Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap 'Kroketten' di Belanda

Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh ternama dunia lainnya menjadi nama jalan di Belanda.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

5 September 1921. Daun-daun kuning kecokelatan berserakan di jalan-jalan. Temperatur menukik turun ke kisaran belasan derajat Celsius saja. Di atas kepala, langit seperti jubah berwana kelabu yang menyelimuti sekujur negeri Belanda. Meriahnya warna-warni bunga daffodil dan tulip yang mekar tiap April dan Mei hanya tinggal kenangan. Giliran musim gugur yang meraja saat ini. Pelabuhan Nieuwe Waterweg di depan mata. Angin selalu saja bertiup kencang di sini, di salah satu pelabuhan tersibuk di Belanda. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 11-12 siang. Terhuyung-huyung kapal Tambora milik Rotterdamse Lloyd melabuhkan diri. Jauh betul perjalanan yang telah ditempuh kapal itu selama sebulan. Dari Teluk Bayur ke Pelabuhan Perim melintasi Laut Merah menuju Port Said, berlabuh sejenak di Marseille lewat Selat Gibraltar lewat Teluk Biscaye, akhirnya Tambora beringsut-ingsut masuk ke mulut Sungai Mass dan sampai di Kota Rotterdam. Satu demi satu penumpang menjejakkan kaki ke negeri mahadatar itu. Diiringi perasaan masygul dan degup jantung yang berdebar-debar, masing-masing turun seraya membawa serta bagasi berikut setumpuk harapan, sederetan cita-cita, serta sepenggal kenangan akan tanah air. Di antara penghuni kelas dua kapal tersebut terdapat seorang pemuda asal Indonesia. Mohammad Hatta namanya. Seraya merapatkan kerah baju hangat ke tubuh dan meraba amplop berisi 500 gulden di saku hasil sumbangan beberapa saudagar asal Pasar Gedang, Hatta tiba di Negeri Belanda, dipeluk udara dingin musim gugur yang kelabu. Dan waktu terus berlalu. 17 Februari 1987. Saat itu kuncup-kuncup bunga daffodil dan tulip tengah mengambil ancang-ancang untuk mempesona dunia. Kini juga saatnya untuk bersenang-senang, mengudap frites met (kentang goreng porsi kecil yang disiram mayonnaise) dan menyeruput buih-buih bir Heineken seraya mempersiapkan beraneka kostum ganjil. Pada bulan ini, pemeluk Katolik di sebelah selatan negeri penuh sepeda ini merayakan Karnaval. Aroma perayaan sampai juga ke Haarlem, salah satu kota tertua di Belanda dan kota nomor sepuluh terbesar di Negeri Kincir Angin tersebut. Kota yang penuh kanal ini terletak 10 kilometer dari tepi pantai dan 15 kilometer sebelah barat kota Amsterdam. Pada tanggal tersebut, saat angin bertiup kencang dari arah Laut Utara, sebuah jalan yang lempang dan sunyi di kawasan permukiman Haarlem memperoleh nama. Nama jalan itu Mohammed Hattastraat. Jalan Mohammad Hatta. Seolah-olah meniru sifat pemilik nama jalan tersebut, penggalan jalan itu begitu sederhana, lurus dan jauh dari keriuhan. Maklumlah, kawasan perumahan Zuiderpolder ini baru mulai dibangun 15 tahun yang lalu, masih tergolong baru. Sederet rumah permukiman mengisi sebelah ruas jalan selebar 3 meter dengan panjang 0,1 kilometer. Semuanya bernomor genap, dari nomor 2 hingga 36. Sebelah sisi ruas jalan itu masih melompong. Nantinya di sebelah sini dibangun rumah-rumah dan semuanya akan bernomor ganjil. Ujung Hattastraat bertemu dengan Sutan Sjahrirstraat alias Jalan Sutan Sjahrir. Di tengah Hattastraat terdapat Chris Sumokilstraat, yang mengarah ke dalam kawasan permukiman tersebut. Nama untuk dua jalan yang belakangan tersebut ditetapkan beberapa saat kemudian, persisnya tanggal 2 Desember 1987. Mari lepaskanlah kembara pemikiran barang sejenak. Bayangkan apabila roh para pemilik nama jalan ini bersua. Alangkah ramainya perdebatan yang terjadi, alangkah riuhnya. Bayangkan juga apabila para arwah pemilik nama jalan di sekitar kawasan ini ikut menimpali pergulatan pemikiran khayali tersebut. Ada Emiliano Zapata (pemimpin pemberontakan petani asal Meksiko), ada Salvador Allende (mantan pemimpin Cile, politisi sosialis yang dikudeta), ada pula Steve Biko (mahasiswa Afrika Selatan kulit hitam antiapartheid yang tewas di penjara), Bisschop Luwun (uskup vokal asal Uganda yang meninggal akibat kecelakaan mobil, diduga atas rekayasa diktator Idi Amin), Antonio Netto (politisi asal Angola), juga Pal Maleter (jenderal revolusioner asal Hungaria). Bayangkan apabila semua tokoh ini bisa duduk bersama untuk sanggah-menyanggah dan adu argumen seraya mengunyah kroketten (kue asin yang terbuat dari kentang yang ditumbuk) yang masih hangat dan berasap. Sanggah-menyanggah dan adu argumentasi itu memang sebuah panggung imajinasi. Dalam dunia sebenarnya, tak ada pertentangan atau konflik yang terjadi seiring dengan pemberian nama Mohammed Hattastraat. Prosedur penetapan nama jalan melibatkan sejumlah instansi seperti PT pos, bagian arsip, bagian perawatan monumen, serta komisi pengembangan dan pembaruan kota. Dalam penetapan nama ini, menurut pejabat bagian pengembangan dan pembaruan kota Haarlem, R.H. Claudius, nama Mohammed Hatta ditetapkan oleh Wali Kota Smiths ketika itu. Saat nama ini ditetapkan, tak ada sanggah-menyanggah atau adu argumen yang terjadi. Menurut R.H. Claudius, surat keputusan penetapan Mohammed Hatta sebagai nama jalan menyebutkan bahwa tokoh ini dipilih karena si empunya nama adalah seorang pemimpin pergerakan di Indonesia, negarawan, dan wakil presiden yang sempat ditahan Belanda lantaran aktivitas politiknya. Hal serupa menjadi alasan untuk memilih sederetan nama orang besar se-bagai nama jalan. "Mereka adalah orang yang berjasa, berjuang demi pembebasan atau kemerdekaan negaranya, serta memiliki reputasi yang baik," demikian penjelasan R.H. Claudius kepada Dina Jerphanion dari TEMPO. Dan waktu terus berlalu. 12 Agustus 2002. Holland Festival usai sudah. Kemeriahan kord matriks tiga nada yang menjadi ciri khas Chick Corea dan lengkingan suara yang keluar dari kerongkongan diva Afrika Selatan Miriam Makeba di North Sea Jazz Festival tak lagi terdengar. Gerimis mulai kerap membasuh Belanda yang kembali berlangit kelabu. Pada hari itu Mohammad Hatta memperingati hari lahirnya yang ke-100. Sejumlah perhelatan dilangsungkan meriah di Indonesia memperingati lahirnya seorang asketis santun berpikiran revolusioner. Nyonya Lindemans, penghuni sebuah rumah di ruas jalan Chris Sumokilstraat hanya mengangkat bahu ketika ditanya soal Mohammad Hatta. "Saya tidak tahu siapa dia," demikian tutur Nyoya Lindemans singkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus