Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA ada satu pilihan pahit. Dan, itulah yang diambil pemerintah untuk menutup defisit anggaran. Awal tahun 2003, pemerintah menaikkan berbagai tarif secara serempak: bahan bakar minyak 5-22 persen, tarif dasar listrik 6 persen, dan tarif telepon 15 persen. Gejolak protes pun berkembang. Sementara masyarakat?yang segera terkena dampak kenaikan itu?langsung bereaksi dengan berunjuk rasa ke jalanan, para pengusaha masih menyimpan rasa cemasnya. Sebentar lagi bom untuk kelanjutan usaha mereka akan meledak.
Banyak faktor yang membuat mereka khawatir. Naiknya listrik dan BBM yang merupakan faktor produksi jelas membuat biaya produksi membengkak. Selain itu, daya beli masyarakat yang ambruk gara-gara kebijakan ini akan menyulitkan pengusaha karena menurunnya daya serap pasar. Ditambah lagi buruh akan banyak menuntut kenaikan upah sehingga diramalkan akan menyebabkan ramainya pemogokan. Tak pelak lagi, semua ini mengharuskan para pengusaha menghitung ulang bisnisnya. "Industri semen sangat terpukul oleh berbagai kenaikan itu, " ujar Wakil Presiden Direktur Semen Bosowa, Erwin Aksa. Penyebabnya, solar dan listrik merupakan dua faktor produksi utama yang rata-rata menghabiskan hampir setengah biaya produksi semen. Hal yang sama dihadapi industri lain.
Perubahan ini, menurut Erwin, akan menimbulkan efek domino. Sudah pasti akan terjadi kenaikan harga, dan Erwin mengakui perusahaannya tak punya banyak pilihan. "Kami akan menaikkan sekitar sepuluh persen," kata Erwin. Kini harga semen Bosowa Rp 25-28 ribu per sak. Langkah serupa pasti akan dilakukan produsen lain. Saat ini, meski produsen belum secara resmi menaikkan harga, semen sudah mulai langka. Ini diakui oleh Andi, seorang pemilik toko bangunan di Bekasi.
Namun tindakan instan menaikkan harga barang ini tak dilakukan oleh semua perusahaan. Menunggu, itulah yang dilakukan banyak perusahaan makanan olahan dan makanan jadi, seperti yang dikatakan Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Thomas Darmawan. Penyebabnya, jika terlalu cepat menaikkan harga, bisa jadi bumerang. Konsumen bisa lari ke merek lain atau barang pengganti (substitusi) yang harganya lebih murah. "Yang biasa makan biskuit bisa pindah ke mi instan atau sebaliknya," kata Thomas. Dengan kompetisi yang begitu ketat dan terbuka di industri makanan, perusahaan-perusahaan ini memang tak memiliki cara lain kecuali menahan diri.
Berbagai kenaikan tarif ini jelas akan menambah beban masyarakat. Kata ekonom Indef, Dradjad H. Wibowo, tambahan pengeluaran riil di masyarakat kelas bawah akan naik rata-rata 22-25 persen. Padahal upah buruh di Jakarta hanya naik 6,8 persen menjadi Rp 631.554 per bulan bagi buruh lajang. Adapun gaji pegawai negeri cuma naik 10 persen pada tahun ini. "Masyarakat hanya punya pilihan mengurangi konsumsinya atau menurunkan kualitasnya. Kalau terpaksa, mungkin akan menghapuskannya," kata Dradjad.
Kondisi tersulit, ucap Drajad, akan dihadapi perusahaan yang produknya punya elastisitas harga yang tinggi seperti industri makanan dan minuman. Mereka tak bisa menaikkan harga seenaknya sendiri. Begitu jual mahal, kompetitor yang akan masuk menggantikannya. Berbeda dengan industri semen, yang tak punya barang pengganti. Repotnya, jika perusahaan tak menaikkan harga, keuntungan mereka bakal tergerus. Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Sutrisno, bukan tidak mungkin perusahaan akan menghadapi kesulitan keuangan, dan bagi yang punya utang banyak bisa tidak mampu membayar utangnya. "Kalau diterus-teruskan, ujung-ujungnya industri keuangan bisa bermasalah lagi," ujar Benny.
Memang, gambaran kondisi buruk itu tak akan terjadi dalam waktu dekat. Awalnya, perusahaan akan berhemat atau meningkatkan efisiensinya. Tapi, kata Benny dengan nada pesimistis, jika tidak ada yang bisa dihemat lagi, pasti akan terjadi pengurangan produksi dan karyawan.
Berbagai masalah tampaknya akan menghambat hubungan buruh dan perusahaan. Buruh akan menuntut kenaikan upah yang besar untuk menutup pengeluarannya, sementara perusahaan jelas tak mungkin memenuhi tuntutan itu karena kenaikan berbagai faktor produksi sudah menyunat margin laba mereka.
Ada satu lagi gambaran muram yang ditambahkan Benny Sutrisno: kian menurunnya daya saing produk Indonesia. Naiknya biaya produksi ini terjadi saat pasar sedang dibanjiri barang. "Kita ini sedang menghadapi deflasi di pasar internasional," kata Benny. Dengan kondisi seperti itu, pengusaha jelas akan berpikir ratusan kali untuk menaikkan harga. Sebab, begitu harga lebih tinggi, produk Cina, Vietnam, atau India akan masuk menggantikannya. Tahun ini, kata Benny, ekspor bakal turun sekitar 10 persen.
Apakah sesuram itu efek domino yang akan terjadi? "Kekhawatiran itu berlebihan," ujar staf ahli Menteri Perekonomian, Mahendra Siregar. Menurut hitungan pemerintah, efek kenaikan harga biasanya tidak berlangsung lama dan akan reda sendiri setelah beberapa bulan. Dia menunjuk tahun lalu, ketika pemerintah juga menaikkan harga bahan bakar dan listrik. Buktinya, inflasi hanya sekitar 10 persen dan, katanya, itu masih normal. Dia memperkirakan tahun ini tak akan jauh berbeda. Mahendra malah menuding pengusaha yang terlalu manja. "Begitu berbagai subsidi ditarik, mereka langsung berteriak," ucapnya kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO.
Siapa yang benar? Tak gampang mencari jawabannya. Tahun ini, harga solar?yang banyak dipakai untuk menggerakkan pabrik maupun alat transportasi?naik melampaui harga bensin. Dilihat dari itu, biaya produksi jelas meningkat lebih besar ketimbang tahun lalu. Biaya transportasi juga akan naik lebih tinggi lagi. Jadi, kekhawatiran pengusaha sungguh beralasan. Biaya produksi naik dan akan diikuti oleh kenaikan harga, sebaliknya daya beli masyarakat melemah dan pasar pasti akan sulit tumbuh. Pengusaha dan konsumen jelas dihadapkan pada kesulitan yang sama.
Drajad, ekonom Indef itu, kemudian bertanya kenapa pemerintah tidak menjelaskan mengapa kenaikan itu terjadi berbarengan. "Saya menduga ini cuma kalkulasi politik, bukan ekonomi, karena tahun depan kita akan menghadapi pemilihan umum," kata Drajad. Tahun depan, pemerintah atau partai yang memerintah akan membagi-bagikan hadiah bak sinterklas, dengan harapan rakyat melupakan penderitaan yang ditimbulkan oleh kebijakan yang ada.
Jadi, adakah pilihan lain bagi pemerintah? Ada, kata Dradjad, tapi pemerintah harus cukup kreatif dalam mengurangi pengeluaran dan menggali pendapatan. Dradjad melihat ada peluang untuk mengurangi beban bunga obligasi rekap. Salah satunya adalah dengan asset to bond swap?menukar aset yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan obligasi rekap yang ada di perbankan. Di sisi penerimaan, ada peluang untuk meningkatkan basis pembayar pajak penghasilan dengan menggarap kantong orang-orang kaya seperti di Pondok Indah. Sejumlah dana nonbujeter yang ada di Departemen Keuangan juga masih bisa dimanfaatkan, seperti dana rekening investasi. Selain itu, pemerintah bisa menggali pendapatan dari fee based income berupa denda. "Dengan begitu, pemerintah tak perlu memangkas subsidi begitu drastis seperti sekarang ini," ujarnya. Nanti, setelah perekonomian Indonesia tumbuh lebih tinggi (booming), pemerintah baru memangkas habis subsidi. Dan kalaupun subsidi dihapus, bukan karena alasan untuk menutup defisit anggaran, melainkan dengan alasan konservasi energi.
Pemerintah sebetulnya bukannya tak punya pilihan. Cuma, pilihan itu tak dipakai dan akibatnya dunia usaha dan masyarakat sama-sama menderita.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Retno Sulistyowati (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo