Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hidup ala Martian di Gurun Utah

Seorang warga Indonesia mengikuti simulasi hidup di Planet Merah yang digelar di gurun Utah, Amerika Serikat. Menguji kelayakan Mars sebagai tempat tinggal permanen.

23 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hidup ala Martian di Gurun Utah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vincensius Christiawan tak sadar lupa menyalakan perangkat global positioning system (GPS). Venzha-begitu ia biasa disapa-kala itu tengah menjalani misi memungut sampah sambil menjelajahi lembah-lembah di gurun yang tampak serba cokelat. Sekembali ke kamp, ia habis-habisan "dimarahi" komandan dan anggota timnya, Crew 191. "Semua pernah tersesat, tapi kami diajari menggunakan GPS dengan benar," ujar Venzha, awal Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam anggota Crew 191 lainnya mengingatkan Venzha bahwa ia membahayakan dirinya dan misi mereka. Venzha bisa saja tersesat dan kehabisan oksigen karena di gurun itu semua terlihat sama, hampir tak ada penanda yang bisa dijadikan patokan. "Mereka memperlihatkan ke saya peta gurun itu. Seluruhnya hanya berwarna cokelat," kata Venzha di studio seninya di dekat Pojok Beteng Kulon, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama enam orang asal Jepang, Venzha menjalani simulasi hidup di Mars selama sebulan, sejak Maret hingga April 2018. Mereka mengikuti latihan semi-militer dengan aturan super-ketat di lingkungan gurun. Simulasi itu diadakan The Mars Society, organisasi advokasi luar angkasa yang berpengaruh, yang mendedikasikannya untuk eksplorasi dan koloni manusia di Mars.

Robert Zubrin mendirikan organisasi itu pada 1998. Tujuannya: mendidik masyarakat, media, dan pemerintah tentang manfaat menjelajahi Planet Merah itu. Sejak simulasi hidup di Mars pertama kali digelar pada 2001, sudah 16 kali kegiatan itu diadakan dengan jumlah peserta lebih dari 1.200 orang. Venzha menjadi orang Indonesia pertama dan satu-satunya dalam simulasi tersebut.

Lokasi simulasi berada di gurun dekat Kota Hanksville, Negara Bagian Utah, Amerika Serikat. Suhu udara di sana, kata Venzha, mencapai 42 derajat Celsius pada siang hari dan di malam hari bisa turun drastis hingga minus 20 derajat Celsius. Saat pertama kali berada di sana, Venzha sempat gugup karena kepanasan dan kedinginan dalam balutan pakaian luar angkasa dengan tabung oksigen.

Mars Desert Research Station (MDRS) di Utah dianggap paling mirip Mars. Terdapat lembah-lembah dan gurun. Udaranya sangat bersih dan hampir tak tersentuh manusia. Di MDRS dibangun enam struktur: tempat tinggal berbentuk kubah (HAB), Robotic Observatory, The Musk Observatory, rumah kaca akuaponik, laboratorium mikrobiologi dan geologi, serta Modul Perbaikan dan Pemeliharaan.

Peserta memiliki latar beragam. Venzha seniman, sementara Yusuke Murakami-komandan Crew 191-adalah arsitek yang pernah hidup di Antartika selama 18 bulan. Ada juga ahli biologi, Kai Takeda; ahli telekomunikasi, Fumiei Morisawa; Wataru Okamoto, yang ahli pengukuran atmosfer; dan jurnalis video dari NHK, Makoto Kawamura. Satu-satunya peserta perempuan adalah Miho Tsukishiro, perancang grafis.

Di HAB berdiameter 8 meter mereka bekerja, makan, tidur, dan menggelar rapat. Fasilitas mandi-cuci-kakus juga berada di sana. "Kami tidur berimpitan," kata Venzha. Suatu ketika muncul masalah yang membuat tim terbelah. "Air dalam bak yang digunakan untuk kebutuhan hidup terkontaminasi zat kimia," ujarnya. Akhirnya mereka memutuskan membuat penyaring air. Misi pun dilanjutkan.

Mereka juga mempraktikkan pertanian akuaponik untuk menumbuhkan sayuran, seperti yang dilakukan Matt Damon dalam film fiksi ilmiah The Martian. Sementara Damon menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk, di MDRS, tim memanfaatkan tanah gersang. Setiap hari tanaman itu disirami air yang terbatas jumlahnya.

Semua peserta, kata Venzha, harus tepat waktu. Bangun tidur pada pukul 06.00, mereka lalu mandi sekadarnya dengan air yang dijatah. Air minum pun diukur. Setelah makan sarapan sereal, mereka menghadap komputer dan buku catatan. Pada siang dan malam, mereka mengkonsumsi makanan khusus berbentuk mirip odol. Venzha menunjukkan makanan itu, yang kemasannya bertulisan aksara Rusia.

