Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampung Berap mengembangkan wisata ramah lingkungan di Kali Biru.
Wisatawan dapat berenang atau menyusuri sungai.
Wisatawan juga dapat menyaksikan burung cenderawasih beterbangan.
KALI Biru itu sebetulnya tidak berwarna biru. “Kami namai Kali Biru karena memang jernih sekali airnya,” kata General Manager Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Nico Wamafma tentang sungai yang melintasi belakang rumahnya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, pada 9 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu kami mampir ke rumah Nico setelah berkeliaran di hutan mengintai burung cenderawasih. Setelah makan siang di rumah itu, kami diajak Nico ke Kali Biru, yang terletak sekitar 100 meter dari rumahnya. Ada lahan yang cukup luas di pinggir bengawan itu untuk wisatawan yang ingin berkemah. Sebuah saung berukuran 3 x 3 meter juga tersedia untuk orang-orang yang mau bersantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali itu begitu jernih dan tampak menyegarkan sehingga Deta Widyananda, rekan saya dari tim TelusuRI, langsung menceburkan diri dengan pakaian lengkap dan sandal gunungnya. “Enak banget rasanya,” ujar pria yang punya hobi jalan-jalan dan fotografi itu.
Saya pun menyusul ikut melompat ke bengawan itu. Airnya cukup dingin dan menyejukkan kami yang kepanasan. Namun sungai yang tampak tenang itu ternyata berarus deras. Saya, yang tak menyadari arusnya begitu kuat, pun terseret. Untung ada kabel pipa yang melintang di tengah sungai yang bisa saya pegang bersama rekan saya agar tak terus terbawa arus.
Arus yang deras begini memang bagus untuk kegiatan susur sungai. Nico sudah menyadarinya dan menyediakan ban-ban hitam besar yang bisa kami gunakan. Dengan ban itu kami mulai menjajal susur sungai dari hulu hingga ke belakang rumah Nico. Namun arus yang deras kadang menggulung ban itu sehingga ban terbalik dan kami tenggelam hingga menginjak dasar kali yang sedalam sekitar 2 meter. Dasar kali itu pun berlumut dan sangat licin.
Saya cukup sering berenang di Stadion Akuatik Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan kedalaman kolam 3 meter. Tapi, ketika saya berenang melawan arus Kali Biru dan berusaha meraih dermaga, susahnya bukan main. Teman saya akhirnya mengulurkan tangan dan menarik saya sehingga saya bisa menggapai dermaga kayu buatan itu.
Lain halnya dengan bocah-bocah Papua yang juga berenang di kawasan itu. Badan mereka mungil, tapi sangat cekatan dan lihai berenang melawan arus untuk mencapai dermaga. Bahkan, ketika menggunakan ban hitam, mereka bisa mendayung dengan tangan dan melawan arus untuk menggapai pinggir kali. Tidak jarang anak-anak Kampung Berap itu melompat dari ranting pohon dan terjun ke air.
Sungai di belakang rumah Nico itu berjarak kira-kira 3 kilometer dari sumber air di kawasan hulu. Bengawan itu mengalir hingga ke sebuah muara yang berjarak sekitar tujuh kilometer. Muara itu terletak di dekat rumah Manajer Ekowisata BUMMA Octovianus Manggo, yang biasa disapa Octo. Kawasan ini lebih luas daripada kawasan hulu. “Kami menyebutnya Enggam,” ucap Nico menyebutkan nama lain Kali Biru yang digunakan orang-orang terdahulu.
Saat itu beberapa orang tampak sedang membersihkan muara tersebut dari eceng gondok. Koordinator Ekowisata Kampung Berap, Petrus Manggo, mengatakan dua bulan terakhir timnya berupaya mengangkat semua eceng gondok yang menutupi sungai. “Pernah ada anjing yang mengira Kali Biru yang tertutupi eceng gondok itu daratan. Ia melompat dan akhirnya tercebur ke sungai,” tuturnya.
Mereka juga membersihkan sungai itu dari sampah plastik. Walaupun kali ini jernih, tetap saja ada beberapa sampah plastik yang menyempil. Sampah itu merupakan bekas plastik sabun cuci yang dibuang sembarangan. Warga Kampung Berap menggunakan kali itu untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci dan mandi. Bahkan di kawasan hulu masih banyak orang yang mengambil airnya untuk diminum. “Biasanya mereka mengambil air untuk minum di waktu malam. Mereka menganggap di waktu itu masih sepi orang beraktivitas di Kali Biru,” ujar Nico.
Petrus, Octovianus, Nico, dan warga kampung lain terus membersihkan sungai itu. Kegiatan ini dilakukan untuk menyambut para tamu asing yang berkunjung ke kawasan ekowisata itu. Para tamu sebenarnya hendak menyaksikan proses pengukuhan salah satu iram atau kepala suku di Distrik Nimbokrang sekaligus menikmati wisata rakit di kali.
Nico menuturkan, mereka akhirnya berhasil membangun wisata rakit menelusuri Kali Biru pada 3 Oktober 2024. Para tamu bergantian menikmati pemandangan alam di sekitar Kali Biru dengan rakit itu. Dalam satu rakit terdapat maksimal tiga orang. Mereka ditemani seorang pemandu dan seorang juru mudi. “Paling banyak satu rakit diisi lima orang karena maksimal beratnya 250-300 kilogram,” kata Nico.
Selama di rakit itu, pemandu akan bercerita tentang berbagai tumbuhan yang hidup di sekitar Kali Biru. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan burung-burung yang beterbangan dan kicauan mereka. Pemandu akan menjelaskan berbagai burung tersebut. “Perjalanan wisatawan untuk keliling Kali Biru ini memakan waktu 45 menit-1 jam,” tutur Nico. Beberapa pengunjung bahkan terjun ke sungai di bagian hulu yang dalam itu.
Nico dan timnya mematok tarif paket wisata rakit Rp 150 ribu per orang. Menurut dia, harga itu cukup murah karena melibatkan banyak orang, termasuk pemandu dan juru mudi rakit. “Kami juga perlu berkontribusi kepada Marga Yosua dan Marga Manggo yang kawasannya dilewati Kali Biru. Nanti setiap satu bulan akan kami bagi berapa pendapatannya agar adil,” ujarnya.
Octovianus Manggo mengatakan timnya berencana memperluas jangkauan wisata Kali Biru hingga ke muara utama, yaitu di Sungai Grime. Alasannya, di kawasan hilir, bila beruntung, wisatawan bisa melihat cenderawasih yang sedang terbang. Namun mereka pun harus mengambili lebih banyak eceng gondok atau sisa-sisa pohon sagu dan sampah plastik di kawasan hilir tersebut. “Ke depan, semoga bisa lebih ramai peminat wisata ini sehingga tumbuh pula ekonomi masyarakat kampung kami,” katanya.
Nico berharap pembukaan lokasi wisata alam dengan modal dari kumpulan masyarakat adat ini bisa membantu perekonomian masyarakat setempat. Dengan demikian, makin sedikit warga yang berniat menangkap dan menjual burung cenderawasih, hewan endemis kawasan tersebut. Bila upaya itu berhasil, Nico juga berharap masyarakat desa mencari pekerjaan selain di perusahaan sawit, yang ia nilai ujung-ujungnya akan menghancurkan hutan Papua.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo