Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Sahabat Harus Dikritik

Gus Dur dan Tempo layaknya saudara. Tapi kedekatan bukan berarti mematikan sikap kritis.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CETHAK-cethok-cethak-cethok, grrredek…. Lelaki berperawakan tambun itu tampak asyik duduk di salah satu meja redaksi yang berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, pada suatu Jumat. Pria berkacamata minus—saking tebalnya sampai kayak stoples—itu sedang asyik memencet-mencet tombol mesin ketik di meja Syu’bah Asa, redaktur kolom majalah Tempo pada 1970-an.

Tak lama berselang, si empunya meja, Syu’bah, datang dari salat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia langsung menghampiri lelaki yang di kalangan awak redaksi kala itu akrab dipanggil Cak Dur ini. Syu’bah dan Abdurrahman Wahid, nama lengkap Cak Dur, yang oleh kalangan luas kerap disapa Gus Dur, berbincang-bincang sebentar. Lalu Syu’bah meninggalkan mejanya dengan senyum terkembang.

Bambang Bujono, salah satu redaktur di majalah Tempo saat itu, bertanya, ”Mas, kenapa Anda senyam-senyum dari tadi?” Sambil menundukkan kepala, Syu’bah berbisik, ”Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik kolom sampai lupa tidak Jumatan.” ”Mana mungkin,” kata Bambang Bujono, yang biasa disapa Bambu, ”bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya aja sudah hampir selesai.”

Begitulah Gus Dur. Kala itu, tahun 1977-an, Tempo seakan menjadi tempatnya ngantor. Maklum, saat itu ia belum punya pekerjaan tetap. Ia bisa datang kapan saja kalau dia mau. Entah untuk urusan mengetik artikel, entah sekadar ngobrol. Dari tempat tinggalnya di Ciganjur, Jakarta Selatan, ia biasanya naik bus ke kantor Tempo yang ada di Proyek Senen itu. ”Ia datang langsung mencari meja yang kosong,” kata Fikri Jufri, Redaktur Senior Tempo. ”Tapi paling sering dia duduk di meja saya.”

Thak-thik-thuk, paling lama dua jam kelar si Gus mengetik naskah kolomnya. Jika Syu’bah ada di kantor, tulisan langsung disodorkan. Jika tak ada, Gus Dur langsung meletakkan tulisannya di meja Syu’bah. Paling-paling, kata Bambang Bujono, jika hendak pulang, ia selalu berpesan kepada orang yang ada, ”Tolong bilangin Mas Syu’bah, saya menulis kolom.” Lalu, wuss, ia kabur entah ke mana.

Gaya kehadiran Gus Dur di kantor kami mulai berubah pada 1982. Sementara biasanya ia kabur setelah menyodorkan tulisan, kali ini tidak. Kok bisa? Begini kisahnya. Saat itu Tempo menerbitkan majalah Zaman. Kebetulan kantornya bersebelahan dengan kantor kami, masih di Proyek Senen. Kebetulan juga istrinya, Sinta Nuriyah, menjadi salah satu redaktur di majalah itu. Klop.

Sejak saat itu, Gus Dur punya pekerjaan tetap: menjemput istrinya. Jadi, sambil mengisi waktu longgarnya hampir setiap hari, ia pasti nongkrong di kantor Tempo. Sambil menunggu sang istri selesai bekerja, ia mengetik dan kadang mengajak diskusi. Jika sudah kelar mengetik, kata Bambang Bujono, ia tak langsung kabur, tapi, ”Menengok kerja istri dan minta uang bus.”

Dalam pengantar buku Melawan Melalui Lelucon (2000), Syu’bah mengisahkan betapa Gus Dur adalah penulis kolom di majalah Tempo yang amat produktif. Satu naskah yang dia setorkan belum dimuat, eh, sudah datang tulisan lain. Kadang-kadang juga—namanya kadang-kadang artinya juga rada jarang—ia ngijon, minta honor tulisannya dibayar duluan.

Tulisan pertama Gus Dur yang dimuat di majalah Tempo bukanlah diproduksi di kantor Proyek Senen, melainkan dia tulis ketika berada di Jombang. Judulnya ”Tebasan di Pinggiran Kota”. Tulisan ini dimuat di majalah Tempo edisi 23/05, tanggal 9 Agustus 1975. Saking produktifnya, Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad harus menyediakan meja khusus buat kolumnis itu untuk menulis. Mungkin ini dimaksudkan agar Gus Dur tidak ”mengkudeta” meja milik redaksi.

Tulisan Gus Dur tak hanya bisa ditemui di Tempo, tapi juga di pelbagai media lain. Di majalah Tempo, sepanjang 1975 hingga 1992, ada 105 tulisan lebih karya dia. Kami lalu membukukan kolom Gus Dur ini pada tahun 2000 dengan judul Melawan Melalui Lelucon. Buku ini lantas diluncurkan secara resmi di kawasan Casablanca, dihadiri Gus Dur, yang kala itu menjadi Presiden RI.

l l l

Nama Gus Dur semakin moncer. Begitu juga gagasan dan pemikirannya, baik yang dilontarkan melalui tulisan maupun dalam ceramah-ceramahnya. Dari tahun ke tahun, ia pun menduduki sejumlah jabatan penting, mulai Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985) hingga Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (selama tiga periode, sejak 1984 sampai 1999).

Meski sibuk, bukan berarti ia melupakan dunia tulis-menulis. Sewaktu menjabat Ketua Umum PBNU, lelaki kelahiran Jombang, 4 Agustus 1940, ini masih kerap mengirimkan tulisannya untuk Tempo. Bedanya, dulu, sebelum ia punya banyak jabatan, artikelnya banyak ditulis di kantor Tempo sambil menjemput istrinya pulang, sedangkan kali ini ia menulis dari luar. Bisa di kantor PBNU di Kramat Raya atau di rumahnya, Ciganjur. Sesekali ia masih mampir ke kantor Proyek Senen itu untuk berdiskusi.

Hubungan dekat ini tak membuat kami selalu harus sejalan dengan Gus Dur, yang akhirnya dilantik menjadi Presiden RI ke-4 pada 20 Oktober 1999.

Sejak awal menjabat, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Dewan Perwakilan Rakyat nyaris tak pernah mulus. Reaksi keras diberikan DPR saat Gus Dur memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, April 2000. Hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI Perjuangan retak.

Puncaknya saat isu penggunaan dana Yanatera, yayasan yang bernaung di bawah Badan Urusan Logistik (Bulog), menerpa Istana. Dalam skandal hilangnya dana Bulog US$ 4 juta ini—dikenal dengan Buloggate—ramai diberitakan bahwa orang-orang dekat Presiden Abdurrahman ikut menikmati aliran dananya. Isu ini kemudian menjadi bola panas di DPR, yang kemudian dipakai sebagai pemicu untuk merontokkan kredibilitas Presiden Abdurrahman.

Persahabatan adalah satu sisi yang tetap kudu dijaga, tapi di saat bersamaan kami juga wajib menegakkan sikap profesional. Fungsi kontrol harus tetap dijalankan dengan cara mengkritik kepemimpinan Gus Dur ini demi kepentingan publik. Kami lantas menuliskannya dalam tiga laporan utama majalah Tempo: ”Sudahlah, Gus” (14-20 Mei 2001), ”Main Api dengan Dekrit” (28 Mei-3 Juni 2001), dan ”Pengakuan Sapuan dan Keterlibatan Istana” (29 Mei-4 Juni 2001).

Kami juga mengkritik sikap Presiden Abdurrahman yang saat terjepit berbagai tekanan langsung mengeluarkan jurus pamungkas: dekrit presiden, yang intinya membubarkan DPR, sekaligus membubarkan Partai Golkar.

Mungkin karena mengenal karakter independen Tempo itu, Gus Dur tak pernah mempengaruhi kami, walau sekadar mengimbau melalui kontak telepon. ”Kalau dikritik, setajam apa pun kritik itu, Gus Dur rileks saja menanggapi. Tak terpikir sedikit pun untuk menggugat ke pengadilan, apalagi membredel media,” ujar Wahyu Muryadi. Wahyu, kini Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, ketika menjadi redaktur pernah diminta Gus Dur—kemudian juga kami tugasi untuk—membantunya sebagai Kepala Biro Protokol Istana Presiden.

Menurut salah seorang juru bicara Presiden Abdurrahman saat itu, Yahya Tsaquf, saban pagi ada tradisi menarik kala berada di Istana. Biasanya, seusai jalan kaki mengelilingi Istana Negara, ajudan dan beberapa anggota stafnya, termasuk Yahya dan Wahyu, kerap diminta membacakan isi media massa—termasuk Tempo. Tak ada sikap gusar Gus Dur terhadap media yang mengkritiknya. Paling-paling dia berujar, ”Enggak usah terlalu dipikir, mungkin mereka enggak paham,” kata Yahya menirukan ucapan Gus Dur. ”Gitu aja kok repot….”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus