Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI menjelang Idul Fitri 2018, seorang pengurus salah satu organisasi keislaman di negeri ini menulis opini di sebuah koran nasional. Dalam opininya, ia menyatakan, secara etimologis, Idul Fitri sesungguhnya bermakna hari raya berbuka puasa. Menurut dia, frasa Idul Fitri diambil dari dua kata: 'id, yang bermakna hari raya atau hari besar, dan fitr, yang berarti berbuka puasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia kemudian mengoreksi, bahkan mengelirukan dan menyalahkan pemahaman Idul Fitri sebagai hari raya kesucian (atau penyucian) yang bersumber dari kata fitrah. Tak cukup sampai di situ, ia pun menyatakan zakat fitrah bukan zakat untuk menyucikan harta (atau diri!), melainkan zakat untuk berbuka puasa. Meminjam kacamata epistemologi dalam kajian filsafat, ia kemudian berhujah, zakat fitri adalah zakat yang diwajibkan dalam rangka menyambut hari raya berbuka puasa atau fitr atau iftar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mendasarkan hujahnya pada akar kata, penulis opini yang juga mantan menteri itu berpendapat bahwa fitri pada Idul Fitri berasal dari akar kata bahasa Arab, fatara, yang konon bersumber dari kata iftaran, yang menurut dia, "Sekali lagi memiliki arti berbuka puasa." Sebagaimana dapat ditebak, ternyata, akar kata ini pula yang menjadi kesalahan fundamental dari opini tersebut.
Ada beberapa kesalahan mendasar tentang akar kata yang dikutip dalam opini itu. Pertama, akar kata dalam bahasa Arab tidak diambil dari verba bermakna lampau (fi'il madi), melainkan dari nomina (isim mashdar). Karena itu, menyebut kata fatara (yang merupakan verba lampau) sebagai akar kata dari iftaran (yang merupakan nomina) tidaklah benar. Kedua, kalau fi'il madi-nya berupa kata fathara, isim mashdar-nya bukan iftharan, melainkan fathran. Sedangkan apabila isim mashdar-nya berupa kata iftharan, fi'il madi-nya adalah afthara, bukan fathara. Ketiga, dalam opini itu ditulis fatara, bukan fathara. Padahal beda penulisan dalam bahasa Arab-sebagaimana dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa lain-akan berakibat pada perbedaan makna. Fatara bermakna tenang, hangat, atau reda. Sedangkan fathara bermakna mencipta, merobek, atau membelah.
Dalam bahasa Arab, kata fitri dalam Idul Fitri diambil dari kata fitrah, yang bermakna sifat pembawaan sejak lahir. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online melengkapi maknanya dengan kesucian, dan ini benar. Jadi Idul Fitri adalah hari raya saat manusia kembali ke fitrahnya sebagaimana saat dia dilahirkan, yakni suci dari dosa. Hal ini berkaitan dengan bulan Ramadan: umat Islam berpuasa sebulan penuh, lalu memohon maaf atau berhalalbihalal kepada kerabat dan handai tolan, untuk menghilangkan beban dosa serta kesalahan-kesalahan yang dibuat dan ditanggung sebelumnya (haqqul adamy).
Sebagaimana Idul Fitri, zakat fitrah bermakna zakat untuk menyucikan diri. Dalam sebuah hadis Nabi, disabdakan bahwa pahala berpuasa tidak akan dibawa malaikat ke hadirat Tuhan apabila zakat fitrah belum ditunaikan oleh mukmin yang berpuasa.
Meski mirip dalam pelafalan dan penulisan, iftar sungguh berbeda dengan fitri atau fitrah. Dalam bahasa Arab, ifthar bermakna berbuka puasa. Senada dengan itu, KBBI memaknai iftar sebagai hal berbuka puasa.
Dalam khazanah keilmuan Islam, bahasa adalah pintu. Ia merupakan gerbang untuk masuk ke istana makna. Jika salah masuk pintu, salah pula jalan menuju istana itu, atau salah menuju istana yang dituju. Seorang fakih yang setiap saat berkutat dengan hukum Islam dan seorang sufi yang setiap waktu menyelam ke dalam samudra spiritualitas Islam memiliki pintu bahasa yang berbeda dalam memasuki satu kata yang sama dalam Al-Quran. Otoritas keduanya pun kemudian bergantung pada sedalam apa masing-masing membangun argumentasi atau pertanggungjawaban terhadap pilihannya.
Kata adzab(un), misalnya, yang baik penulisan maupun pelafalannya hampir sama dengan adzb(un). Kata yang pertama bermakna siksa, sedangkan yang kedua bermakna manis. Dalam cakrawala tasawuf, para sufi menyatakan siksa bisa menjadi manis apabila menjadi jalan kembali seorang hamba kepada Allah Taala.
Namun itu bukan berarti setiap kata bisa dicocok-cocokkan, atau gotak-gatik-gatuk dalam istilah Jawa, hingga kata yang satu bisa dihubung-hubungkan dengan kata yang lain lalu maknanya ditentukan dengan bebas. Tanpa menggumuli bahasa, tanpa menyelami kata demi kata hingga ke palung paling dasarnya, pemaknaan terhadap kata(-kata) sungguh akan menjadi tafsir yang bisa menyesatkan.
Ahmadul Faqih Mahfudz
Pemandang Budaya, Tinggal Di Yogyakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo