SUATU hari pada 1990-an, seorang antropolog Portugal bernama Maria Alice Marquez Viola datang ke Larantuka. Ia mengunjungi Kapel Tuan Ma karena mendengar di kapel alit itu terdapat sekumpulan ibu yang sehari-hari berdoa dalam bahasa Portugis.
Setiap hari Sabtu, kelompok ibu pendoa ini—yang disebut Mama Muji—rutin mengaji alias berdoa di Kapel Tuan Ma. Ketika Marquez Viola sampai ke situ, dia kaget. Memang, dia mendengar lirik-lirik yang berwarna Portugis. Tapi hanya beberapa patah kata yang dia pahami. Apakah itu bahasa Porto kuno? Apakah itu dialek bahasa Porto tertentu? Antropolog ini kebingungan.
Kisah ini dituturkan kembali kepada TEMPO oleh Don Martinus Diaz Vieyra Godinho, keturunan Raja Larantuka. "Antropolog tersebut lalu memberi saya doa-doa asli dalam bahasa Portugal dan membandingkannya dengan kalimat-kalimat doa Mama Muji. Memang sama sekali berbeda," kata Don Martinus.
Anggota Mama Muji sendiri adalah wanita-wanita berusia sekitar 70 tahun dengan rambut memutih. Peran mereka amat penting dalam kehidupan ibadah warga Larantuka. Merekalah yang memberikan suasana khidmat saat para peziarah di Kapel Tuan Ma melakukan promesa (mengucapkan ujud doa khusus) dan bersujud mencium kaki patung Maria Dolorosa.
Duduk di pinggir kapel sembari menggenggam rosario dan menjaga deretan lilin menyala, mereka mendaras doa, bernyanyi tak henti-hentinya dengan irama cepat. Kita yang memegang buku terjemahan pun bakal tak mudah menangkap kalimat-kalimat mereka. Telah turun-temurun para mama ini mewarisi doa-doa beserta intonasinya itu. Tak semuanya paham akan arti doa yang mereka ucapkan. Mereka hanya tahu bahwa yang mereka ucapkan itu adalah doa Salam Maria, Bapa Kami, Kemuliaan, serta doa Aku Percaya.
Dalam lirik bahasa Indonesia, doa Salam Maria berbunyi sebagai berikut: "Salam Maria, penuh rahmat. Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus." Dalam versi Porto-Larantuka, liriknya adalah "Ave Maria cheia de graca o Senhor e con Vosco bendita sois entre as mulgeres e bendito e o fruto do Vosso Ventre Yesus." Doa Kemuliaan, "Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus," didaraskan begini: "Gloria ao Pai, e do Filho e do Espritto Santo."
Doa seperti Ave Maria dan Gloria, menurut Don Martinus D.V.G. masih bisa tertangkap agak jelas. Tapi doa seperti Litani Santa Perawan Maria sudah amat berbeda dengan aslinya. Mengapa itu bisa terjadi? "Itu karena kalimat-kalimat Portugis ditambah kebiasaan lisan di Larantuka, sehingga pelafalannya berbeda," Uskup Larantuka, Fransiskus Kopong Kung, Pr., menjelaskan. Menurut Uskup, di Wure, yang terletak Pulau Adonara, berseberangan dengan daratan Flores Timur, serta di Konga, kira-kira 50 menit dengan mobil dari Larantuka, cara pengucapan dan intonasi doa lain lagi.
Maklumlah, di Flores, jangankan beda kabupaten, beda kecamatan saja sudah lain ritme dan intonasinya. "Mungkin orang-orang Larantuka awalnya mendengar misionaris Portugis berdoa, lalu doa itu ditirukan dari mulut ke mulut sehingga kalimatnya pun berbeda," Don Martinus menduga. Terkadang dalam doa Mama Muji terdapat campuran bahasa yang tak mereka ketahui. Misalnya, mula-mula mereka mendengungkan doa dalam bahasa Portugis, tiba-tiba disambung bahasa Latin. Ada salah satu doa yang seharusnya diikuti kalimat Porto "Rogai por nos…" ("Doakanlah kami") diganti dengan kata-kata Latin "Ora pro nobis…."
Marquez Viola menyarankan agar Don "meluruskan" doa-doa Mama Muji. Antropolog itu mengatakan bersedia mendatangkan orang dari Portugal untuk melatih. "Wah, itu susah sekali karena doa-doa itu sudah tertanam di batin ratusan tahun dan mendarah daging. Untuk mengubahnya, dibutuhkan proses yang cukup lama " kata Don Martinus. "Yang penting, iman mereka tak goyah. Kalau 'diluruskan', jangan-jangan malah menjadi kacau," Don Martinus menambahkan.
Yang hafal doa Porto ala Mama Muji ini kian berkurang. "Yang hafal di luar kepala kini sekitar 20 orang," kata Isabella Riberu Bella, 64 tahun, Ketua Mama Muji. Sisanya berdoa dengan membaca catatan. Dari sekian orang itu, empat orang, termasuk Isabella, menjadi semacam ketua pendoa. Bila berdoa, suara mereka dahulu yang keluar—solo vokal yang diikuti semacam kor. Mereka tak tahu soal harmoni dalam teori musik, tapi hasil kekompakan suara mereka cukup untuk membikin merinding para pendengarnya. "Intonasi dan ritme itu semua refleks muncul begitu saja dari hati kita," kata Isabella.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini