Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Abu Jibril:

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMAR gelap itu tanpa jendela dan hanya menyisakan lubang angin yang kerap dilewati gerombolan nyamuk, sehingga udara di dalam ruang berukuran 3 x 2 meter persegi itu pengap dan panas. Tak sehelai tikar pun terbentang di lantai semennya. Kamar itu adalah sebuah ruang tahanan di Bukit Asam, markas besar kepolisian Malaysia, yang dianggap "angker" oleh warga setempat. Di sinilah Mohamad Iqbal Abdul Rahman alias Abu Jibril, 45 tahun, seorang warga negara Indonesia, melewatkan hari-hari pertama masa penahanannya setelah diciduk polisi Malaysia pada 30 Juni 2001.

Penangkapan itu disusul interogasi selama sepuluh hari yang melelahkan. Jibril mengaku menghadapi interogasi dari pukul delapan pagi hingga magrib di dalam kamarnya yang disinari lampu listrik 100 watt. Dia mengaku marah, jengkel, sekaligus putus asa menghadapi situasi tersebut. "Saya dizalimi dan tidak berdaya," dia menulis kepada TEMPO.

Polisi Malaysia menangkap Abu Jibril atas tuduhan melanggar Internal Security Act (ISA/Akta Keamanan Dalam Negeri). Dia didakwa akan mendirikan negara Islam, mengirim pasukan ke Maluku, dan ikut perang di Afganistan. Pada 23 Agustus 2001, Abu Jibril dipindahkan dari Bukit Asam ke Penjara Kamunting?tempat para tahanan politik Malaysia?di Perak.

Pertautan Abu Jibril dengan Malaysia bermula ketika dia berangkat ke negeri itu pada 1985 bersama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Ketika itu, kebijakan politik Orde Baru dirasakan amat menekan sejumlah kelompok Islam Indonesia. Jibril mengaku, karena selalu berhadapan dengan tentara dan dituduh berniat menggulingkan kekuasaan yang sah, mereka memilih hidup di perantauan.

Berbeda dengan Abu Bakar Ba'asyir yang kembali ke Tanah Air setelah kejatuhan Soeharto, Abu Jibril memilih tetap bekerja di Malaysia. Dia mahir bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Bahkan jawaban-jawaban tertulis wawancara ini dia tulis dalam bahasa Indonesia bercampur Melayu.

Penelusuran TEMPO menemukan bahwa rumah pertama yang menampungnya di Malaysia milik seorang ulama yang cukup disegani di kawasan Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Di sana, Iqbal mulai mencari nafkah dengan berdagang buku-buku agama di Johor Bahru. Sekitar 1987, dia dan istrinya mengontrak rumah di Kuala Lumpur, sebelum pindah lagi ke Sungai Manggis, Banting, Selangor. Pada 1998, keluarga Abu Jibril akhirnya mampu membeli rumah sendiri di Batu 18 1/4 Lot 873. Di sinilah istri dan sembilan orang anaknya tinggal.

Ketika TEMPO bertandang ke rumahnya dua bulan lalu, rumah itu tampak dalam keadaan terawat. Temboknya putih bersih, tanpa noda, dan diberi pagar kawat di sekelilingnya. Seperangkat sofa merah mengisi ruang tamu. Sejumlah perabot mengisi rumah bertegel putih itu: televisi 14 inci, meja dan kursi makan, serta lemari buku. Sebuah mobil van minibus yang tampaknya jarang digunakan diparkir di halaman tersebut.

Salah satu dakwaan yang dituduhkan kepada Abu Jibril sejauh ini adalah menjadi motor penggerak Jamaah Islamiyah?kelompok yang dicap sebagai organisasi teroris internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam salah satu laporannya, Direktur International Crisis Group Sidney Jones pernah menyebutkan Abu Jibril sebagai tangan kanan Ba'asyir. Jones juga menyatakan, dia menjadi bendahara di Jamaah Islamiyah justru ketika sudah berada di dalam bui. Abu Jibril membantah hal itu: "Semua itu fitnah dan kebohongan besar belaka," tulisnya kepada TEMPO.

Kakak Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, ini termasuk ustad yang punya banyak pengikut. Selain di kawasan Banting, jemaahnya bertebaran di Kuala Lumpur. Masjid Puchong, Masjid Jamek Ampang, Kedutaan RI, dan pengajian di rumah ibu-ibu kelas elite di kawasan Jalan Taman Tun Abdul Razak juga biasa mengundangnya.

Kini Abu Jibril masih berada di Penjara Kamunting. Dari penjara itu, dia menyatakan kesediaannya menjawab wawancara tertulis wartawan TEMPO Rommy Fibri. Dengan perantaraan istrinya, Fatimah Zahrah, tanya-jawab tertulis ini berlangsung selama sebulan lebih. Di akhir kertas jawabannya, Abu Jibril menuliskan alamat penjara dan namanya: "Kem Tahanan ISA, Taiping Perak Darul Ridwan. Mohamad Iqbal Abdul Rahman."

Berikut ini petikan wawancaranya.


Mengapa Anda hijrah ke Malaysia pada 1985?

Ketika itu, banyak orang Indonesia yang datang ke Malaysia dengan tujuan masing-masing. Ada yang bersekolah, bekerja, berdakwah, atau semata-mata menyambung kehidupan dari rezeki yang halal. Ada pula yang hijrah karena menghindari kezaliman rezim Soeharto, yang telah ditunggangi oknum Kristen berpangkat tinggi. Mereka amat kuat menekan para ulama dan pemuda Islam.

Apa yang Anda lakukan selama masa hijrah itu?

Berdakwah sambil mencari rezeki buat keluarga. Kebanyakan mereka hijrah atas inisiatif sendiri. Tidak ada suatu badan atau organisasi dan yayasan resmi yang mengurus serta membantu memberikan dana. Bohong kalau ada yang menuduh bahwa kepergian kami ke Malaysia atas sponsor dari individu atau organisasi tertentu.

Apakah Abdul Wahid Kadungga membantu kepergian Anda ke Malaysia?

Nama itu tidak dikenal. Hal ini sama bohongnya dengan tuduhan yang digembar-gemborkan Amerika bahwa pengeboman dan serangan atas World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 dilakukan oleh jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Itu sama bohongnya dengan Umar al-Faruq yang dikatakan sebagai petinggi Al-Qaidah Asia Tenggara yang mengaku kenal dengan Abu Bakar Ba'asyir.

Jadi, Anda tidak mengenal Kadungga?

Abdul Wahid Kadungga adalah nama yang tidak pernah terdengar dan dikenal di Malaysia. Maka sulit untuk menceritakan siapa dia sebenarnya. Apalagi jika disebut sebagai orang yang berhubungan dengan jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara. Perlu dicatat, Kadungga dihubung-hubungkan dengan keberadaan Al-Qaidah pada 1985. Sedangkan nama Al-Qaidah muncul pada September 2001, selepas pengeboman WTC dan Pentagon.

Maksud Anda?

Sungguh mengherankan jika orang percaya (pada isu Al-Qaidah) padahal waktunya terpaut 16 tahun lebih. Setelah tragedi WTC, Amerika selalu melempar tuduhan bahwa serangan itu dilakukan Al-Qaidah, pendukung kuat pemerintahan Islam Taliban di Afganistan. Kemudian mencuatlah isu bahwa Al-Qaidah merupakan kelompok teroris internasional. Dengan isu ini, mereka menghancurkan pemerintahan Islam pimpinan Mullah Umar. Belum puas membantai umat Islam di Afganistan, mereka berpindah lokasi ke Asia Tenggara dan memfokuskan perhatiannya kepada Abu Bakar Ba'asyir selaku Ketua Majelis Mujahidin Indonesia.

Bisa Anda ceritakan awal mula penangkapan Anda di Malaysia?

Sebelum pengumuman antiterorisme yang dikeluarkan pemerintah Amerika, polisi Malaysia telah menangkap 18 orang ustad yang rata-rata pernah belajar di Pakistan dan berjihad melawan Rusia. Semuanya dari Pemuda PAS (Partai Islam Se-Malaysia) kecuali saya sendiri.

Berapa lama Anda diinterogasi sebelum ditahan di Penjara Kamunting di Perak?

Saya diinterogasi selama dua bulan. Kami dituduh sebagai Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM) yang berniat makar kepada negara. Berikutnya, karena istilah mujahidin mendapat sambutan positif, terutama juga karena adanya kasus WTC, istilahnya diubah menjadi Kelompok Militan Malaysia (KMM).

Apa reaksi pemimpin PAS terhadap penangkapan tersebut?

Pemimpin PAS tidak melawan. Kemudian muncul penangkapan fase kedua, yang terdiri atas 14 orang lelaki dan satu perempuan?dua lelaki dan satu perempuan sudah dibebaskan. Nah, kelompok fase kedua ini dikenal sebagai Kumpulan Militan Malaysia (KMM), tapi diberi label Jamaah Islamiyah (JI). Lalu ada penangkapan 13 orang dalam fase ketiga dan lima orang dalam fase keempat.

Sejak itulah muncul skenario JI di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Lalu diangkatlah Abu Bakar Ba'asyir sebagai Ketua JI serta saya dan Hambali sebagai tangan kanan Ba'asyir. Alasannya, kami sama-sama tinggal di Sungai Manggis, Banting.

Apa yang Anda ketahui tentang Jamaah Islamiyah?

Jamaah Islamiyah itu tidak pernah ada, di Malaysia, Singapura, Filipina, apalagi di Indonesia. Ini semua adalah konspirasi Amerika dan pihak Barat untuk menekan negeri-negeri Islam di Asia Tenggara. Hingga detik ini, tak pernah ada JI yang dibentuk oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir.

Dan Anda disebut-sebut sebagai bendahara JI.

Saya sudah 17 tahun menjadi ulama di Malaysia. Selama itu, saya bergerak seorang diri secara bebas mencari rezeki yang halal. Tidak ada siapa pun yang bekerja sama dengan saya.

Anda tidak berhubungan dengan para ustad Indonesia yang berada di Malaysia?

Selain saya, banyak ustad dari Indonesia lulusan Arab Saudi yang mencari nafkah di sini. Mungkin kami pernah berjumpa dalam satu majelis ataupun pengajian, tapi tak pernah membentuk organisasi. Sejak dulu, kami belum pernah berkumpul untuk membentuk Jamaah Islamiyah. Secara kebetulan, kami bertiga (Abu Bakar Ba'asyir, Abu Jibril, dan Hambali?Red.) adalah tetangga satu kampung karena sewa rumah di situ amat murah dibanding di tempat lain.

Apakah Anda bertiga sama-sama mencari nafkah sebagai ustad?

Saya mendapatkan tauliah (semacam lisensi berdakwah?Red.) dan saya mengajar. Abu Bakar Ba'asyir dan Hambali menjadi penceramah sambilan. Sumber nafkah mereka adalah berdagang.

Seberapa kerap Anda bertiga berkumpul dan bersilaturahmi?

Mereka sibuk berdagang, sementara jadwal pengajian saya sudah penuh dari hari ke hari. Meski bertetangga, kami jarang berkomunikasi, apalagi membentuk satu jemaah. Sungguh aneh jika dalam situasi yang seperti itu saya lantas dituduh sebagai bendahara JI. Jangankan menjadi bendaharanya, mendengar namanya pun tidak pernah.

Anda menolak tuduhan itu?

Saya menolak sekeras-kerasnya tuduhan itu. Mereka telah menzalimi diri dan keluarga saya. Saya bersumpah dengan nama Allah akan menuntut siapa saja yang telah memfitnah dan menuduh saya sebagai bendahara atau pengurus JI. Bahkan jika dikatakan saya sebagai anggota JI pun sudah merupakan kebohongan besar.

Anda yakin bisa menuntut mereka?

Sekiranya saya tak kuasa menuntut mereka di dunia, saya akan melawan mereka hingga mendapat keadilan di hadapan Allah di akhirat kelak. Cukuplah penderitaan yang saya, istri, dan anak-anak saya alami atas tuduhan KMM. Itu tindakan zalim yang tak mungkin dimaafkan sampai kapan pun. Benarlah ayat Quran yang menyatakan bahwa "fitnah lebih kejam (jahat) dari pembunuhan" dan "fitnah itu lebih besar dari pembunuhan." Saya dan keluarga sudah merasakan kejamnya fitnah. Saya berharap para wartawan memberitakan segala perkara dengan adil serta membela orang-orang yang teraniaya.

Bagaimana perlakuan polisi Malaysia terhadap Anda?

Seperti layaknya semua polisi, mereka mencari informasi yang dikehendaki dari setiap orang yang dicurigai. Mereka umumnya berlaku baik dan sopan dalam melontarkan pertanyaan. Saya diinterograsi (pada awal penangkapan?Red.) di ruang tertutup berukuran 3 x 2 meter dengan cahaya lampu neon sebesar 100 watt selama 24 jam terus-menerus. Biasanya dari pagi pukul 08.00 sampai magrib, kadang-kadang disambung hingga pukul 11 malam. Pertanyaan mereka begitu menyiksa lahir dan batin.

Apakah Anda bisa tidur?

Harusnya seorang tahanan mendapatkan kasur, bantal, selimut, dan kitab suci Al-Quran. Tapi, selama 10 hari pertama, saya tidur tanpa alas apa pun. Setelah 10 hari, baru saya diberi bantal, kasur, selimut, dan Quran. Tapi, 10-15 hari berikutnya, kasur dan bantal ditarik lagi.

Apa saja yang ditanyakan polisi kepada Anda?

Mereka bertanya tentang latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman, serta jalan hidup saya selama 17 tahun di Malaysia.

Pernahkah Anda menanyakan alasan penangkapan kepada mereka?

Justru pertanyaan pertama mereka adalah "tahukah kamu apa kesalahanmu sehingga berada di sini?" Saya menjawab ketus, "Semestinya saya yang bertanya, mengapa saya dibawa kemari." Saya tidak melakukan suatu tindakan kriminal yang mengharuskan ditahan. Saya cuma seorang penceramah.

Benarkah Anda juga ditanyai soal perampokan Hong Leong Bank dan Southern Bank di Petaling Jaya, Selangor?

Saya merasa terhina dan tercabik-cabik mental karena seolah-olah saya menyuruh anak murid saya merampok bank. Memang ada satu orang dari kalangan perampok yang ikut pengajian saya di Puchong. Tapi, demi Allah, saya tidak tahu-menahu dengan kejadian itu karena sedang umrah pada Mei 2001. Belakangan baru ketahuan bahwa atas alasan itulah saya ditahan.

Adakah alasan politik lainnya?

Saya tak tahu pasti. Yang jelas, dalam kesimpulannya, mereka menuduh saya akan menggulingkan pemerintah Malaysia dengan kekerasan bersenjata dan mendirikan negara Islam di Semenanjung Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia.

Anda mendapat perlakuan kasar dari polisi?

Mereka tidak memukul fisik, tapi saya merasakan tekanan mental yang luar biasa akibat berbagai ancaman. Misalnya, saya diancam, harta benda saya akan dirampas, IC (identity card/KTP) akan ditarik, saya akan diusir dan diantarkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk dipulangkan.

Apakah polisi Indonesia pernah menemui Anda di sini?

Pada 19-27 Agustus 2002, beberapa polisi Indonesia telah datang untuk bertemu dengan beberapa orang tahanan asal Indonesia. Mereka terdiri atas lima orang. Empat orang mengaku beragama Islam dan seorang beragama Kristen (sebagai ketua delegasi). Para polisi itu berpangkat kapten hingga brigadir jenderal.

Pertanyaan apa saja yang mereka ajukan kepada Anda?

Berkisar tentang kepergian saya ke Maluku serta tentang proses terbentuknya Kongres Mujahidin di Yogyakarta pada 4-7 Agustus 2000: "Siapa saja yang menjadi otak Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)? Adakah orang dari kalangan pemerintah (TNI) dan polisi yang masuk MMI? Siapa yang berada di belakang MMI? Apakah JI itu memang ada?"

Bisa diceritakan jawaban-jawaban Anda?

Sederhana saja. Saya tidak tahu banyak tentang MMI, karena saya tinggal di Malaysia. Jika ingin tahu lebih banyak, silakan bertanya kepada ketuanya di Yogya. Kemudian mereka bertanya soal Ustad Ba'asyir, Hambali, dan Kudama sambil menunjukkan gambarnya dan beberapa orang Singapura yang akan ditangkap ataupun telah ditangkap. Kepada mereka, saya katakan juga bahwa JI tidak pernah ada. Itu cuma rekayasa untuk menangkap orang-orang Islam di Malaysia, sebagaimana halnya KMM.

Mohamad Iqbal Abdul Rahman alias Abu Jibril

Tempat dan tanggal lahir:

  • Lombok, 17 Agustus 1957

    Pendidikan:

  • Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan, Yogyakarta
  • Memperdalam ilmu ushuluddin di Pakistan dan Afganistan (1987-1989)
  • Memperdalam ilmu syariah di Mekah (1989-1991)

    Pekerjaan:

  • Pedagang buku-buku agama di Johor Bahru
  • Pendakwah bebas di Selangor dan Kuala Lumpur
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus