Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengarang, Pencuri, dan Kucingnya

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah perempuan 60 tahun ini tetap terlihat segar sonder make-up. Rambutnya sebahu, mulai memutih, dibiarkan tanpa sentuhan potongan terkini. Busananya kaus oblong putih dengan bawahan warna biru. Tanpa aroma parfum mahal, tanpa produk merek ternama di badannya.

Henriette Marianne Katoppo perempuan sederhana, tapi pernah menggoyang jagat sastra Indonesia. Novel keduanya, Raumanen (1975), menjadi menu hangat diskusi para sastrawan sekaligus meniupkan api kontroversi di lingkungan Gereja Protestan. Bahkan, novel yang diterbitkan Favorit Gaya Press itu menggondol tiga penghargaan pada tahun berbeda: Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1975, Anugerah Yayasan Buku Utama 1977, dan SEA Write Award 1982.

Marianne lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943. Menurut kakaknya, Aristides Katoppo—kini memimpin Sinar Harapan—ia anak paling cerdas dari 10 bersaudara pada keluarga Elvianus Katoppo. Ia menguasai bahasa Belanda dan gemar membaca dongeng. "Ayah juga yang menganjurkan Maria menulis cerita," kata Aristides. Dan itu berhasil. Menginjak usia delapan tahun, cerita dongengnya dimuat di Nieuwsgier, sebuah koran berbahasa Belanda. Sejak pemuatan itu, kegemaran Marianne menulis sulit dihentikan. Hari-harinya diisi dengan kegiatan membaca dan menulis. Tak hanya cerita, tapi juga artikel tentang kehidupan sosial.

Raumanen, novel "kasih tak sampai" dua sejoli Raumanen-Monang, cinta yang dipisahkan tembok kesukuan dan adat, tak lebih dari novel remaja. Namun, Raumanen menampilkan pergulatan batin tokohnya menembus kendala adat dengan ramuan unsur mistik. Raumanen mati bunuh diri. Jiwanya gentayangan antara langit dan bumi. Jiwa itu tak bisa masuk ke dunia berikutnya karena terikat dengan tempat ia meregang nyawa. Sebuah gambaran keyakinan masyarakat tentang kematian yang belum waktunya.

Seorang paranormal, juga teman baik Marianne, berkeyakinan kawannya tak tahu apa yang ditulisnya. Alumni Universitas Stockholm, Swedia, 1973 ini tak membenarkan, tak menyalahkan. Tapi, "Cerita itu seperti menulis dirinya sendiri," kata putri bungsu Elvianus Katoppo, Menteri Pendidikan di era Negara Indonesia Timur itu, seseorang yang lebih senang disebutnya guru ketimbang mantan menteri.

Sebelumnya ia menerbitkan Dunia Tak Bermusim (1974), lalu Terbangnya Punai (1976), Anggrek Tak Pernah Berdusta, dan Rumah di Atas Jembatan. Yang terakhir, sebuah novel dengan latar belakang cerita Sri Lanka dan Taj Mahal di India. "Sejak itu saya tidak menerbitkan novel lagi," kata alumni Sekolah Tinggi Teologi Jakarta 1963 dan International Christian University, Tokyo, Jepang, ini.

Perempuan novelis dan teolog ini melahirkan karya fenomenal, Compassionate and Free: An Asian Women's Theology (1979). Buku yang ditulis di Jenewa terbitan World Council and Churches, Swiss, ini menjadi literatur tentang teologi perempuan Asia yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi ternama dunia. Materinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Swedia, Jerman, dan terakhir Filipina. Tapi, gara-gara itu, kalangan Gereja Protestan Indonesia tersulut kontroversi. "Mereka tidak bisa menerima pandangan saya tentang teologia feminisme," kata peneliti naskah di The British and Foreign Bible Society, London, 1967-1969, ini.

Kontroversi itu ternyata berakibat panjang. Tiga tahun terakhir, ia menyepi di rumahnya yang rimbun di Pamulang, Tangerang. Ia memilih hidup sendiri, ditemani 20 ekor kucing di rumahnya. Kucing makhluk kesayangannya, terutama yang bernama Prapanca, kucing sembilan tahun yang telah beberapa kali memberi isyarat penting.

Dua tahun lalu Prapanca bersikap aneh seperti tak mau ditinggalkan Marianne, yang ingin merayakan Tahun Baru di luar rumah. Marianne tak menggubris dan memilih pergi. Eh, saat pulang esok harinya, ia baru tahu rumahnya dibobol maling. Ia baru sadar isyarat yang diberikan kucing kesayangannya. Tapi, si maling tak banyak menguras materi karena harta terbesar di rumah itu cuma buku dan kucing. Marianne kian sadar dengan pilihan hidup sederhana dan bersahaja.

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus