Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan subsidi sebesar Rp 300 miliar untuk PT MRT Jakarta dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Biro Perekonomian DKI Jakarta, Sri Haryati, menuturkan bahwa PT MRT Jakarta telah menyampaikan usul tersebut berikut kajiannya kepada pemerintah. “Mereka bersurat ke pemerintah,” katanya di Balai Kota, Jumat lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sri, tidak masalah jika dalam KUA PPAS 2019 pagu subsidi masih berdasarkan usul dan kajian dari MRT Jakarta karena masih akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta sebelum disahkan menjadi anggaran daerah 2019.
PT MRT Jakarta mengusulkan harga tiket kereta mass rapid transit Rp 8.500 dan Rp 10 ribu. Dasarnya, hasil survei penumpang (ridership survey) yang melibatkan 10.073 responden. Berdasarkan survei itu, sebagian besar responden bersedia membayar tiket MRT seharga Rp 8.500 per 10 kilometer.
Dia pun menjelaskan, jika dalam pengoperasian kereta MRT perusahaan ternyata memerlukan tambahan subsidi, DKI akan menganggarkannya dalam APBD Perubahan 2019. “Ada langkah antisipasinya.”
Direktur Keuangan dan Administrasi PT MRT Jakarta, Tuhiyat, mengungkapkan usul subsidi Rp 300 miliar sifatnya sementara karena belum memperhitungkan siapa pengelola aset prasarana, seperti stasiun, rel, dan infrastruktur lainnya. “Jadi, kami usulkan itu untuk dicadangkan dulu,” ujarnya.
Menurut sumber Tempo yang mengetahui soal pembahasan tarif MRT, pemerintah DKI masih gamang perihal pengelolaan aset prasarana meski sudah terbit Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penugasan kepada PT MRT Jakarta untuk Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana MRT. Berdasarkan aturan tersebut, aset prasarana, seperti stasiun dan rel, akan dikembalikan kepada DKI.
Masalahnya, sumber itu melanjutkan, jika aset prasarana dikelola oleh DKI, pendapatan non-farebox (pendapatan selain tiket) bagi MRT Jakarta bakal tergerus. Penghasilan dari persewaan toko dan periklanan di stasiun akan masuk kas DKI. “MRT akan sulit mandiri dan pemerintah harus terus kasih subsidi tiket dengan nilai yang besar,” tuturnya.
Adapun Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, Agung Wicaksono, menuturkan bahwa pelbagai skenario pengelolaan aset serta dampaknya telah dikaji oleh perusahaan daerah itu dan diserahkan ke DKI. Jika aset prasarana dikelola oleh DKI, PT MRT memerlukan subsidi sekitar Rp 300 miliar per tahun.
Jika seluruh aset dikelola perusahaan daerah itu, Agung melanjutkan, subsidi yang dikucurkan pemerintah diperkirakan bertambah 500 miliar atau menjadi Rp 800 miliar per tahun. “Semakin besar aset di MRT Jakarta, biaya pemeliharaannya juga makin besar.”
Adapun anggota Komisi Bidang Keuangan DPRD, Cinta Mega, meminta DKI dan PT MRT menghitung dengan rinci besaran subsidi yang diperlukan agar tidak memberatkan anggaran daerah. Soal tiket, dia mengingatkan PT MRT agar harganya terjangkau oleh masyarakat.
Menurut Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Iskandar Abubakar, DKI sebaiknya memberikan kesempatan kepada MRT Jakarta untuk mengelola aset prasarana agar bisa memperoleh pendapatan non-farebox. GANGSAR PARIKESIT
Bidik Pendapatan Selain Tiket
Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, Agung Wicaksono, mengatakan perusahaan daerah itu juga membidik pendapatan non-farebox (selain tiket). Menurut dia, potensi pemasukan di luar tiket bagi perusahaan daerah itu cukup besar, seperti dari iklan dan retail di stasiun-stasiun MRT. “Peluang bisnisnya mulai dari masuk sampai keluar stasiun,” tuturnya.
Agung memperkirakan pendapatan dari non-farebox ini bisa mencapai 8 persen dari total pendapatan MRT Jakarta. Namun dia belum bisa merinci proyeksi pendapatan perusahaan daerah itu.
Berikut ini potensi pendapatan non-farebox yang dibidik MRT Jakarta:
Convenience store dalam stasiun.
Kedai makanan dan minuman dalam stasiun. Syaratnya, tidak boleh memasak dengan menggunakan gas demi menjaga keselamatan.
Toko busana (fashion) dan aksesori dalam stasiun.
Hak penamaan stasiun. Nama sponsor diposisikan di bawah nama asli stasiun MRT Jakarta, contohnya di Malaysia ada stasiun MRT Bukit Bintang Air Asia.
SUMBER: WAWANCARA | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo