Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita dari Blora

SEBUAH perpustakaan sederhana didirikan di rumah masa kecil sastrawan Pramoedya Ananta Toer (almarhum) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pengelolanya adalah adik Pram, Soesilo Toer. Ia memberi nama perpustakaan itu Pataba, akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa.

23 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cerita dari Blora

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soesilo sehari-hari memulung. Padahal latar belakangnya akademikus. Di tengah kesibukan sehari-harinya mengais-ngais sampah di Blora, ia masih sempat menulis dan mengelola usaha penerbitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari luar, rumah nomor 40 di Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, itu tampak lusuh. Bangunan semipermanen tersebut terlihat tidak terawat. Di halaman, tumpukan kertas, plastik, dan kayu bakar berserak. Kambing dan ayam kerap terlihat mondar-mandir ke dalam rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah itu adalah rumah masa kecil sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (almarhum). Di situlah Pram kecil bersama saudara-saudaranya tinggal. Rumah itu milik ayah Pram, Mastoer Imam Badjoeri, guru dan aktivis Boedi Oetomo, yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Pram pernah menulis bahwa sosok karismatis ayahnyalah yang menanamkan jiwa nasionalisme kepada dirinya. Rumah tersebut dibakar massa saat terjadi pergolakan pada 1965, dan kemudian dianggap berhantu.

Sekarang rumah warisan itu ditinggali adik Pram, Soesilo Toer, bersama istrinya, Suratiyem, dan anak semata wayangnya, Benee Santoso. "Kadang-kadang ada kambing yang kencing di dalam rumah," ucap Suratiyem, awal Juni lalu.

Soes, yang lahir di Blora pada 17 Februari 1937, masih mengenang sosok ayahnya di rumah ini. Sang ayah adalah pendidik. Mastoer mendirikan sekaligus memimpin Sekolah Ongko Loro-sekolah rakyat atau sekolah dasar pada masa kolonial Belanda-di Blora. Belakangan, nama sekolah itu diubah menjadi Institut Budi Utomo dengan masa pendidikan tujuh tahun. Di situlah Soes, bersama Pramoedya dan saudaranya yang lain, bersekolah.

Soes masih ingat betul kejadian saat Pramoedya bersekolah di sana. Menurut Soes, Pram kerap dimarahi orang tuanya karena sering tertinggal dalam pelajaran dan beberapa kali tidak naik kelas. "Dia (Pram) itu sekolahnya memang enggak pintar," ujar Soes. Suatu hari, ayahnya memanggil Pram dan memarahinya. Setelah itu, Pram tiba-tiba berlari kencang dan menabrakkan tubuhnya ke sebuah pohon kemboja besar tak jauh dari rumahnya. Akibatnya, bibir Pram robek dan mengeluarkan darah. "Makanya di bagian atas bibir Pram ada bekas luka dan tidak hilang hingga dewasa."

Beberapa hari setelah kejadian itu, Soes mengungkapkan, Pram "menyendiri" dari keluarga. Ia lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. Oleh mereka, Pram kerap ditawari rokok dan minuman kopi. Saat-saat "menyendiri" dan mengisap rokok itulah yang konon mendatangkan inspirasi bagi Pram hingga kemudian membawanya menekuni dunia sastra dan menjadi penulis. "Makanya, semasa hidup, Mas Pram tidak bisa meninggalkan rokok," ucap Soes.

***

OLEH Pemerintah Kabupaten Blora, rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer itu akan dipugar dan dijadikan obyek wisata sastra. "Tujuannya supaya nama Pram terus terjaga," kata Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Blora Kunto Aji.

Di dalam rumah yang sangat sederhana itu Soes masih berusaha mengelola perpustakaan. Perpustakaan itu ia beri nama Pataba, akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Perpustakaan bersahaja tersebut didirikannya pada 2006, tahun meninggalnya Pram. Ada banyak koleksi buku di perpustakaan di dalam rumah tua bercat putih dengan kombinasi hijau itu. Misalnya buku-buku karangan Soes dan Koesalah Soebagyo Toer, kakak Soes yang juga penulis sekaligus ahli bahasa Rusia. Selain itu, ada foto sejumlah tokoh, antara lain tokoh komunis Cina, Mao Zedong, dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer. Foto Pram dipasang di kamar berukuran kecil yang dulu merupakan kamar Pram. Perpustakaan dari koleksi pribadi itu kini memiliki lumayan banyak buku.

Menurut Soes, mulai 2009, Pataba menerbitkan zine (buletin independen) secara kecil-kecilan menggunakan nama Pataba Press, yang berada di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut. Pada Oktober 2011, Pataba Press menerbitkan buku berjudul Suwung. Pada awal 2013, tepatnya Februari, buku Pram dari Dalam diterbitkan dengan kerja sama penerbit dari Semarang. Sempat vakum selama dua tahun, pada Februari 2015, Pataba Press menerbitkan Pram dalam Kelambu.

Pada akhir April tahun yang sama, Pataba Press menerbitkan Pram dalam Bubu dan Kilas Sekejap tentang Sejarah Islam. Penjagal itu Telah Mati dan edisi baru Komponis Kecil menyusul terbit pada Juli. Menurut Soes, penerbitan buku-buku secara mandiri ini akan dilanjutkan terus. Pataba Press juga pernah menerbitkan novel terjemahan Koesalah Soebagyo Toer, yaitu Pemberontakan di Pelabuhan karya Alexandru Sahia, novelis terkemuka Rumania. "Membaca karya-karya Alexandru Sahia, saya menyimpulkan ia adalah seorang radikal kiri. Cerita-cerita pendek Alexandru Sahia beraliran realisme sosialis ala Maxim Gorky," tulis Soes di sampul belakang novel yang diterbitkannya itu.

Soes sendiri sesungguhnya juga penulis. Setidaknya 20 buku karyanya sudah diterbitkan, antara lain Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer, Dunia Samin, Pram dalam Kelambu, dan Serigala. Ia menulis buku dengan bantuan Benee Santoso kadang-kadang. Ia sangat membanggakan anaknya itu lantaran menjadi salah satu-dari sekitar 50-anak dan cucu keluarga Mastoer Imam Badjoeri yang menekuni bidang tulis-menulis. Soes menyebutkan ada proses regenerasi dari dia kepada Benee, yang punya hobi menulis. "Benee itu penerus trah keluarga Mastoer," ujarnya.

Tercatat ada 15 buku tulisannya yang belum diterbitkan. Salah satunya berjudul Ivanho. Soes pun masih terlihat energetik meski usianya tergolong renta. Di luar memulung dan menulis, Soes sering menerima tamu di rumahnya. Ia berdiskusi tentang berbagai hal dalam waktu lama dengan tamu-tamunya. Selain dalam bahasa Indonesia dan Jawa, obrolan kadang diselingi istilah-istilah bahasa Rusia. Ya, pria berwajah kusut dan berewokan itu memang pernah tinggal dan bersekolah di Rusia. Ia sepertinya ingin menunjukkan keahliannya dalam berbahasa Rusia dan berbahasa asing lainnya. Ia juga menguasai bahasa Belanda dan Jerman.

Setelah menjalani pendidikan dasar di kampung halamannya, Soes ingat, ia menempuh pendidikan menengah di Jakarta. Setelah itu, ia bersekolah di Akademi Keuangan Negara di Bogor, Jawa Barat, yang berada di bawah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ia kemudian bekerja di Badan Pengawas Keuangan-sekarang Badan Pemeriksa Keuangan. "Saya pegawai negeri pada era pemerintahan Presiden Sukarno," katanya.

Soes juga pernah mengikuti pendidikan militer selama dua tahun pada akhir 1950-an sebagai bagian dari persiapan menjadi sukarelawan Operasi Tri Komando Rakyat di Papua. Kendati tak jadi berangkat ke Papua, Soes menerima pangkat letnan dari latihan itu. Pada 1962, Soes mendapat beasiswa dari otoritas Rusia-dulu Uni Soviet.

***

SOESILO Toer mengaku memiliki banyak perbedaan dengan kakaknya, Pramoedya. Menurut dia, Pram adalah seorang optimis. Sebaliknya, ia adalah orang yang pesimistis. Soes menduga dua sikap yang bertolak belakang itu berhubungan dengan kondisi ekonomi keluarga ketika mereka dilahirkan.

Saat Pram lahir pada 1925, kondisi ekonomi keluarga mereka masih berkecukupan. Selain menjadi kepala sekolah di Institut Budi Utomo, kata Soes, ayahnya memiliki cukup banyak simpanan uang, juga 20 surat tanah yang tersebar di Blora.

Sebaliknya, ketika Soes lahir pada 1937, kondisi ekonomi keluarganya sedang sulit. Utang menumpuk di sana-sini. Surat-surat tanah pun dijual untuk melunasi pembelian lahan dan bangunan Institut Budi Utomo. Belakangan, sekolah itu mengalami kemunduran lantaran banyak muridnya yang memutuskan keluar. "Bapak saya bangkrut saat saya lahir," kata Soes.

Di kala umurnya yang sudah lebih dari 80 tahun, Soes masih aktif berbicara dalam diskusi-diskusi, terutama mengenai dunia perbukuan. Kini Soes mendengar kabar bahwa novel sang kakak, Bumi Manusia, akan difilmkan. Ia tak berkomentar apa-apa. Dia juga masih belum mau mengomentari rencana pemugaran rumahnya oleh pemerintah. "Soal itu, kapan waktunya kan kita belum tahu," ujarnya. Tapi ia memastikan tidak akan menjual rumahnya karena merupakan peninggalan keluarga.

Sujatmiko (Blora)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus