Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janet Steele,
Associate Professor of Media and Public Affairs George Washington University dan penulis buku Wars Within.
PERTAMA kali saya menghadiri Rapat Opini Tempo pada 11 Juni 1999. Saat itu, Goenawan Mohamad masih menjabat Pemimpin Redaksi Tempo dan Bambang Harymurti sedang dipersiapkan untuk menggantikannya. Saya tengah menikÂmati cuti panjang dari Universitas George Washington untuk meriset buku tentang majalah Tempo. Saat itu saya hampir tak percaya diizinkan mengikuti rapat redaksi mingguan di kantor majalah berita terkemuka Indonesia itu ketika negeri ini dalam masa transisi ke arah demokrasi.
Saya telah mengadakan riset di majalah tersebut selama beberapa pekan sebelumnya, dan sudah ikut hadir dalam suatu peristiwa di Komunitas Utan Kayu. Sebagian besar orang Tempo ada di sana, dan selagi mereka bersiap kembali ke kantor untuk rapat redaksi pukul empat sore, saya memberanikan diri meminta izin kepada Bambang Harymurti untuk ikut hadir di rapat tersebut. Saya berjanji akan duduk diam dan tidak akan ambil bagian dalam diskusi. Bambang dan Goenawan langsung setuju. Saya ingat bagaimana saya duduk nyempil di bagian belakang mobil Kijang milik Goenawan; hati saya nyaris meledak saking girangnya.
Pada saat itu, saya baru saja memulai riset, dan nyaris menulis apa saja yang terjadi ketika itu. Dari catatan saya, terlihat jelas bahwa Goenawan-lah yang lazim memimpin rapat pada awal Juni dan Juli. Sebagian besar peserta rapat sudah beserta Tempo sejak sebelum pembredelan pada 1994, termasuk Fikri Jufri, Yusril Djalinus, Zulkifly Lubis, Isma Sawitri, Putu Setia, Bambang Harymurti, Toriq Hadad, dan Wahyu Muryadi. Marsillam Simandjuntak biasanya juga hadir untuk memperkaya perdebatan tajam serta bertindak sebagai apa yang disebut Bambang sebagai sparring partner.
Saya takjub akan aneka ragam topik yang mereka diskusikan, dari pemilihan presiden, politik uang, otonomi daerah, krisis perbankan, dwifungsi serta peran ABRI, masalah Aceh, hingga referendum Timor Timur. Mengamati Rapat Opini sama seperti mengamati reformasi dalam bentuk miniatur.
Majalah Tempo sebelum Oktober 1998 tidak memiliki rubrik Opini. Pada masa itu, setiap orang sangat menyadari arti penting apa yang mereka kerjakan. Bambang dan Goenawan sepakat bahwa Tempo harus menjadi semacam ”lembaga klarifikasi” (clearing house of information). Kebebasannya jelas gamblang: inilah arti hidup berbangsa demokratis dengan media yang independen.
Serangkaian rapat Tempo menyenangkan. Saya tak akan pernah melupakan Yusril yang senyum serta humornya dapat menyegarkan ruangan. Jika peserta rapat terlena terlalu jauh dalam perdebatan—seperti yang sering dialami Bambang dan Marsillam—Yusril akan menyadarkan mereka kembali pada pokok persoalan sambil bertanya, ”Jadi apa sudut pandang kita?”
Yusril selalu mencari kesempatan untuk taruhan. Ketika Sidang MPR, Oktober 1999, ketika Megawati bertarung melawan Hamzah Haz, Rapat Opini sedang berlangsung. Persoalannya adalah akankah Mega memperoleh lebih dari 400 suara. Yusril mengusulkan arisan tebak-tebakan dengan setiap orang memasang Rp 20 ribu; para pemenangnya harus mentraktir pizza.
Dan makanannya, oh! Di masa lalu, kudapannya terdiri atas gorengan gurih. Tak lama kemudian, manajemen kantor mulai menyadari makanan sehat dan menyingkirkan makanan gorengan serta menggantinya dengan yang lebih sehat, seperti pisang, singkong, dan kacang rebus.
Rapat Opini masa kini sangat berbeda dengan yang terdahulu. Pertama, kini lebih banyak yang hadir. Dengan diterbitkannya Koran Tempo pada 2001, jumlah anggota redaksi yang mengikuti Rapat Opini telah berlipat ganda. Banyak tenaga senior yang sudah tak aktif, walaupun Fikri Jufri dan Zulkifly Lubis masih kerap mampir. Terkadang Marsillam Simandjuntak datang sebagai tamu, dan setiap dia datang, rapat menjadi tambah bergairah.
Kini rapat diselenggarakan oleh generasi baru redaktur Tempo, jurnalis muda cakap yang sebelumnya malah bukan anggota Tempo prabredel. Akhir-akhir ini, Arif Zulkifli menyelenggarakan Rapat Opini yang lebih singkat dan lebih terfokus dibanding rapat sepuluh tahun silam. Kendati banyak generasi baru redaktur Tempo yang masih berstatus mahasiswa saat Orde Baru berkuasa, pengetahuan jurnalisme mereka ditempa dalam gerakan prodemokrasi dan era reformasi.
Format rapat pada dasarnya masih sama: setiap redaktur pelaksana mengajukan usul Opini dari setiap kompartemen yang dipimpinnya. Opini utama hampir selalu didasarkan pada Laporan Utama, dengan Opini kedua dan ketiga yang lazimnya diambil dari rubrik Ekonomi dan Nasional. Opini keempat biasanya lebih ringan dan terkadang jenaka.
Rapat Opini dewasa ini selalu dimulai dengan evaluasi kritis tentang Opini dan Tajuk majalah dan koran sepekan sebelumnya oleh pengamat politik Rahman Tolleng dan wartawan senior Amarzan Loebis. Kedua pakar—dengan latar belakang politik dan temperamen yang sangat berbeda—ini memusatkan perhatian pada tulisan serta isi dengan menunjukkan kesalahan tata bahasa dan cara pemakaian istilah. Tiada yang terbebas dari kritiknya; semua redaktur harus mendengarkan kritik mereka yang sering kali tajam. Kata-kata yang tak perlu? Coret. Anak kalimat yang berlebihan? Jelas harus dibuang. Kata-kata klise? Hapus. Saya sering membayangkan situasi serupa terjadi di ruang redaksi media Amerika, dengan hadirin yang mendengarkan penuh perhatian pada kritik yang isinya lebih seperti pelajaran tata bahasa dan cara penggunaan istilah. Ini sulit saya bayangkan.
Tentu saja isi Opini tak luput dari kritiknya. Rahman Tolleng justru memastikan bahwa majalah Tempo dan Koran Tempo mengusung pluralisme sebagai misi Tempo terpenting. Sekali waktu, sembari Rahman menyebut dirinya sebagai ”fundamental sekularis”, dia menolak Tajuk yang dianggapnya berbicara dari ”dalam Islam”. Saya ingat saat itu memang salah satu Tajuk tengah mendiskusikan kontroversi poligami, dan membuat argumen yang sebagian mengambil dari Quran. Rahman Tolleng menyatakan bahwa Tempo adalah majalah sekuler dan seharusnya tak menggunakan teks Islam untuk membangun suatu argumentasi.
Kegigihan Rahman Tolleng pada pluralisme Tempo berkaitan dengan isu yang jauh lebih penting, yaitu kebebasan serta ikhtiar majalah untuk mempertanyakan kepercayaan, kebudayaan yang sudah disanjung, apakah itu agama, nasionalisme, ataupun rasa hormat terhadap kekuasaan. Diskusi pada rapat-rapat redaksi selalu hidup dan penuh semangat. Peserta berterus terang dalam menyatakan pendapatnya, dan sering kali terjadi perdebatan yang penuh persahabatan. Penulis muda merasa nyaman menantang atau mendebat seniornya, atau mengikuti jejak Bambang Harymurti memainkan peran sebagai devil’s advocate. Jiwa dan spirit rapat redaksi sangat demokratis. Jika saya boleh mempunyai harapan institusi Indonesia mana yang bagus untuk diekspor ke Mesir, jawabannya ada di sini, yaitu suatu media yang bebas, independen, dan kuat seperti Tempo, yang akan menuntut pertanggungjawaban pihak yang berkuasa.
Bila saya merenungkan selama 12 tahun lebih saya menghadiri rapat-rapat redaksi Tempo, saya kagum akan apa yang saya amati: adanya mikrokosmos pada era reformasi ini. Keberanian Tempo mengangkat isu yang tidak populer dan terkadang mempunyai risiko besar untuk dituntut secara hukum sungguh sangat mengagumkan. Saya semakin menghargai kontribusi Tempo dan kagum terhadap luar biasanya para wartawan dan editor yang bekerja di sana. Pada masa ketika banyak media dikuasai oleh politikus atau kepentingan finansial, wartawan Tempo bersedia bekerja dengan gaji yang lebih kecil demi kesetiaan pada kebebasan dan idealismenya.
Seorang kawan berkata bahwa hal yang paling sulit dilakukan di Indonesia adalah menciptakan sebuah institusi yang mampu bertahan melebihi usia pendirinya. Bahwa Tempo dapat tumbuh, berubah, dan memenuhi kebutuhan generasi baru pembaca merupakan bukti terhadap visi Goenawan, Fikri, serta pendiri lainnya. Saya masih merasa teramat gembira dengan transisi Indonesia ke arah demokrasi, dan dengan kesempatan saya menyaksikannya. Dan jika suatu Rabu siang saya kebetulan berada di Jakarta, Anda harus yakin bahwa saya akan hadir di Rapat Opini Tempo. Bahkan boleh memastikannya. Atau Anda boleh bertaruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo