Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pasal yang memberikan kewenangan pemerintah untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ke ormas keagamaan digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bisa menjurus ke permasalahan SARA atau suku, agama, ras dan antargolongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Rega Felix, seorang dosen sekaligus advokat, yang mengajukan uji materi Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ke MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia minta Mahkamah mengatur ketentuan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) pada Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dilaksanakan tanpa didasari pertimbangan SARA.
"Pada pokoknya adalah norma pasal yang diuji memberikan ruang kewenangan terlalu luas kepada pemerintah untuk memberikan IUPK secara prioritas, merugikan hak konstitusional pemohon karena ternyata pemerintah dapat memberikan IUPK secara prioritas dengan berbasis kepada ormas keagamaan," kata Rega dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, 24 Juli 2024.
Menurut dia, pemberian IUPK pertambangan berbasis ormas keagamaan mengakibatkan kekayaan alam Indonesia harus dibagi berdasarkan pertimbangan golongan atau denominasi keagamaan tertentu.
Ia khawatir kondisi tersebut menimbulkan permasalahan sosial dan merugikan rakyat Indonesia yang bukan bagian dari ormas keagamaan.
"Adanya pasal dalam UU Minerba yang memberikan ruang kepada pemerintah untuk memberikan IUPK secara prioritas menyebabkan dimungkinkannya membagi-bagi kekayaan alam berbasiskan kepada golongan, bahkan berdasarkan SARA," katanya.
Selain itu, dia juga mengaku khawatir pemberlakuan pasal tersebut mengakibatkan perebutan sumber daya alam atas nama agama yang akhirnya mengakibatkan Indonesia terjebak dalam sektarianisme.
"Jika sudah terjadi sektarianisme yang memperebutkan SDA atas nama agama, Indonesia dapat masuk ke dalam jurang perpecahan yang sulit dipulihkan," katanya.
Bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Minerba yang diuji tersebut adalah Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, berwenang: melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas.
Sementara itu, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Minerba berbunyi: Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut, Rega menyebut kebijakan penawaran WIUPK secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter kebijakan afirmatif.
Menurut dia, makna kata "prioritas" dalam pasal yang diuji tidak memiliki batasan yang jelas.
"Berdasarkan hal tersebut, maka makna prioritas perlu diberikan tafsir konstitusional," ujar Rega.
Dalam petitumnya, Rega meminta kepada MK agar Pasal 6 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Minerba diubah menjadi: Melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Kemudian, Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Minerba dimaknai menjadi: Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani. Sebagaimana hukum acara pengujian undang-undang, hakim konstitusi memberikan nasihat kepada pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
Arsul Sani, salah satunya, meminta pemohon untuk memperjelas maksud permohonannya. Ia menyarankan pemohon untuk memikirkan konsekuensi yang timbul apabila permohonannya dikabulkan.
"Konsekuensi dari pemaknaan yang saudara mohon, maka pemerintah nanti, kalau dikabulkan, tidak boleh memberikan IUPK kepada masyarakat hukum adat karena berdasarkan suku. Gimana, dong?" katanya.
Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari. Naskah perbaikan diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada 6 Agustus 2024.
Pemerintah Bagi-bagi IUPK ke Ormas Keagamaan
Bagi-bagi izin konsesi tambang itu bermula dari janji Presiden Jokowi dalam muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada Desember 2021. Saat itu, Jokowi berjanji hendak membagikan IUP kepada generasi muda NU sebagai upaya pemberdayaan masyarakat untuk pemerataan kesejahteraan.
"Saya juga mau memberi konsesi Minerba, yang pengin bergerak di usaha nikel misalnya atau batu bara atau tembaga. Silakan," kata Jokowi.
Jokowi mengungkapkan pemberian izin konsensi ini bertujuan untuk memperkokoh kemandirian dan kewirausahaan sosial di Nahdlatul Ulama dan menjadi bagian penting dari kebijakan transformasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Terutama, transformasi hijau yang berkelanjutan dan inklusif, transformasi digital ekonomi serta meningkatkan kelas UMKM.
Kemudian, pada Senin, 31 Januari 2022 Jokowi mengatakan pemerintah akan segera merealisasikan pemberian izin konsensi lahan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Izin konsensi tersebut, kata Jokowi, akan diberikan untuk digarap secara profesional.
"Sudah saya siapkan (konsesi). Saya pastikan yang gede, enggak mungkin saya memberikan ke NU yang kecil-kecil," ujar Jokowi saat menghadiri pengukuhan pengurus PBNU di Balikpapan, Senin, 31 Januari 2022.
Jokowi kemudian meneken revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024 pada Kamis, 30 Mei 2024.
Dalam beleid tersebut terdapat aturan baru yang memberikan kesempatan organisasi massa atau ormas keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Pada 22 Juli 2024, Jokowi meneken Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 76 Tahun 2024, yang memberikan kewenangan Menteri Investasi membagikan izin mengelola tambang bagi organisasi masyarakat keagamaan.
Perpres terbaru ini sebagai perubahan atas Perpres No. 70 Tahun 2023. Perpres ini juga mengakomodasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang terlebih dahulu diteken Jokowi.
Ada tiga angka yang ditambahkan pemerintah pada pasal 1: Pertama pada poin 5a, soal Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Kedua pada poin 5b, soal Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) - sebagai payung hukum pemerintah melakukan perjanjian dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Batubara. Ketiga di poin 6a, soal Wilayah lzin Usaha Pertambangan Khusus dalam (WUPK) wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
PP Nomor 25 Tahun 2024 memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang. Tetapi, belum mengatur secara rinci tata cara pemberian izin tambang. Aturan ini mengganti PP Nomor 96 Tahun 2021.
PBNU, yang sejak awal siap menerima IUPK, mendapat konsesi tambang batu bara bekas lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
PT KPC, yang merupakan anak perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk, grup Bakrie, memegang konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang berakhir pada Desember 2021. Pada awal 2022, PT KPC mendapatkan perpanjangan masa operasional, namun dengan wilayah konsesi yang menciut dari 84.938 hektare menjadi 61.543 hektare. Lebih dari 20 ribu hektare eks lahan PT KPC ini diproyeksikan diserahkan kepada PBNU.
Setelah PBNU, Muhammadiyah menyatakan siap mengelola lahan tambang yang dtawarkan pemerintah untuk ormas keagamaan.
Sementara Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sudah menyatakan menolak IUPK.
ANTARA | TIM TEMPO