Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lima istri sekaligus ibu rumah tangga menggugat bunyi pasal 330 ayat (1) KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuan gugatan itu untuk memidanakan suami atau istri yang tidak patuh terhadap putusan hak asuh anak ketika terjadi perceraian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelima perempuan itu yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, Roshan Kaish Sadaranggani. Perkara yang kini ditangani oleh Mahkamah Konstitusi teregister dengan nomor perkara 140/PUU-XXI/2023. Pengacara para pemohon, Virza Roy Hizzal mengatakan, kliennya mempersoalkan frasa 'barang siapa' dalam bunyi pasal itu dan menggantinya dengan 'setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sehingga terdapat sanksi sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP bagi siapa saja yang melanggarnya. Tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak," kata Virza dilansir Tempo dari situs MK pada, Rabu, 6 Maret 2024.
Virza mengatakan, para pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.
Seperti yang dialami oleh pemohon I, Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana puterinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.
Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Begitu pula yang dialami pemohon II, Shelvia, sempat membuat laporan kepolisian terhadap mantan suaminya atas tuduhan penculikan sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP karena anaknya dibawa sejak 11 September 2022, tapi laporan itu juga ditolak.
Berikutnya, kasus yang dialami pemohon IV, Angelia Susanto yang memiliki mantan suami warga negara asing. Sejak 30 Januari 2020 hingga kini Angelina masih belum menemukan keberadaan anaknya yang menurut putusan hak asuh jatuh padanya. Laporan yang dibuat di Polda Metro Jaya pada 14 Februari 2020 ditolak.
Terakhir, kasus yang dialami pemohon V, Roshan Kaish Sadaranggani. Ketika anaknya diambil oleh mantan suaminya, ia telah berupaya melapor ke KPAI dan mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Akan tetapi, hingga saat ini ia masih tidak mendapat akses untuk menemui anaknya. Laporan polisi yang dibuatnya ditolak dengan alasan ayah kandung tidak dapat diproses pidana menculik anak kandung sendiri.
Nasib berbeda dialami pemohon III, Nur. Anak kedua Nur, dibawa oleh mantan suami pada 9 Desember 2022 lalu. Padahal hasil putusan perceraian keduanya hak asuh anak jatuh pada Nur. Ketika Nur melapor ke kepolisian yakni Polda Metro Jaya pada 14 Desember 2022 laporannya diterima.
Tapi, hingga kini belum ada tindak lanjut dari laporan itu, terlapor belum dijadikan tersangka dan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan anak keduanya. "Akibat ketidakpastian hukum dan multi tafsir tersebut berakibat proses hukum yang dialami para pemohon menjadi suatu kesesatan dalam bernegara hukum," kata Virza.
Dalam petitum gugatannya, para pemohon menyebut frasa 'barang siapa' dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945. "Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari Anak'," ujar Virza.