Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"O Vos Omnes
Qui transitis...."
Wanita berbusana dan berkerudung serba biru itu naik ke bangku kecil. Di pinggir jalan, ia melafalkan sebuah lagu berbahasa Latin. Intonasi dan cara melafalkan kalimat-kalimatnya begitu liris. Sekitar 20 ribu penziarah, pengikut prosesi yang membawa lilin-lilin, berhenti. Suasana sunyi sekali.
Larantuka seolah terseret duka, padahal bulan purnama tengah mengambang di atas kota. Tak ada suara apa pun kecuali suara perih wanita itu, mengucapkan kata-kata di atas, yang berarti "Hai kamu sekalian yang sedang melintas jalan ini ...." Suaranya seolah menggema ke mana-mana.
Sembari bernyanyi, wanita itu perlahan-lahan membuka sebuah gulungan. Tampaklah gambar Ecce Homo, simbol wajah Kristus bermahkota berduri yang terukir dalam kain kafan. Wanita itu memutar tubuhnya, menghadap setiap arah pejalan prosesi. Tangannya menunjuk pada wajah sang Kristus, seolah ia menerangkan betapa menderitanya putra Maria itu. Lalu, ia kembali meratap.
"Attendite
Et videte si est dolor
Sicut dolor meus"
(Pandang dan lihatlah! Adakah kau lihat kesedihan yang sedang kualami?)
Selama lebih dari 400 tahun, Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, mempertahankan suatu prosesi Paskahmemperingati wafat dan kebangkitan Kristusyang unik. Suatu arak-arakan penuh campuran doa dan nyanyian berbahasa Latin dan Portugis. Wanita di atas menyimbolkan Veronika, seorang wanita Yerusalem yang dulu mengikuti penyaliban Yesus di Bukit Golgota. Tak dapat menahan emosi melihat penderitaan Yesus, Veronika menyeruak maju dari kerumunan manusia, mendorong para algojo dan dengan berani mengelap wajah Kristus yang tengah bercucuran darah. Syahdan, di atas kain itu langsung tercap wajah Kristus.
"Semana Santa" (bahasa Portugis, berarti Pekan Suci Paskah) seolah menenggelamkan Larantuka, sebuah kota kecil di tepi Laut Flores yang bergelombang, dalam suasana syahdu. Warga Larantuka menyebut minggu Paskah sebagai hari bae (hari baik). Penduduk di sini tak mengenal tradisi menggambar telur Paskahkebiasaan Eropa yang ditiru warga kota-kota besar seperti Jakarta. Warga Larantuka juga tak mengutamakan prosesi Paskah seperti di Filipina atau Brasil, yang mengarak "Yesus hidup" memanggul Salib.
Di Larantuka, yang ditonjolkan adalah prosesi pengarakan patung Maria Dolorosa (Maria Berdukacita) dan sebuah peti yang dianggap peti mati Kristus. Keduanya dipercaya keramat. Umat Katolik di Larantuka boleh disebut umat Katolik tertua di Indonesia. Portugis masuk ke sana pada tahun 1511. "Pada tahun 1665, Raja Ola Ado Balakemudian dipermandikan dengan nama Ola Ado Bala Diaz Vieyra Godinho, D.V.G.menyerahkan tongkat kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosary," tutur Don Martinus D.V.G., keturunan Ola Bala. Sejak itu warga Larantuka menganggap Maria sebagai pelindung utama kotanya.
Sebuah gambarMaria dengan cahayanya menaungi pegunungan di Larantuka dan pulau-pulau sekitarnyayang dimiliki sebagian besar penduduk mencerminkan hal itu. Warga Larantuka menyebut patung Maria Dolorosa dengan sebutan Tuan Ma. Sementara itu, peti mati Kristus dinamakan Tuan Ana. Keduanya tersimpan dalam Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana, yang berada pada satu ruas jalan dekat laut berjarak sekitar 1 kilometer. Kedua kapel mungil ini menjadi bagian paling dalam dari batin warga Larantuka. Bila, katakanlah, hendak mengadu nasib ke Jawa atau ke mana pun, mereka lebih dahulu berdoa di kapel, memohon keselamatan.
Patung Maria Dolorosa dan peti mati Tuan Ana hanya diperlihatkan sekali setahun pada saat Paskah. "Orang Larantuka pada masa Paskah seperti mudik di Jawa saat Lebaran," kata Dr. Philipus Tule S.V.D., antropolog lulusan The Australian National University yang menjadi Rektor Seminari Tinggi Filsafat Ledalero di Maumere. Terdapat banyak versi mistis bagaimana patung Tuan Ma dan peti mati Tuan Ana itu bisa sampai ke Larantuka. Ada yang mengatakan mengapung di laut, dari kapal milik para misionaris Portugis yang karam. Ada yang mengatakan dahulu penduduk menyaksikan seorang wanita berkulit putih tiba-tiba muncul di pantai, menulis dengan kulit kerang di tanah: "Reinha Rosary Maria", Maria sang Ratu. Dan kemudian patung itu ditemukan.
Kotak peti Tuan Ana bahkan tak pernah dibuka selama ratusan tahun. Warga percaya bahwa siapa pun yang membuka peti bakal mati. "Itu hal tabu. Secara tradisi, saya tak boleh membicarakannya," tutur Don Martinus. Namun, warga percaya kegaiban dua kapel beserta isinya. Misalnya longsor pada tahun 1979, yang terjadi dua minggu menjelang Paskah, yang mengakibatkan 163 warga mati. Saat itu seluruh kota hancur. Tapi Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana tetap berdiri tegak, meski bangunan di kanan-kiri rata dengan tanah.
Larantuka memang rentan terhadap longsor. Posisi geografisnya dijepit oleh bukit dan laut. Di bukit itu jarang tumbuh pohon-pohon besar sehingga, bila hujan lebat, curah air yang besar akan mendorong batu-batu meluncur ke bawah. Adanya kelurahan bernama Lohayongyang dalam bahasa setempat berarti "hanyut laut"menandakan sejak beratus-ratus tahun tragedi longsor sering terjadi. "Saat tahun 1979, batu-batu besar menggelinding dari bukit. Suaranya seperti 1.000 helikopter. Rumah-rumah yang dihantam tercabut utuh sampai ke laut," demikian kenangan Tonce Matutina, bekas camat Larantuka, penduduk Lohayong. "Saya punya sepupu. Badannya besar seperti Larry Holmes. Dia bersama anaknya mati terseret lumpur," Tonce menambahkan. Kala itu, orang ingat, saat Paskah tiba semua warga betul-betul menyerahkan diri total kepada Bunda Maria.
Khidmatnya Paskah kali ini tidak berkurang, kendati dua pekan sebelumnya longsor kembali menggerus kota kecil ini. Kekhusyukan suasana sudah terasa sejak hari Kamis Putih, yang jatuh pada tanggal 17 April. Para sesepuh memandikan patung Maria Dolorosaistilah orang sana dibikin muda kembali. Sepanjang hari para jemaah bersimpuh, meminta air bekas cucian. Di Larantuka dan desa-desa sekitarnya, penduduk bergotong-royong melakukan tikam turo, memasang kayu-kayu tempat lilin di rute-rute jalan prosesi. Kayu itu diikat dengan tulang daun lontar yang diambil dari hutan-hutan dekat Larantuka.
Pada sore hari, di Katedral Larantuka diperdengarkan lamentasinyanyian ratapan. Para anggota Konfreriakelompok kaum pria (mereka nonbiarawan) dalam jubah putih yang disebut opamelantunkan lagu-lagu dari ratapan Nabi Yeremias yang berduka melihat Yerusalem yang tak mau bertobat. Seorang anggota Konfreria melantunkan dengan nada sedih:
"...Jalan-jalan Sion diliputi dukacita, karena pengunjung perayaan tiada, sunyi senyaplah pintu gerbangnya, berkeluh-kesahlah imam-imamnya, bersedih-sedih dara-daranya, dan dia sendiri pilu hatinya..."
Lalu disambut kor bersama:
"Yerusalem, Yerusalem, berbaliklah kepada Allah Tuhanmu..."
Begitu lamentasi usai, di segala sudut kota terdengar teriakan "Trewa, trewa, trewa!" (berkabunglah, berkabunglahdari bahasa setempat). Orang-orang memukul benda apa saja, tiang listrik, kayu, atap seng, panci, dan kaleng, selama 15 menit. Inilah tanda Larantuka memasuki masa perenungan misteri kematian dan kebangkitan Kristus. Tak boleh ada bunyi apa pun, bahkan tidak pula lonceng gereja. Pada Kamis itu pulaselepas lamentasiwarga mulai luber di Kapel Tuan Ma untuk berduka bersama Maria Dolorosa.
Patung Maria Dolorosahampir setinggi orangmemang terkesan mistis. Tatapannya syahdu. Lengkung matanya seolah sembap karena air mata yang telah dingin. Ia ditakhtakan dalam mantel dan kerudung biru bersulamkan benang perak yang indah hingga hanya kelihatan wajahnya. Di halaman, ribuan orang berbaris tertib memanjang hingga ke tepi laut. Hingga subuh, satu per satu mereka bersimpuh, berjalan dengan menggunakan lutut, mencium kaki Maria. Selama lima menit, bergantian mereka melakukan promesapermohonannya.
Doa-doa bernuansa Portugal diselingi dengan doa Indonesia, yang dinyanyikan Mama Muji atau para mama pendoa di dalam kapel, makin mengekalkan suasana khidmat (lihat boks, Mama Muji). "Bunda Maria, Kota Reinha sudah menerima engkau sejak dulu sebagai pelindung.... Bawalah ujud permohonan kami ke Yesus." Inilah kepercayaan iman Katolik: per Mariam et Yesummelalui Maria datang kepada Yesus. Lalu ditembangkan doa-doa untuk keselamatan Larantuka: "Larantuka dalam susah, tiada putus harapnya, Larantuka, Larantuka, punya Reinha Maria. "
"Prosesi Maria ini memang bercampur dengan mitologi, tapi justru itu yang menciptakan perasaan keberagamaan masyarakat," tutur Uskup Larantuka, Fransiskus Kopong Kung, Pr., 52, tahun. Memang banyak hal yang sukar dimengerti. Misalnya, mengapa peti Tuan Ana tidak boleh dibuka. "Saya sendiri sebetulnya ingin peti itu dibuka, tapi saya menghormati, karena itu bagian dari tradisi panjang," tuturnya. Sang Uskup tak mengingkari bahwa karena devosinya, banyak umat mendapat "mukjizat-mukjizat" kecil. "Setahu saya prosesi Maria Dolorosa ini hanya satu-satunya di dunia."
Menurut dia, cara pewartaan misionaris Dominikanyang pertama kali masuk ke Larantukaamat mengasimilasi adat-istiadat lokal. Konfreria, misalnya, adalah serikat orang awam yang membantu misionaris Portugis. Mereka bukan pastor atau imam. Pembentukannya tercatat di dalam Conggregatio de Propaganda Fide, yang dibentuk Paus Gregorius XV pada tahun 1622. Konfreria dibentuk agar masyarakat Larantuka tak bergantung pada misionaris Portugis. Dalam sejarah terbukti, Konfreria bisa menanggung beban itu. Ketika misionaris Portugis meninggalkan Flores dan Pulau Timor pada tahun 1770-ansetelah kolonial Belanda yang penganut Calvinis mengambil alih Larantukapara anggota Konfreria berhasil mempertahankan prosesi Maria Dolorosa, yang masih terus berjalan sampai sekarang. "Organisasi ini kini satu-satunya di dunia," kata Uskup Kopong Kung.
Jumat Agung adalah inti prosesi. Pagi hari, warga mengarak Tuan Ma ke Kapel Tuan Ana, lalu keduanya "dipawaikan" menuju katedral. Pukul tujuh malam, dari halaman katedral sekitar 20 ribu jemaah telah mengular dengan lilin di tangan. Mereka siap menyusuri rute sepanjang kira-kira 7,5 kilometer. Semuanya mengenakan baju hitam, selendang hitam. Mama Rosaliano de Rosari, 79 tahun, umpamanya, berkebaya hitam dengan motif gambar Kitab Suci. "Baju ini sumbangan dari para dermawan di Jepang," bisiknya. Suasana mencekam. Gema doa antar-kelompok iringan penziarah seperti sahut-menyahut. Tak ada tawa dan celotehan.
Mengawali iringan, seseorang yang berjalan di depan menabuh genderang perkabungan yang disebut genda do dengan ritme tertentu. Bunyi ketukannya menimbulkan perasaan gamang. Lalu, anak-anak membawa salib hitam dan serai, dua lilin besar. Di belakangnya, rombongan yang membawa lukisan rangka manusia, gian de mortisimbol godaan setan sepanjang masadan tangan dayabu atau tangan setan. Disusul anak-anak yang membawa alat-alat penyengsara Yesus: krenti (rantai), krona spina (mahkota duri), tiga batang paku besar dan alat penusuk, tongkat dan bunga karang yang dipakai untuk mencelup cuka yang diminumkan kepada Kristus agar bisa mati dalam keadaan tak sadar, lembing yang merobek lambung Yesus. Lalu ada tempayan, lambang sikap kemunafikan Pontius Pilatus, wakil pemerintah Roma di Yerusalem yang menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi yang menyiksanya. Lalu ada tripleks berbentuk ayam: perlambang Petrus, murid Yesus yang sempat menyangkal Yesus setelah gurunya ditangkap.
Peti mati Tuan Ana beserta tatakannya dipikul oleh empat orang. Mereka memakai kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka ini adalah orang yang bernazar khusus. Sering kali orang dari luar daerah, termasuk Jakarta. Para pemikul peti ini tidak boleh diganti sampai prosesi selesai. Warga Larantuka menyebut orang-orang berkerucut itu lakademo. Itu lafal lokal untuk mengucapkan Nikodemus, seseorang yang menurunkan Yesus dari salib lalu memakamkannya di Bukit Golgota.
Di sepanjang rute prosesi terdapat delapan armida (dari bahasa Portugis, yang berarti kemah). Saban kali pemikul Tuan Ana berhenti di tiap armida, seluruh iring-iringan ikut berhenti. Armida ini melambangkan perhentian Jalan Salib, upacara yang mengenang perjalanan penderitaan Yesus ke puncak Golgota. Tradisi Kristiani mengenal 14 titik penderitaan Yesus. Tapi di Larantuka hanya ada delapan titik, menggambarkan perjalanan Kristus dari kelahiran hingga mati. "Ini salah satu keunikan asimilasi lokal. Delapan armida itu melambangkan delapan suku paling berpengaruh yang dulu memiliki rumah adat tempat penyimpanan patung suci atau korke," kata Philipus Tule S.V.D.
Di setiap armida itulah seorang wanita berkerudung bergaun biru melagukan Ovos yang menyayat. Setiap kali Ovos selesai, satu anggota Konfreria memutar alat dari kayu yang berbunyi krek-krek-krekmengimajinasikan seolah paku ditancapkan pada telapak Yesus. Tiap kali berhenti di armida, dilakukan pemberkatan salib. Lalu umat bersama-sama menyenandungkan lagu sesal tobat, "Misericordia Sinhor Dio, misericordia, misericordia" (Kasihanilah kami Tuhan Allah, kasihanilah kami), sembari bersimpuh di jalan.
"Saya menemukan catatan misionaris tahun 1800-an yang menuliskan bahwa dulu para jemaah tak hanya bersimpuh, tapi juga sampai mencium tanah. Tapi itu antara trance dan mabuk moke (tuak asli Larantuka)," kata Philipus Tule. Menurut Philipus, misionaris Portugis kemudian menghilangkan kebiasaan buruk itu. Usai bersimpuh, peserta berdiri kembali, berjalan meninggalkan armida. Para anggota Konfreria dan Mama Muji lalu menyanyikan kor dalam bahasa Latin, Popule Meus, dalam harmoni yang indah:
"Popule meus Quid Feci Tibi Aut in quo constristavite Responde mihi Qui eduxi te de terra Egypto Parasti crueem Salvatori Tuo"
(Wahai umat-Ku, apa salah-Ku padamu? Pernahkah Kusakiti hatimu? Jawablah Aku! Aku telah mengantar engkau Keluar dari tanah Mesir Tetapi engkau menyediakan salib Bagi penyelamatmu)
Di depan peti mati Tuan Ana, berjalan ibu-ibu berkerudung hitam membawa kain besar hitam yang diangkat di atas kepala mereka. Kain itu digelombang-gelombangkan. Mereka ini lambang para wanita Yerusalem, satu-satunya kaum yang berani menyatakan belasungkawa atas kematian Yesus. Di antaranya adalah Maria Magdalena, Maria Kleopas, Maria ibu Yakobussalah satu murid Yesus. Tak seorang algojo pun menahan karena terkesima melihat keberanian mereka, bahkan saat Maria Magdalena tersungkur memeluk salib Kristus.
"Ejus Domine
Ejus Salvastor noster"
(Oh Tuhan, Tuhan penyelamat kami.)
"Populi fakti sumus
Absque patre, matre nostre, quai fiduo"
(Kami sudah menjadi seperti orang tanpa ayah, tanpa ibu, laksana janda-janda.)
Demikianlah ratapan rombongan ibu yang menyimbolkan putri-putri Yerusalem. Gerakan-gerakan mereka tak terduga, menyerong, menyamping kanan-kiri, kadang membungkuskan seluruh tubuh mereka dengan kain hitam. Sepanjang prosesi di kanan-kiri jalan, tiap pintu rumah warga selalu terbuka. Di teras diletakkan meja kecil penuh bunga dengan patung Kristus dan Maria. Bahkan di atas rumah-rumah yang masih terbenam lumpur longsor, lilin-lilin menyala indah. Prosesi baru selesai pukul dua dini hari.
Pada Sabtu petang, dari Kapel Tuan Ma dilakukan prosesi "Maria Halelujah", Maria yang bersukacita setelah kebangkitan Kristus. Sebuah patung Maria kecil menggendong Yesus, berwarna keemasan, penuh taburan bunga, diarak. Namun pesertanya sedikit.
Meskipun esensinya bersukacita, tetap masih kental atmosfer duka. Mengapa orang Larantuka begitu suka dengan prosesi duka? "Karena itu cocok dengan penderitaan orang Larantuka yang berabad-abad," kata Dr. Paul Budi Kleden S.V.D. dari Seminari Tinggi Ledalero. "Sekarang pun banyak orang Larantuka menjadi buruh di Malaysia." Inti dari Paskah adalah harapan. "Masih ada kebangkitan. Kita jangan tenggelam dalam penderitaan," ujar Paul Budi S.V.D.
Harapan itu yang diyakini mereka yang ikut prosesi ini. Percaya atau tidak, ada banyak keajaiban. Seperti pengalaman Hartono, 68 tahun, seorang pengusaha bus dari Jakarta. Kepada TEMPO, dia mengaku penyakit jantungnya tak pernah kambuh lagi setelah tujuh kali berturut-turut mengikuti "Semana Santa". "Teman saya pernah berziarah di Lourdes, tapi di sini katanya lebih menggetarkan," ungkap Martinus Sachaira. Hartono malah menyebutkan Lourdes sudah amat turistik.
"Tahun 1977 saya datang ke Larantuka. Sejak itu, setiap bangun tidur, saya ingin sekali kembali ke Kapel Tuan Ma," kata Daniel, 53 tahun, penziarah asal Malang. Ia mengaku saban kali melihat wajah Maria Dolorosa dirinya selalu diliputi suasana misteri. Lain lagi pengalaman Sudibyo Adhi Nugroho, seorang kontraktor asal Jakarta. "Semula saya ingin berziarah ke Yerusalem, tapi teman-teman mengajak ke sini, dan saya merasa mendapatkan sesuatu yang kuat," katanya.
Memang, ada satu hal yang harus diakui dari prosesi Maria Dolorosa di Larantuka ini. Penghormatan kepada Maria, ibu Yesus, yang melibatkan puluhan ribu umat itu, adalah sebuah "ziarah rohani" yang khidmat, khusyuk, dan menakjubkan. Sebuah tradisi lama yang bahkan bisa menggetarkan mereka yang bukan Katolik sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo