kerja sama kita akan bermanfaat,” katanya. “Kami menekankan bahwa kami tetap berkomitmen menghadapi masa lalu kolonial kami dan menangani ketidakadilan historis di periode tersebut.”
Gapura dari Tabanan, Bali, yang dibawa ke Belanda setelah Perang Puputan Badung 1906. Wereldmuseum, Belanda
Hilmar Farid—saat itu Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—mewakili pemerintah Indonesia dalam acara penandatanganan tersebut. Dia berharap repatriasi berlangsung dalam jangka panjang dan lebih terarah untuk mencari benda seni jarahan, seperti pendekatan kepada komunitas tertentu. “Lihat seputar peristiwa dan lokasinya, misalnya seputar Perang Batak di awal abad ke-20. Apa yang hilang waktu itu?” ujarnya.
Tidak semua pihak yakin akan janji Bruins. Dia adalah bagian dari kabinet yang baru dibentuk pada Juli 2024 di bawah pimpinan Geert Wilders, politikus Partai untuk Kebebasan (PVV), yang memenangi pemilihan umum parlemen Belanda pada November 2023. Wilders adalah tokoh sayap kanan penyokong kebijakan anti-Islam dan anti-imigran. Pada 2022, Wilders mengkritik Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda saat itu, yang meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan militer Belanda dalam perang kemerdekaan RI.
Jos van Beurden, ahli benda pusaka Belanda, optimistis pengembalian obyek itu akan tetap berjalan. “Isu repatriasi sepertinya tidak dianggap terlalu penting oleh tokoh PVV seperti Wilders dan Bosma (Martin Bosma). Pengetahuan mereka tentang topik ini pun terbatas,” tuturnya.
Martin Bosma adalah ketua parlemen Belanda dari PVV. Dia pernah mengecam keputusan pemerintah Belanda mengenai repatriasi barang jarahan. “Ini obral isi museum kita!” katanya pada Oktober 2023, ketika PVV masih menjadi partai oposisi. Menurut dia, Komite Koleksi Kolonial adalah “komisi obral” yang “tidak punya akal sehat”.
Menurut sumber Tempo yang mengikuti dari dekat proses repatriasi ini, sikap pemerintah tampaknya akan berbeda bila yang dikembalikan adalah koleksi kontroversial seperti fosil Pithecanthropus erectus yang ditemukan paleontolog Belanda, Eugène Dubois, di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891. Fosil itu kini disimpan di Museum Naturalis Leiden. Sejarawan Muhammad Yamin pernah meminta fosil itu dikembalikan pada awal 1950-an. Dua tahun lalu, Indonesia kembali mencantumkan fosil ini dalam daftar benda yang patut dikembalikan Belanda. Jos van Beurden mengkritik lambatnya langkah Belanda dalam repatriasi fosil ini.
Kepala Bagian Museum Naturalis Karin Huntjens mengatakan, atas permintaan Komite Koleksi Kolonial, mereka telah menyumbangkan temuan Dubois itu untuk diteliti asal-usulnya. “Komite juga meminta penelitian tambahan oleh NIOD (Institut Studi Perang, Holocaust, dan Genosida),” ucapnya melalui surat elektronik pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, mengatakan diperlukan kesabaran dan kegigihan untuk meneruskan pembahasan mengenai hal itu dengan Museum Naturalis. Ini perlu, “Untuk mencapai win-win solution,” katanya melalui surat elektronik pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Masalah lain adalah rencana pemotongan anggaran untuk sektor seni budaya. Lilian Gonçalves-Ho Kang You memastikan anggaran itu “sudah ditetapkan secara struktural”, tapi akan mempengaruhi dana lain, seperti beasiswa. “Kami harap proses penelitian asal-usul bisa tetap berlangsung karena ini sangat penting dalam proses repatriasi,” tuturnya.
Kurator Wereldmuseum Marjolein van Asdonck (kedua dari kiri) memberi keterangan tentang perhiasan dari koleksi Perang Puputan Badung 1906 pada Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid (kiri), Ketua Komite Koleksi Kolonial Lilian Gonçalves, dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Bruins (ketiga dan keempat dari kanan) di Wereldmuseum Amsterdam pada 20 September 2024. Boudewijn Bollma, Weredlmuseum, Belanda
Menurut Marjolein van Asdonck dari Wereldmuseum, proses itu terutama menyangkut penelitian dokumen dalam berbagai arsip. “Semua informasi harus lengkap dan jelas: di mana obyek ditemukan, oleh siapa, bagaimana, dan kapan masuk koleksi kami,” ujarnya.
Proses pengembalian tidak hanya terbatas pada penelitian asal-usul. “Ada yang juga perlu direstorasi. Banyak obyek sudah mendekam dalam penyimpanan lebih dari seratus tahun,” ucap Asdonck. Pengiriman juga dilakukan dengan saksama, dari pembungkusan sampai kedatangannya di tujuan. Pihak Belanda juga akan mengirim ahlinya untuk mendampingi benda-benda budaya tersebut, yang kali ini adalah ahli restorasi Machteld Jacques. Biaya repatriasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda.
Marjolein van Asdonck menjelaskan bahwa Wereldmuseum sudah menerbitkan laporan tentang penelitian asal-usul obyek dari zaman kolonial pada 2019. Ia menilai proses repatriasi antara Belanda dan Indonesia berjalan lebih lancar dibanding negara-negara lain, seperti Belgia dan Inggris dengan negara bekas jajahan mereka.
William Southworth, konservator seni Asia Tenggara di Rijksmuseum di Amsterdam, membandingkan keberhasilan Indonesia dengan upaya Kamboja dan Vietnam yang masih belum bisa berjalan. “Vietnam telah meminta kembali beberapa obyek, tapi belum ada klaim besar. Indonesia cukup unik dalam hal ini,” katanya.
Jos van Beurden mengingatkan bahwa Belanda bukan satu-satunya negara Eropa yang menyimpan warisan budaya Indonesia. Inggris, misalnya, berkuasa di Nusantara selama lima tahun di awal abad ke-19. “Mungkin masih ada obyek yang tersimpan di British Museum,” tuturnya.
Selain fosil Trinil, beberapa benda masih dalam taraf penjajakan atau penelitian, seperti koleksi regalia Luwu dari Sulawesi Selatan, perlengkapan kuda Pangeran Diponegoro, dan Prasasti Damalung dari Jawa Tengah. Kedua pemerintah menyadari banyak artefak yang berada di tangan pihak swasta dan pemerintah Belanda tidak bisa memaksa mereka melepaskan koleksi tersebut.
Budaya Kita, sebuah yayasan kecil di Belanda, telah menemukan 15 tengkorak yang dibawa dari Tanimbar ke Belanda pada 1912 untuk penelitian. Tengkorak ini kini tersimpan di Vrolik, museum anatomi yang berada di bawah naungan Amsterdam University Medical Center (UMC). Ketua yayasan, Menucha Latumaerissa, mengatakan kepada Tempo bahwa mereka akan memulangkan benda-benda itu ke Maluku pada Senin, 4 November 2024.
Proses repatriasi koleksi Indonesia di Rijksmuseum, museum terbesar di Belanda, juga rumit. Walaupun Rijksmuseum berada di bawah naungan pemerintah, banyak obyek asal Indonesia di sana adalah pinjaman dari Koninklijke Vereniging van Vrienden der Aziatische Kunst, yayasan swasta di bidang seni Asia.
Made Naraya, mahasiswa magister jurusan seni dan warisan di Universiteit Maastricht, Belanda, ikut merayakan kembalinya artefak Indonesia, khususnya yang berasal dari Bali. Ia menari di depan gedung Wereldmuseum saat acara penyerahan berlangsung. “Hampir tak percaya ini terjadi. Hampir tidak bisa menahan emosi. Ini penghormatan untuk leluhur kami,” ujar pemuda asal Badung itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Pulang yang Berliku"