Dalam Crew 191, Venzha berperan sebagai jurnalis yang mencatat semua kegiatan dalam jurnal. Ia juga mengoperasikan alat deteksi radiasi matahari. "Alat itu saya buat bersama mantan pengajar Jurusan Teknik Informatika Universitas Sanata Dharma, Stephanus Yudianto Asmoro," katanya.

Venzha menyebutkan alasannya ikut program itu adalah ingin membuktikan kesiapan manusia hidup di Mars. Ia tak setuju manusia berkoloni di Mars karena planet itu mempunyai 22 potensi bencana alam yang amat mematikan. Radiasi di sana pun berdaya hancur luar biasa. "Angin puting beliung atau torpedonya berdiameter seluas Jakarta," ucapnya.

Menurut Venzha, Mars hanya cocok sebagai laboratorium sains dan eksplorasi teknologi. Astronaut yang dikirim ke sana tidak menetap, melainkan kembali ke bumi. "Mengirim manusia ke Mars sama dengan bunuh diri," katanya.

Venzha adalah anggota BETA-UFO, komunitas yang serius mengamati benda asing di langit. Ketua BETA-UFO Nur Agustinus mengatakan Venzha punya semangat dan komitmen kuat di bidang antariksa, termasuk soal fenomena unidentified flying object (UFO). "Kami berencana membuat dokumentasi UFO di Indonesia," kata Nur, yang mengenal Venzha sebagai penyelenggara konferensi Search for Extra-Terrestrial Intelligence di Yogyakarta pada 2016 dan 2017.

Shinta Maharani (Yogyakarta)


Penggila UFO dari Banyuwangi

Vincensius Christiawan menyimpan rapi 250 komik fiksi ilmiah dan superhero di kamar studio seni miliknya di Yogyakarta. Satu di antaranya berjudul Perdjalanan ke Mars karya Jack Thomas Scheers. Ada juga komik superhero berjudul Amanat dari Angkasa Luar ciptaan komikus legendaris Hasmi.

Komik- komik sains fiksi yang mulai ia koleksi sejak di taman kanak-kanak itulah yang mengantar seniman berambut gimbal ini mendalami hal-hal berbau sains luar angkasa. Lelaki asal Banyuwangi, Jawa Timur, ini pun percaya ada makhluk asing yang cerdas atau alien.

Venzha kian gandrung mempelajari ruang angkasa sejak 2011 dan bolak-balik ke Amerika Serikat untuk menambah pengetahuan. Ia mengaku pernah melihat unidentified flying object (UFO) secara langsung ketika berada di Area 51 di gurun Nevada, New Mexico, Amerika; serta di Banyuwangi. Bentuk UFO yang ia lihat berbeda-beda.

Di Area 51, yang diyakini penggila alien sebagai lokasi penyimpanan UFO dan alien yang jatuh di Roswell pada 1947, Venzha menyaksikan benda bercahaya di langit yang bergerak sangat cepat pada 2013. Penampakan UFO paling jelas ia lihat saat berada di New Mexico pada suatu malam 2012, yakni berupa bulatan seperti bulan yang memancarkan warna yang berubah-ubah. Ia sempat memotret benda misterius itu, juga UFO yang terbang di langit Banyuwangi.

Kegandrungan alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu pada antariksa tak terbendung. Proyek seni Venzha pernah dipamerkan di sejumlah negara, di antaranya di Taiwan dan Amerika. Karyanya yang berbentuk roket dipamerkan di Art Science Museum di Singapura bersama benda-benda milik Badan Antariksa Amerika (NASA), seperti roket dan satelit, pada November 2016-Maret 2017.

Keaktifan dalam kegiatan yang berkaitan dengan antariksa membuat Venzha memiliki jaringan yang kian luas. Ia mengenal dekat pendiri Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) Korea Selatan, Rhee Myung-hyun. Ia juga pernah bertemu dengan Direktur Pusat Penelitian SETI Seth Shostak serta Presiden dan CEO SETI Institute Bill Diamond di markas mereka di California, Amerika.

Venzha telah menggarap 40 proyek seni yang berhubungan dengan ruang angkasa. Mercusuar hasil kolaborasinya dengan SETI Korea Selatan menjadi karya utama di Art Jog 2016. Mercusuar penopang UFO setinggi 36 meter itulah yang membuat pendiri The Mars Society Jepang, Yusuke Murakami, datang untuk mengajaknya ikut dalam simulasi hidup di Mars. "Saya juga ditawari ikut simulasi di Antartika dalam kapal selam yang diisolasi pada Februari-Maret 2019 di Jepang," ujarnya sambil memperlihatkan surat elektronik berisi tawaran itu.

Shinta Maharani

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus