Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lucu, ya, buku begitu tipis kok bisa mendapat berbagai hadiah." Marianne Katoppo, pengarang Raumanen, tak habis pikir bagaimana buku setebal 95 halaman itu memperoleh aneka penghargaan. Seorang paranormal, juga kawan si pengarang, menyebut: Marianne sendiri tak tahu apa yang ditulisnya. Tapi lingkungan kritikus sastra beranggapan Marianne berhasil menyuguhkan penuturan yang cerdas, seraya menggali persoalan kejiwaan dan pandangan hidup para tokohnya.
Ya, panorama 28 tahun silam seakan berulang. Waktu itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar sayembara yang sama persis dengan sayembara 2 Maret 2004. Dan mereka muncul dengan tiga perempuan pemenang hadiah harapan: Silia Saraswati dengan novel Perjalanan, Marianne Katoppo dengan Raumanen, dan Suwarsih Djojopuspito penulis novel bertajuk Arlinah. Mereka tidak memenangi hadiah pertama atau kedua (hadiah pertama tidak ada; hadiah kedua: Stasiun, karya Putu Wijaya). Tapi Raumanen-nya Marianne Katoppo tampak menonjol.
Sepintas Raumanen merupakan novel asmara cengeng: gara-gara cinta, seorang gadis bunuh diri. Namun novel ini ternyata menusuk lebih dalam, dan itu cukup kontroversial. Raumanen menegaskan, bunuh diri bukan dosa tak berampun. Tindakan itu punya penjelasan sendiri, seperti ungkapan Kahlil Gibran yang dikutip pengarang dalam novel itu, "Maut dan Kehidupan itu satu adanya, mati itu tak lain dari berdiri telanjang dalam badai." (halaman 95).
Tragedi Raumanen bermula dari perkenalannya dengan Monang. Raumanen belia labil, tak berdaya menghadapi rayuan Monang, si hidung belang. Ia hamil. Dan seperti cerita-cerita serupa, sebuah lagu lama mencuat. Monang, yang semula bergairah mendengar berita itu, perlahan-lahan menghindar, lari dari tanggung jawab. Raumanen pun gamang. Di tengah-tengah badai yang ruwet lagi mengimpit itu, Raumanen memilih jalan pintas: bunuh diri.
Marianne berhasil menyuguhkan penggambaran watak, perkembangan karakter tokoh-tokohnya. Lalu tanpa perlawanan "berarti", Raumanen yang hijau dan berhati putih itu "hanyut" dalam pelukan Monang yang sudah banyak makan garam. Raumanen menyatakan ia belum sanggup dibakar api cinta, tapi tak menolak ajakan kencan Monang.
Bahkan, saat mereka bercumbu, Raumanen menyatakan: "Sangkamu semua orang menunggu sampai sudah menikah?" (halaman 46). Dan ketika Monang mengatakan bahwa itu biasanya merupakan "jebakan" agar si pria terpaksa menikahinya, Raumanen berkata, "Aku tak kan pernah memaksamu." (halaman 46).
Alur novel tersebut juga menarik. Jalinan waktu, kini dan silam, begitu kental di dalam novel Marianne itu. Pembaca dibiarkan menerka-nerka, siapa gerangan yang bercerita itu. Pembaca harus menanti lama: jawaban atas teka-teki itu baru terkuak dengan gamblang pada bab terakhir. Dialah Raumanen yang telah mati. Alur seperti ini mungkin bukan model baru. Tapi biasanya cara bercerita novel-novel lain diawali dengan penggambaran dramatis. Misalnya, lukisan sukma yang melayang, memandangi jasad yang dirubung sanak famili.
Setelah Raumanen, ada Arlinah novel karya Suwarsih Djojopuspito. Di mata para kritikus sastra, tulisan pengarang kelahiran Cibatok, Bogor, 20 April 1912 itu tidak istimewa. Bahkan ia kalah bagus dibandingkan dengan novel perdananya, Manusia Bebas. Sebagaimana diketahui, Manusia Bebas novel yang melalui perjalanan istimewa: ditulis pertama kali sebelum Revolusi, dan dalam bahasa Sunda. Balai Pustaka, penerbit pemerintah yang saat itu bertugas "meredam" karya politis, memang telah menolak. Bahkan penerbit ini membubuhkan komentar pro-pemerintah kolonial. Sang novel dinilai "tak berguna bagi pendidikan rakyat".
Tapi Suwarsih tak berhenti. Ia menuliskan kembali, kali ini dalam bahasa Belanda yang sangat dikuasainya. Pada 1939, koran Vij Nederland memuat karyanya, dengan judul Buiten let Gareel (Lepas dari Ikatan). Tak lama, ia terbit dalam bentuk buku dengan kata pengantar E. Du Perron, pengarang Belanda kelahiran Jatinegara (1899). Edisi bahasa Indonesia baru muncul 35 tahun kemudian. Suwarsih sendiri yang menerjemahkannya. Sebuah terjemahan yang tak sebagus edisi Belanda. Isinya bahasa Indonesia, tapi struktur kalimat dan rasa bahasa pengarang yang meninggal pada 1977 ini masih Belanda.
Manusia Bebas melukiskan idealisme suami-istri, Sudarmo-Sulastri, dua guru di "sekolah liar". Mereka hidup, mengajar seperti bayangan. Mengajar kegiatan yang membuat mereka berpindah-pindah: dari gedung sekolah ke rumah seorang famili, lalu ke rumah seorang sahabat, dan seterusnya. Mengajar bisa berarti sering digeledah polisi rahasia Belanda, izin mengajar dicabut, atau istri tercinta tidak tahan lagi menjalani hidup bersama sang suami, Sudarmo, proletar yang nekat itu.
Novel itu ditulis ketika pemerintah Hindia Belanda sedang galak-galaknya menggusur sekolah swasta tak bersubsidi (bukan milik gubernemen): Taman Siswa, Muhammadiyah, Ksatrian Institut, Sekolah Sarikat Islam, Sekolah Kartini, dan Perguruan Rakyat. Pemerintah kolonial berkeyakinan, pendidikan dapat membuat orang jadi "subversif". Tapi mereka salah langkah. Represi itu justru makin menyuburkan kelahiran "sekolah-sekolah liar".
Selain Manusia Bebas dan Arlinah, Suwarsih juga membuahkan dua novel lagi, Maryati dan Kawannya serta Maryamah. Di luar itu, Suwarsih, yang pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, juga menulis buku kumpulan cerita pendek Empat Serangkai (1954) dan buku Riwayat Hidup Nabi Muhammad (1960).
Begitulah, selain kedua pengarang perempuan itu, sebetulnya setahun sebelumnya DKJ juga menobatkan seorang novelis perempuan sebagai pemenangnya. Namanya Iskasiah Sumarto, dengan novelnya Astiti Rahayu. Kemenangan Iskasiah pada 1974 itu terbilang unik. Pasalnya, Iskasiah, yang waktu itu masih mahasiswa sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjadi satu-satunya pemenang dalam sayembara tersebut. Tak ada pemenang pertama, kedua, dan ketiga.
Diangkat dari buku catatan harian Iskasiah sendiri, novel itu merupakan kisah percintaan yang (selalu) gagal. Itulah perjalanan asmara Astiti Rahayu, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Cerita dimulai dengan kisah percintaan antara Astiti dan Mahdi, seorang mahasiswa sekampusnya. Hangat, tapi sang perjaka lalu ketahuan sudah punya pacar. Sambil meradang, hati Astiti kini berbalik kepada Harman, direktur perusahaan tempat ia bekerja. Tapi Harman sosok mendua: berpacaran dengan Astiti, ia juga cinta pada Martini. Langkah Astiti kandas.
Astiti lantas mengalihkan hatinya kepada David Lansell, seorang kontraktor asal Australia. Seperti diduga, tak lama berdirilah dua tembok pemisah: pemuda orang asing, dan beragama lain. Cinta Astiti kandas lagi, hatinya tak pernah tertutup.Se- karang ia tertambat pada Darmawan, seorang pemuda yang tengah patah hati ditinggal pacarnya. Namun Darmawan tipe orang yang tak pernah bisa menghapus kenangan pacar lamanya, dan itu membuat Astiti tersinggung.
Astiti Rahayu lahir di tengah deretan novel Indonesia yang dibanjiri cerita cinta di lingkungan kampus. Sebuah kisah asmara yang menggelegak tahun 1970-an, menyusul suksesnya novel Ashadi Siregar, Cintaku di Kampus Biru. Iskasiah berhasil menuturkan ceritanya dengan manis. Hanya para kritikus menyayangkan kenapa Iskasiah tak menyuguhkan topik yang pelik dalam novelnya itu, sehingga terasa kurang bobotnya. Misalnya, persoalan cinta antara dua insan yang berlainan agamayang waktu itu masih hangat dan menarik.
Para kritikus telah menilai Astiti Rahayu belum merupakan karya istimewa. Tapi kita tidak bisa mengikuti perkembangan kreatif seorang Iskasiah, novelis perempuan kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, pada 1948 itu. Pada 1981, ia meninggal secara tragis, dibunuh bekas suaminya. Sejarah hanya mencatat: tahun 1975, ketika pengarang perempuan Indonesia masih bisa dihitung dengan jari, ada Iskasiah, sosok yang berhasil mencatatkan namanya di antara para pemenang hadiah harapan DKJ.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo