Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNJUK rasa itu berlangsung di lantai tiga gedung Tempo, Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta. Sejumlah poster bergelantungan di dinding. Kain spanduk membentang di dekat tembok luar ruang rapat redaksi. Nada semua tulisan sama: ”Matinya Independensi Tempo.” Aura tak nyaman meruap di atmosfer kantor pada pekan pertama Mei lima tahun lalu itu. Demonstrasi kecil ini terjadi setelah terbitnya delapan halaman iklan advertorial.
Yang jadi masalah adalah isi iklan. Jelas-jelas iklan itu membantah hasil liputan investigasi yang dimuat majalah Tempo seminggu sebelumnya, edisi 24-30 April 2006. Investigasi berjudul ”Akal Busyukus di Kemayoran” itu memuat terlunta-luntanya rencana pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran. Pengusaha bernama The Hok Bing berselingkuh dengan kekuasaan. Bekas pejabat Sekretariat Negara dan putra mantan presiden ditengarai terlibat. Uang para buruh yang tersimpan di Dana Pensiun Perkebunan dipakai.
Kisah patgulipat bisnis itu licin dan berliku. Setiap pemain, menurut investigasi itu, adalah Akal Busyukus—tokoh antagonis dalam komik Asterix. Nah, liputan inilah yang dibantah total oleh advertorial berbentuk suplemen sisipan. Judul iklan itu: ”Pengakuan & Klarifikasi: Fakta di Balik Cerita Akal Busyukus Kemayoran”. Isinya, antara lain, pemasang iklan meragukan kredibilitas para narasumber liputan Tempo.
Inilah yang menimbulkan reaksi keras redaksi Tempo. Redaktur Pelaksana Investigasi Arif Zulkifli tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. ”Saya merasa dikerjain,” katanya, Rabu pekan lalu, mengenang saat-saat itu.
Arif dan tim yang menggarap investigasi pantas kesal. Mereka sudah bekerja setidaknya tiga bulan untuk liputan itu. Yang membuat dia marah, gara-gara iklan itu, seolah-olah tim investigasi sengaja ”menodong” dengan membuat liputan agar mendapatkan iklan bantahan senilai hampir Rp 500 juta.
Arif pun memprotes secara terbuka lewat jaringan surat elektronik kantor. Banyak tanggapan muncul. Semuanya sepakat iklan itu keterlaluan. Arif kemudian mencetak setiap tanggapan dan menempelkannya di dinding dekat ruang rapat redaksi majalah Tempo di lantai tiga. Ada juga sejumlah poster. ”Saya beli kain pakai uang sendiri untuk bikin spanduk,” kata Arif.
Awak redaksi sejak awal tahu hasil investigasi pasti akan menimbulkan reaksi. Biasanya, jika ada hasil liputan yang menyinggung seseorang atau suatu lembaga, akan muncul surat keberatan, somasi, gugatan, bahkan serbuan ke kantor. Tapi kali ini reaksi yang muncul adalah iklan bantahan. Melalui agensi iklan, utusan The Hok Bing menghubungi account executive Tempo. Materi iklan disampaikan karyawan tadi ke pimpinan untuk diperiksa apakah menyalahi kode etik atau tidak. Materi iklan dikirim dalam satu dokumen digital.
Tujuh halaman iklan advertorial itu dijadikan satu dokumen dan hanya bisa dibuka di komputer di percetakan, yang notabene tidak satu gedung dengan kantor redaksi. Terbukti, materi iklan itu menyalahi kode etik periklanan karena menjelek-jelekkan pihak lain. Pada prinsipnya, iklan boleh membagus-baguskan diri sendiri, tapi haram hukumnya menyerang pihak lain. Sebab, di dalam iklan tidak ada prinsip cover both sides. Iklan masuk di menit-menit akhir dan tidak dalam kontrol pihak redaksi.
Jelas, Tempo telah kebobolan. Mestinya ini tak bisa terjadi. Prosedur baku di bagian pemasaran majalah ini dirancang tak akan meloloskan materi iklan atau advertorial yang melanggar etika periklanan dan ketentuan redaksi.
Kenyataannya, advertorial ini bisa lolos. Hasil penelusuran oleh pimpinan Tempo menyimpulkan penyebabnya adalah tidak ditaatinya prosedur baku pemuatan iklan.
Tak ada kesengajaan, tapi akibatnya jelas fatal. Iklan itu telah menyentuh titik paling penting dari semangat Tempo: menjaga independensi. Dengan pemuatan iklan itu, seolah-olah Tempo sengaja ”menjual” beritanya demi mendapatkan iklan.
Tak bisa tidak, sanksi harus jatuh. Semua bagian yang bertanggung jawab mendapat hukuman. Toriq Hadad, kemudian menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, mengatakan sanksi bagi yang bersalah cukup berat. ”Bahkan hingga pengurangan gaji,” ujarnya.
Penjelasan ke pembaca pun segera dibuat. Bambang Harymurti, pemimpin redaksi saat itu, menulis penjelasan sekaligus permohonan maaf pada Tempo edisi berikutnya, 1-7 Mei 2006. ”Kami Keliru”, begitu judul penjelasan itu.
Selain memohon maaf ke pembaca, Bambang menegaskan, advertorial bukanlah ruang yang disediakan bagi pihak yang merasa perlu menampilkan hak jawab atau hak koreksi. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, hak jawab hanya dilayani di ruang redaksi, tanpa biaya. Tempo juga menyatakan mencabut advertorial itu dan menolak menerima satu sen pun uang dari pemasangnya.
”Seingat saya, inilah untuk pertama kali Tempo minta maaf karena iklan,” kata Bambang, kini Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk.
Liputan investigasi 15 halaman itu bermula dari seorang pembocor bernama Nur Irsjadi Hassan. Dua tahun sebelum liputan terbit, Nur Irsjadi rajin menyambangi kantor media. Ia membeberkan borok skandal di Kemayoran. Tak hanya itu, ia juga membuat laporan tebal berisi kronologi kejadian, lengkap dengan pelbagai dokumen dan analisis. Dokumen itulah yang dikirim ke Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri-Sekretaris Negara, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia juga melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung. Ia rajin mengontak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dulu pernah jadi anggota kelompok kerja untuk kasus Kemayoran.
Berhasil? Belum. Kecuali DPR, yang telah mengeluarkan rekomendasi tentang kasus ini, lembaga-lembaga lain mengaku masih memeriksa dokumen yang ia serahkan.
Irsjadi pernah menjadi Direktur Pengusahaan Tanah dan Jasa serta Direktur Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran. Setahun sebelum liputan itu terbit, dia dicopot dari jabatannya. ”Ini skenario licik,” kata Irsjadi geram. Ia merasa ini adalah konspirasi yang bertujuan menjebaknya.
Menurut Arif Zulkifli, bahan dari ÂIrsjadi sebetulnya hampir tak bisa dipakai. Tapi bahan ini membuka jalan ke informasi lain, yaitu bagaimana The Hok Bing ”mengakali” PT Dana Pensiun Perkebunan. Arif bersama timnya mempelajari dokumen-dokumen tadi.
Dari situlah ditemukan soal lain yang lebih besar. Diketahui, The Hok Bing memiliki PT Theda Pratama. Perusahaan ini berkongsi dengan PT Dana Pensiun Perkebunan membuat perusahaan baru bernama PT Theda Persada Nusantara dengan kepemilikan saham 50-50 persen.
Dari situ, tersangkut nama bekas Menteri-Sekretaris Negara Bambang Kesowo yang memuluskan jalan The Hok Bing. Bambang Kesowo sudah membantah keterlibatannya. Ada juga Muhammad Rizki Pratama, anak Megawati Soekarnoputri yang pernah menjadi Wakil Komisaris Utama PT Theda Persada Nusantara. Namun Tatam, panggilan dia, menyatakan tertipu.
”Unsur magnitude investigasi ini besar,” kata Arif. Dan dalam kasus ini ada kerugian publik, uang milik Dana Pensiun Perkebunan.
Begitulah. Bagi Tempo, hasil liputan tak mungkin dimentahkan hanya oleh iklan, meski untuk itu harus kehilangan uang ratusan juta rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo