Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepatkah sikap Rahardi Ramelan untuk tidak mengekspresikan kepentingan politiknya di Partai Golkar? (27 Desember 2002 - 3 Januari 2003) | ||
Ya | ||
81,4% | 376 | |
Tidak | ||
13,2% | 61 | |
Tidak tahu | ||
5,4% | 25 | |
Total | 100% | 462 |
MARAH dan jengkel berkecamuk di dada Rahardi Ramelan. Saat itu, dua pekan lalu, bekas Ketua Badan Urusan Logistik (Bulog) ini divonis bersalah oleh pengadilan dan diganjar hukuman 2 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog. Rahardi merasa marah kepada Partai Golkar, tempat ia mencurahkan aspirasi politiknya. Buntutnya, talak pun dijatuhkan: Rahardi mundur sebagai anggota Dewan Penasihat Partai Golkar.
Yang bikin Rahardi keki, ia merasa dibiarkan menempuh jalan panjang persidangan sorangan bae, tak seperti Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, saat menjalani proses persidangan yang sama. Sementara Akbar dibanjiri dukungan dan pembelaan, Rahardi merasa dicuekin saja. Melihat kenyataan itu, bekas juru kampanye Golkar ini tak lagi tertarik untuk menyalurkan kepentingan politiknya di partai berlogo pohon beringin itu.
Menanggapi keputusan itu, seperti biasa, Akbar terlihat kalem-kalem saja. ?Itu hak beliau. Kita tak bisa berbuat apa-apa,? katanya. Bahkan ia tak keberatan jika Rahardi keluar dari keanggotan partai, tak sekadar cabut dari dewan penasihat. Soal ketidakpedulian partainya? Akbar membantah jika Partai Golkar dianggap tak memperhatikan Rahardi selama persidangan. Semula, katanya, Golkar akan membantu Rahardi, tapi yang bersangkutan sudah memiliki pengacara sendiri.
Akbar boleh berdalih, Rahardi pun boleh pula berkukuh dengan sikapnya. Yang jelas, pilihan Rahardi dinilai tepat oleh mayoritas responden jajak pendapat www.tempointeraktif.com. Tengok saja, dari total 462 responden, sebanyak 81,4 persen menyatakan sikap Rahardi untuk tidak mengekspresikan kepentingan politiknya di Partai Golkar itu tepat. Sedangkan 13,2 persen responden menyatakan sebaliknya.
Jajak Pendapat Pekan Depan: Kado istimewa itu berupa kenaikan harga-harga. Itulah kado Tahun Baru 2003 yang dihadiahkan Megawati Soekarnoputri bagi rakyat Indonesia. Tak alang kepalang, warga di negeri yang masih tersaruk-saruk ekonominya ini diganjar beragam kenaikan harga, dari tarif telepon, tarif listrik, tiket kereta, hingga harga bahan bakar minyak.
Tak pelak, kenaikan harga secara berbarengan itu menuai kritik. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, misalnya, menyebut hal itu sebagai tindakan kekerasan negara terhadap rakyatnya. Dalam urusan ini, pemerintah dinilai tak meneliti kemampuan keuangan masyarakat sebelum menaikkan harga secara berbarengan. Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ikut bersuara. Ia minta agar pemerintah tidak lagi menaikkan harga sejumlah komoditas dan fasilitas publik secara besar-besaran, apalagi bersamaan. ?Kenaikan tarif telepon, listrik, dan bahan bakar minyak secara serentak diperkirakan akan memicu laju inflasi yang tinggi pada bulan Januari,? katanya. Nah, berdasarkan wacana di atas, untuk penentuan kebijakan harga ke depan, sebuah pertanyaan layak diajukan: ?Tepatkah pemerintah mengumumkan kenaikan harga sejumlah komoditas dan fasilitas publik secara berbarengan?? Apa pun pendapat Anda, suarakan lewat www.tempointeraktif.com. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |