Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN rintik-rintik membasahi Istana Negara Gedung Agung. Hari masih pagi dan suasana hari libur masih menggantung di Yogyakarta pada Jumat pekan lalu. Namun puluhan wanita yang berdiri di depan istana itu tak peduli. Sejak pagi mereka sudah "bekerja": menyuarakan pendapatnya. Ikut bersama mereka belasan centong, irus, sendok, dan garpu?berbagai jenis alat dapur yang dipakai sebagai properti dalam unjuk rasa itu. Inilah bentuk protes yang digelar Forum Peduli Ibu terhadap kebijakan pemerintah menarikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif listrik, dan tarif telepon. Dengan membawa poster, para perempuan itu meneruskan aksi ke Kantor Pos Besar. Di sana, sebuah surat berprangko Rp 2.500 berjudul "Periuk Kami yang Terakhir pun Kau Gulingkan, Mbak Mega" mereka kirimkan ke alamat Presiden Indonesia.
Aksi protes menyambut kenaikan tarif memang merebak di berbagai kota sejak kebijakan itu diterapkan. Mulai Rabu pekan lalu, pemerintah secara serem- pak menaikkan harga BBM sebesar Rp 60-Rp 440 (5-22 persen), tarif listrik enam persen, dan tarif telepon 15 persen. Pada saat yang sama, PT Kereta Api Indonesia menaikkan tarif angkutan ekonomi 10-17 persen. Masih ada lagi kenaikan tarif yang harus ditanggung konsumen. Desember lalu, harga gas untuk rumah tangga (liquefied petroleum gas/LPG) sudah dinaikkan sebesar 10 persen. Sementara itu, awal Februari mendatang, tarif jalan tol juga akan naik minimal 25 persen.
Penambahan beban hidup secara berbarengan itu tak bisa diterima masyarakat. Berbagai segi kehidupan masyarakat memang tertonjok dengan kenaikan harga ini: mulai ibu rumah tangga, sopir angkutan, hingga nelayan yang sulit melaut karena harga solar yang menjadi bahan bakar perahu motor mereka melejit naik melebihi harga bensin, dari Rp 1.550 menjadi Rp 1.890 per liter (lihat tabel). Sebab, kenaikan harga tiga produk itu kemudian menyeret naiknya berbagai harga lainnya. Hanya selang sehari setelah kenaikan, harga beras, sayuran, minyak, dan tarif angkutan ikut bergerak ke atas. Kenaikan tarif secara partikelir ini dilakukan sesuka hati mereka. Organda, misalnya, berencana menaikkan tarif angkutan sampai 40 persen. Karena itu, tak aneh, aksi turun ke jalan pun marak.
Beratnya beban hidup warga dengan adanya kenaikan itu bisa tergambar dari hidup Budi, seorang karyawan swasta berusia 30 tahun yang bekerja di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Dengan gaji Rp 900 ribu, semula ia bisa mencukup-cukupi kebutuhan istri dan seorang anaknya. Rekening listrik Rp 70 ribu, telepon Rp 60 ribu, tiket langganan kereta Jabotabek, uang makan, dan sisanya dikelola istrinya, yang setiap hari harus mengisi kompor di rumahnya dengan satu liter minyak tanah seharga Rp 1.000 per liter. Sekarang? Ia belum tahu berapa harus mengeluarkan uang untuk listrik dan telepon. Tapi, sejak Kamis lalu, uang Rp 32 ribu yang biasa ia keluarkan tak bisa lagi untuk membeli tiket langganan kereta Jabotabek. Perlu tambahan Rp 13 ribu lagi. Tiket sekali jalan pun sudah naik, dari Rp 1.500 menjadi Rp 2.000. "Kalau begini caranya, besok bayar di atas (kepada kondektur) saja. Lebih murah," katanya bersungut.
Sebenarnya, rencana tiga perusahaan negara yang menguasai hajat hidup rakyat banyak?PLN, Telkom, dan Pertamina?untuk menaikkan harga produknya sudah disebarluaskan sejak beberapa waktu lalu. Namun, karena rencana itu belum terjadi, tak ada sebuah protes pun yang mewarnainya. Pertamina, misalnya, akan menaikkan harga minyak karena subsidi BBM dipangkas hingga 52 persen. Ini memang menyebabkan pemerintah berhemat hingga Rp 15,81 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara mendatang. Namun ini akan menyebabkan harga minyak solar pada tahun mendatang bisa sampai Rp 2.100 per liter.
PLN, perusahaan pemasok listrik itu, juga berencana menaikkan tarif dasar listrik tahun 2003 sebesar 6 persen setiap tiga bulan, sehingga pada tahun 2005 tarif dasar listrik ini sudah mencapai harga riilnya. Tak ada ampun, pelanggan dengan kapasitas listrik terendah (450 volt ampere) akan mendapat kenaikan terbesar, sampai 14 persen setiap 3 bulan. "Karena selama tiga semester mereka tidak mengalami kenaikan," ujar Luluk Sumiarso, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, kepada Koran Tempo. Sampai sekarang, harga listrik yang dianggap terlalu murah jadi kendala PLN untuk menarik investor. Alasannya, bisnis listrik adalah bisnis yang 80 persen komponen biayanya dalam valuta asing, sementara pendapatannya dalam rupiah. Akibatnya, sulit buat PLN membangun pembangkit baru. Supaya investor mau masuk, tarif listrik harus disetrum ke level tujuh sen dolar.
PT Telkom tidak mau ketinggalan. Penguasa tunggal telepon di Indonesia itu meminta jatah kenaikan tarif telepon selama tiga tahun sebesar 45,49 persen yang sudah dijanjikan DPR. Jatah pertama sudah diambil sebesar 15 persen sejak Februari lalu. Sisanya 15 persen pada tahun 2003 dan 15,49 persen lagi pada tahun 2004. Akibatnya, tarif telepon lokal akan menonjok hingga 33,33 persen dan abonemen akan naik 31,1 persen. Alasannya, tarif lokal yang berlaku tidak lagi sesuai dalam persaingan industri telekomunikasi.
Apa memang harga-harga itu harus dinaikkan? Ekonom Universitas Indonesia, M. Chatib Basri, bisa memahami kenaikan harga minyak dan tarif listrik. Subsidi minyak, ujarnya, memang harus dihapus karena kemewahan itu ternyata malah dinikmati orang kaya. Orang miskin di Indonesia versi PBB, yang berpendapatan dua dolar AS per bulan, hanya mengonsumsi 0,2 persen BBM dari total konsumsi minyak nasional. Namun pengamat telekomunikasi dan multimedia Roy Suryo mengkritik sistem penghitungan kenaikan tarif telepon dengan skema rebalancing (penghitungan kenaikan tarif secara tertimbang berdasarkan besaran pendapatan masing-masing komponen). "Itu tidak adil. Masa, masyarakat harus ikut memikirkan keuntungan yang akan diperoleh Telkom?" ujarnya. Apalagi perusahaan ini sebenarnya sudah meraup untung. Dari ekspose kinerja keuangan per September 2002, terbukti Telkom berhasil mengeduk pendapatan Rp 15,6 triliun atau naik 35 persen jika dibandingkan dengan pendapatan September 2001.
Chatib Basri juga bisa mengerti dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga itu secara bersamaan. "Secara teoretis, itu sudah benar," ucapnya. Dengan menaikkan harga tarif dalam satu paket, harga-harga hanya bisa sekali naik. Bila dinaikkan bertahap, harga akan naik beberapa kali. Sayangnya, pemerintah tak mempedulikan reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga secara keroyokan itu. "Reaksi itu yang tampaknya digampangkan oleh pemerintah," katanya. Reaksi marah masyarakat makin bertambah karena, pada waktu yang hampir bersamaan, instruksi presiden untuk mengeluarkan surat bebas (release & discharge) untuk melepaskan konglomerat bermasalah dari jeratan hukum perdata dan pidana sudah dikeluarkan. "Kita disuruh menderita, sementara konglomerat perusak bangsa diberi ampunan," kata Isbandi, pegawai Departemen Pertanian.
Bagaimanapun, bagi pemerintah, kenaikan itu dianggap wajar. Mereka memperhitungkan kenaikan berbagai tarif itu hanya akan menyebabkan inflasi sekitar dua persen. Buktinya, tahun lalu, saat kenaikan harga BBM diumumkan di awal tahun, inflasi bulan Januari hanya 1,9 persen karena masyarakat syok dengan kenaikan itu. Berikutnya, inflasi turun dan bahkan minus di bulan Maret dan April. Wakil Presiden Hamzah Haz memang menyatakan simpatinya terhadap beban masyarakat akibat kenaikan tersebut. "Tapi yang kita kehendaki dari kenaikan itu adalah peningkatan ekonomi. Karena itu, dana kompensasi ditambah menjadi Rp 4 triliun. Jadi, jangan apriori. Dana itu kan untuk masyarakat, bukan untuk pemerintah," katanya.
Dana kompensasi untuk rakyat miskin akibat penghapusan subsidi sebesar itu memang naik dari tahun lalu, yang hanya Rp 2,85 triliun. Masalahnya, dana sekian harus dibagi untuk tujuh bidang sasaran program?bidang pangan, kesehatan dan sosial, pendidikan, transportasi, sarana air besih, usaha kecil, dan pemberdayaan masyarakat?yang disalurkan melalui sembilan instansi. Selain itu, tidak pernah ada evaluasi serius untuk mengetahui apakah dana sekian itu sampai dengan selamat ke tangan yang berhak atau bocor di tengah jalan.
Padahal, bila dana kompensasi BBM ini betul-betul jatuh ke tangan yang berhak, menurut Chatib Basri, jumlah penduduk miskin akan berkurang 5 persen. Saat ini, jumlah penduduk miskin versi Badan Pusat Statistik, yang punya penghasilan Rp 30 ribu per bulan, mencapai 19 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Masalahnya, kelompok masyarakat menengah bawah seperti Budi di atas tidak masuk ke kategori mereka yang mendapat kucuran dana kompensasi ini. Mereka harus berjuang sendiri melawan segala harga yang membubung. Menurut Binny Buchori, juru bicara komunitas NGO untuk Kesejahteraan Publik, yang terdiri atas 15 lembaga swadaya masyarakat, total pengeluaran riil Budi atau masyarakat umumnya akan bertambah 25 persen. Itu berarti kenaikan harga-harga itu tidak bisa dikompensasi oleh pendapatan masyarakat saat ini. Akhirnya, yang mereka lakukan ya tindakan kreatif?juga kriminal?untuk mengakali hidup seperti tidak membayar karcis atau membayar karcis di atas kereta tadi.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo