Puluhan perahu tiba-tiba muncul di Laut Larantuka, Jumat pagi. Entah dari sudut mana sampan, speed boat, ketinting, perahu-perahu nelayan yang bersahaja itu mendadak "memadati laut" yang tadinya sepi. Bendera hitam dan merah-putih yang rata-rata ditancapkan di tiang badan perahu melambai-lambai. Semua bergerak satu arah menuju Pantai Kuce, Larantuka.
Tiap perahu terlihat penuh, berjubel oleh penumpang. Mereka sampai berjejer duduk di haluan, bahkan naik ke atap perahu. Beberapa feri cepat juga ikut. Dari atas kapal "Siti Nirmala", kapal feri cepat milik Kabupaten Flores Timur, misalnya, tampak puluhan suster bernyanyi dengan semangat: Ave Maria, ave Maria.
Semua perahu dan perahu motor itu mengikuti sebuah perahu bercadik kecil yang di Larantuka disebut "berok". Laut tenang. Air jernih. Tampak dalam berok itu hanya ada sekitar lima orang, termasuk pendayung. Motor-motor laut, kapal tempel yang banyak itu, sama sekali tak berani mendahului atau memotong laju berok tradisional tersebut. Di depan tak ada anak-anak berenang. Laut di depan berok juga tampak kosong, sepi dari kapal-kapal.
Di dalam berok itulah terdapat sebuah kotak yang dianggap sakral. Inilah prosesi laut pengantaran "Tuan Meninu". Lebih-kurang 5 kilometer arah timur Kota Larantuka, tepatnya di Kapel San Meninu di lingkungan Kota Rowido, San Juan, disemayamkan sebuah patung Yesus kecil. Peti Yesus saat kanak-kanak itulah kini yang berada dalam berok. Ini bagian dari prosesi "Semana Santa" (Minggu Suci Paskah) yang menarik.
Dari kapel, peti diangkat dengan iringan lagu Vergen Mei Deo Deo, yang dinyanyikan bapak-bapak Konfreria San Juan. "Dahulu, saat tidak pakai iringan nyanyian, kita melihat banyak ikan melompat mengikuti berok dari belakang," tutur Stefanus Dominggo da Silva, 45 tahun, warga San Juan, yang mengurus Kapel San Meninu.
Lalu, doa keselamatan.…
"…Engkau tahu Ya Bapa, hari ini kami semua bersama Putra-Mu Yesus yang tersalib akan berberok menuju Pantai Kuce. Di sanalah Putra-Mu akan diarak melalui jalan dan lorong menuju armida tempat Putra-Mu disembah, dipuji, dan dimuliakan."
"… Kami mohon Ya Bapa, utuslah para malaikat agung-Mu untuk mendampingi dan menuntun berok Tuhan kami dan rombongan Kherubim dan Serafim mengapiti semua sarana angkutan laut lainnya selama perjalanan kami."
Sampan Tuan Meninu, yang sekali setahun dikeluarkan dan khusus didayung oleh keluarga tertentu di San Juan secara turun-temurun itu, kemudian diapit oleh sampan pemandu dan sampan pengawal. Baru setelah sampan-sampan ini melaju diperbolehkan perahu umat dan perahu para penziarah meluncur.
Begitu sampai di Pantai Kuce, Larantuka, dengan hati-hati kotak peti Tuan Meninu diturunkan, kemudian diangkat dan diarak untuk ditaruh di armida kedua. Armida kedua melambangkan Yesus saat kanak-kanak yang dilewati oleh penziarah Jumat malam
Seperti patung Maria Dolorosa atau peti mati Tuan Ana, asal-usul patung San Meninu ini juga masih belum pasti. Cerita warga Rowido dahulu, di zaman Portugis berkuasa, ada seorang nelayan berulang-ulang bermimpi tentang orang yang tenggelam di laut. Lalu, ketika berlayar ia melihat terombang-ambing sebuah patung Kristus kanak-kanak.
Dalam bahasa Portugal, patung Yesus kanak-kanak disebut "menino"—dilafalkan orang Larantuka menjadi "meninu". Patung San Meninu ini menjadi pelindung umat lingkungan wilayah Rowido. Tiap Natal, patung San Meninu ini ditakhtakan untuk persembahan umat. Berduyun-duyun umat akan berdoa. Saat Paskah, yang dihantarkan menuju armida hanya kotaknya, yang berisi salib dan bunga. "Bunga itu tak akan layu walaupun kotak itu baru dibuka sekali setahun saat Paskah," ujar Stefanus Dominggo da Silva.
Adanya prosesi laut ini juga menjelaskan perihal asal-usul warga San Juan yang berbeda dengan warga Larantuka lain. Pada tahun 1658, Belanda, yang didukung warga Sadonara dan Solor, menyerang Larantuka. Masyarakat Pulau Sabu dan Pulau Raejua, yang letaknya di antara Pulau Timor dan Sumbawa—jauh sekali dari Larantuka—datang membantu.
Sebagai rasa terima kasih, Raja Larantuka memberi tempat tinggal kepada mereka. Orang-orang Pulau Sabu tinggal di daerah Kota Sau. Orang Raejua di daerah Rowindo. Semuanya kini masuk wilayah San Juan. "Untuk itulah prosesi laut, selain mengantar Tuan Meninu, juga mengenang perjuangan nenek moyang kami yang hebat menempuh laut menuju Larantuka," kata Rofinus Nara Kean, 65 tahun, Ketua Konfreria San Juan.
Pagi itu Kherubim dan Serafim, malaikat-malaikat kecil itu, bernyanyi riang, berziarah bersama sampan-sampan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini