Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak-anak yang bersekolah daring lama-lama merasa bosan sehingga malas belajar.
Mereka pun jadi mudah marah dan memperlihatkan gejala stres.
Orang tua pun mencari cara agar anak mereka kembali bersemangat, salah satunya dengan liburan.
Menjalani keseharian dengan penuh ketakutan hingga tak berani ke luar rumah dan bertemu orang lain sempat dialami Febriani, 39 tahun, ibu rumah tangga asal Bandung. Selama hampir empat bulan pertama masa pandemi Covid-19 pada 2020, Febri dan suaminya menutup rapat-rapat pintu rumah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang suami, karyawan salah satu lembaga swadaya masyarakat, juga bekerja penuh dari rumah. Begitu pula anak semata wayang mereka, Putra, yang kini duduk di kelas VIII sekolah menengah pertama, menjalani proses belajar secara daring. Febriani hanya ke luar rumah untuk membeli bahan makanan di warung dekat rumahnya. Sama seperti orang kebanyakan, kekhawatiran tertular virus Covid-19 menjadi sumber utama ketakutan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Febriani bercerita, sang anak terlihat senang bersekolah dari rumah. “Dia semangat mengikuti pelajaran dan rajin mengerjakan tugas. Tahun lalu juga nilai akademisnya masih baik,” ujar Febriani kepada Tempo, Rabu lalu. Tapi, menjelang akhir 2020, semangat sang anak mulai kendur.
“Dia jadi semakin sering bangun siang dan terlambat mengikuti kelas online,” kata Febriani. Beberapa kali tugas-tugas sekolah telat dikerjakan. Puncaknya, pada saat ujian semester beberapa bulan lalu, Putra absen mengikuti tes gara-gara bangun kesiangan. “Waktu itu saya marah besar.”
Perilaku Putra pun, kata Febriani, turut berubah. Dari yang awalnya menurut dan rajin membantu di rumah, kini jadi malas-malasan dan kerap membantah. Sang anak lebih senang bermain game di telepon selulernya. Febri sempat menghukum Putra dengan menyita ponsel sang anak. “Eh, tapi malah anaknya semakin susah diatur,” ujarnya sambil tertawa.
April lalu, kebetulan suami Febriani mendapat tugas ke Bali. Mereka melihat hal ini sebagai kesempatan yang pas untuk liburan keluarga setelah setahun tak pernah ke mana-mana. “Akhirnya saya dan anak memberanikan diri ikut suami ke Bali. Di sana sih suami hanya bekerja empat hari. Tapi kami tinggal lama untuk liburan, sampai dua minggu.”
Karena sekolah sang anak masih dilakukan secara daring, sambil berlibur, Putra tetap bersekolah. “Pagi-pagi dia belajar, siang dan sore baru kami jalan-jalan ke tempat wisata,” ujarnya. Cara ini ternyata cukup membantu mengembalikan semangat sang anak. Sepulang dari Bali, Putra mulai memperlihatkan antusiasmenya mengikuti pelajaran. “Memang waktu itu anak saya sudah sangat bosan dan suntuk diam di rumah. Dia perlu suasana baru.”
Ilustrasi anak belajar. Tempo/Ijar Karim
Persoalan yang dihadapi Febriani dan keluarganya turut dirasakan oleh banyak orang tua lain yang terkena dampak pandemi. Keluhan mereka rata-rata sama: anak jadi malas belajar, lebih senang menghabiskan waktu di depan komputer atau bermain ponsel, dan mengalami perubahan perilaku. Ada juga yang melaporkan anaknya memperlihatkan gejala stres, seperti jadi mudah marah, bersikap tertutup dan murung, atau sulit berkonsentrasi.
Pada masa pandemi ini, kasus anak yang mengalami stres, seperti dilaporkan sejumlah survei, tampak meningkat. Tahun Lalu, organisasi internasional non-pemerintah, Save The Children, merilis hasil survei yang menyatakan tingginya persentase tingkat stres yang dialami anak dan orang tua di seluruh dunia selama masa pandemi Covid-19.
Save The Children melakukan survei di 37 negara dengan melibatkan 17.565 orang tua dan pengasuh serta 8.069 anak berusia 11-17 tahun. Hasil survei itu menyatakan 61,1 persen anak mengalami stres pada masa pemberlakuan kebijakan lockdown atau pembatasan sosial pertama. Jumlah anak yang stres meningkat jadi 95,5 persen ketika sejumlah negara memberlakukan kembali kebijakan lockdown kedua pada akhir 2020.
Dari dalam negeri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan hasil survei yang menyatakan peningkatan stres pada anak usia sekolah terjadi akibat beratnya tugas sekolah yang diberikan guru lewat pembelajaran daring. Dari hasil survei yang melibatkan ribuan siswa dan guru di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota itu, KPAI melaporkan 73,2 persen siswa merasa berat akan tugas yang diberikan.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, dari survei itu juga diketahui 79,9 persen anak mengatakan proses pembelajaran jarak jauh dengan guru dilakukan tanpa interaksi. “Guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas,” kata Retno dalam webinar KPAI beberapa waktu lalu. “Anak menjadi kelelahan dan kebingungan karena tugas menumpuk dan kurangnya penjelasan dari guru.”
Survei lain yang dilakukan KPAI juga melaporkan banyak anak mengalami kekerasan fisik dan psikis pada masa pandemi ini. Berdasarkan survei terhadap 25.164 anak dan 14.169 orang tua pada Juni 2020, KPAI menemukan sebanyak 32,3 persen ayah dan 42,5 persen ibu melakukan kekerasan fisik terhadap anak. Bentuk kekerasan fisik yang banyak dilakukan antara lain mencubit (39,8 persen), menjewer (19,5 persen), dan memukul (10,6 persen).
Survei tersebut juga melaporkan sebanyak 69,6 persen ayah dan 73 persen ibu melakukan kekerasan psikis. Beberapa kekerasan psikis yang dialami anak antara lain dimarahi (56 persen), dibanding-bandingkan dengan anak lain (34 persen), dibentak (23 persen), dan dipelototi (13 persen). Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa pengasuhan anak selama masa pandemi lebih dominan dilakukan oleh ibu.
KPAI melaporkan sebanyak 21 persen ayah tidak pernah mendampingi anak belajar dan sebanyak 17,5 persen ayah tidak pernah mendampingi anak beraktivitas. Beban berat domestik bertumpu pada ibu selama masa pandemi Covid-19, termasuk tanggung jawab pengasuhan. Kondisi ketidakadilan dalam urusan rumah tangga yang dialami ibu dan kekerasan selama masa pandemi secara terus-menerus berefek domino terhadap kesehatan fisik dan mental anak.
Ilustrasi anak belajar. Tempo/Ijar Karim
Deasy Christina, 33 tahun, ibu rumah tangga lain yang juga tinggal di Bandung, mengaku cukup beruntung karena ia dan suaminya bisa berbagi peran mengasuh tiga anak mereka di rumah. Selama masa pandemi, suami Deasy, yang seorang pengusaha, lebih banyak diam di rumah dan turut mendampingi anak-anak mereka.
Walau begitu, Deasy bercerita, stres akibat situasi pandemi dan kelelahan mengurus anak tetap mereka rasakan. Akibatnya, mereka kewalahan membagi perhatian kepada tiga anak mereka yang masih kecil. Anak tertua Deasy baru berusia 6 tahun, dan selama setahun kemarin bersekolah taman kanak-kanak secara daring. Dua anak yang lain pun mengikuti kelas pendidikan anak usia dini secara jarak jauh.
“Meski baru taman kanak-kanak, anak pertama gue sudah dapat banyak tugas dari gurunya membuat aneka proyek seni atau science,” katanya. Tugas-tugas itu, kata Deasy, biasanya dikerjakan bersama-sama dan divideokan untuk dilaporkan ke guru. Pada separuh pertama masa pandemi, semua berjalan lancar. Tapi, pada paruh kedua hingga saat ini, anak-anak mereka mulai menunjukkan kebosanan dan berkurangnya semangat belajar. “Terutama anak pertama.”
Karena mereka tak pernah ke mana-mana, konflik antar-anak pun jadi lebih sering terjadi. Anak pertama Deasy belakangan menunjukkan gejala stres, seperti mudah tersinggung dan jadi lebih sering berantem dengan adik-adiknya. “Gue menduga dia jadi lebih mudah marah karena perhatian gue dan suami lebih banyak kepada adik-adiknya.”
Selain itu, anak pertama Deasy biasanya semangat mengerjakan tugas dan gembira mengikuti pelajaran. Namun, belakangan ini, sang anak tampak ogah-ogahan dan sering menunda mengerjakan tugas. Faktor lain adalah kurangnya perhatian dari guru ketika belajar daring. “Anak gue ini memang berjiwa kompetitif. Kalau ada pertanyaan dari guru di kelas online dan dia enggak dapat kesempatan menjawab, anak gue jadi bete.”
Meski Deasy dan suami berbagi peran, kondisi pandemi yang berkepanjangan menguras energi mereka. “Kami merasa sudah mati gaya mencari cara menjaga mood anak,” katanya. Rutinitas mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah pun terkadang terlewati akibat kelelahan dan stres yang mereka rasakan sendiri. “Jadi perhatian ke anak pun berkurang.”
Beruntung, Deasy punya kawan seorang psikolog. “Gue banyak bertanya ke teman gue itu cara menghadapi anak yang perilakunya berubah,” ujarnya. Dari temannya itu, Deasy tahu bahwa perubahan perilaku yang ditunjukkan anak sulungnya tersebut merupakan salah satu gejala stres. “Sekarang gue dan suami jadi lebih jeli melihat kondisi anak. Kalau dia terlihat murung atau lesu, kami langsung cari cara untuk membuat dia kembali senang.”
Dalam kondisi serba terbatas, Deasy dan suaminya kerap mencari hiburan dengan melakukan hiking ke alam terbuka di sekitar Bandung yang jauh dari keramaian. Jika situasi tak memungkinkan, mereka membuat permainan di mana setiap anak diminta tampil di depan anggota keluarga lain. “Ini cara supaya anak merasa didengar dan diperhatikan oleh anggota keluarganya yang lain,” ujarnya.
Adapun agar anak rutin melakukan aktivitas fisik, Deasy dan suaminya kerap melibatkan anak-anak dalam tugas rumah tangga, seperti menyiram tanaman dan kebun. Ia juga mendaftarkan anak-anaknya mengikuti les piano dan les vokal secara daring. “Setidaknya anak punya kegiatan lain, dan energi mereka yang berlebih bisa tersalurkan.”*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo