Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANGDUT koplo lahir pada pertengahan 1990-an dan popularitasnya meledak seusai era Orde Baru Soeharto. Musik yang merupakan bagian dari genre dangdut itu lahir dan tumbuh di Jawa Timur, kemudian berkembang hingga merambah seantero Nusantara. Bahkan belakangan ini dangdut yang kerap diwarnai senggakan—vokal atau kata-kata yang menyela lagu—tersebut digandrungi banyak anak muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, di awal perjalanannya, dangdut koplo mendapati hambatan. Salah satu yang paling menghebohkan adalah kontroversi goyang ngebor Inul Daratista, dua dasawarsa lalu. Goyangan penyanyi asal Pasuruan, Jawa Timur, itu dinilai sangat vulgar, sensasional, dan porno. Saat itu raja dangdut Rhoma Irama menolaknya. Menurut dia, dangdut Inul dengan goyangannya bukanlah dangdut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya Rhoma Irama yang mengibarkan bendera penolakan. Para pemuka agama, koalisi organisasi kemasyarakatan Islam, Majelis Ulama Indonesia, dan sejumlah kalangan lain juga ramai-ramai menolaknya. Para ulama menganggap goyang ngebor Inul menurunkan moral bangsa.
Etnolog dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, memberikan komentar atas peristiwa yang menggegerkan jagat musik dangdut Indonesia tersebut. Dalam bukunya, Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, Weintraub menyebutkan peristiwa penolakan Inul itu tak lepas dari politik tubuh yang berkelindan dengan islamisasi dan sensor pasca-Orde Baru.
Weintraub menelusuri riwayat dangdut sebagai musik dan identitas orang Indonesia yang menjadi akar dangdut koplo. Sebelumnya, orang lebih mengenal dangdut sebagai orkes Melayu. Ia menyebutkan tiga titik perkembangan musik dangdut, dari Deli di Sumatera Utara, Jakarta, hingga Surabaya.
Menurut Weintraub, dangdut seperti wadah jenis musik yang bisa menerima semua genre, dari pop, rock, hiphop, hingga reggae. Pada mulanya dangdut juga terdiri atas banyak jenis, seperti dangdut klasik dan dangdut dengan sentuhan Mandarin dan daerah.
Pada 1930-an, lagu Melayu berkembang melalui medium radio dengan ragam orkes Melayu, orkes gambus, dan orkes harmonium. Weintraub menjelaskan, para penulis lagu Melayu di Jakarta pada sekitar 1953 membuat lagu yang diilhami musik India. “Mereka menambahkan gendang yang membrannya bisa ditekan untuk menghasilkan bunyi du’ut,” demikian Weintraub menulis di bukunya.
Pada 1960-an, pemakaian set gendang kecil—cikal bakal gendang dangdut populer—menggantikan gendang kapsul. Memasuki 1970-an, dangdut makin digemari rakyat. Saat itu para pedangdut, seperti Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, A. Rafiq, dan Ellya Khadam, tenar dan punya banyak penggemar.
Hingga pertengahan 1980-an, menurut Weintraub, dangdut mengisi pangsa pasar sebagai bentuk utama tari musik populer yang dibesarkan media massa menjadi musik nasional. Ia kemudian melahirkan aliran dangdut baru, seperti dangdut manis, dangdut pop, dangdut rock, dan dangdut Mandarin. “Termasuk penyanyi pop Titi Qadarsih dan penyanyi rock Achmad Albar pun ikut menyeberang ke dangdut,” tuturnya.
Pada 1990-an, pemerintah banyak mensponsori konser dangdut, yang meluas ke kalangan pejabat. Penyanyi dangdut marak di stasiun televisi dengan bayaran mahal. Hal ini tak lepas dari politik kebudayaan dan kebijakan pemerintah yang juga memperalat dangdut.
Seusai Orde Baru, musik dangdut kembali semarak dalam berbagai perspektif yang luar biasa. Popularitas Inul membuat banyak grup memanfaatkan gaya yang sama dengan penyanyi Pasuruan ini pada pertengahan 2000-an.
Grup-grup di sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, Probolinggo, dan Tuban, tampil di pentas langsung atau dalam rekaman video cakram padat (VCD). Mereka membawakan lagu-lagu berbahasa Jawa yang kemudian tenar di seluruh Nusantara.
Setiap grup punya gaya masing-masing, dari necis, berseragam jas, sampai musikus rock yang gondrong, bertindik, dan bertato. Para biduanitanya pun bernyanyi dengan beragam gaya, seperti Trio Macan yang sampai merangkak-rangkak, bertelanjang kaki, hingga melakukan headbang atau mengangguk-anggukkan kepala dengan keras mengikuti iringan musik.
Dari situlah orang mulai mengenal istilah dangdut koplo. Weintraub menjelaskan, istilah koplo mengacu pada gaya pementasan, irama gendang bertempo cepat, dan musik bernuansa metal yang mengiringi Trio Macan. Istilah koplo berasal dari pil koplo yang merupakan narkotik.
“Musik koplo dulu merupakan cara mengungkapkan perasaan teler tentang gaya tarian yang dianggap sebagai sesuatu yang ajaib,” ujar Weintraub. “Sejak itu dianggap artis koplo yang mempopulerkan koplo dengan gaya sensual, dianggap vulgar, gaya yang keterlaluan.”
Dangdut koplo muncul bersamaan dengan dangdut etnik atau daerah, saluang dangdut. Weintraub menyebutkan dangdut koplo pada dasarnya adalah musik dangdut dengan banyak warna. Para penyanyinya pun mengetahui repertoar dan gaya musik ini.
“Dangdut koplo bisa disebut sebagai musik dangdut yang baru populer. Sekarang hot karena banyak style dari luar, seperti pop Jawa. Menjadi musik mainstream,” ucap Weintraub kepada Tempo melalui aplikasi pertemuan virtual, Selasa, 5 Desember lalu.
Secara musik, dangdut koplo awalnya cenderung mengandung musik pop dengan drum seperti rock and roll dan dua keyboard sebagai alat musik elektrik. Alat lainnya sama seperti dangdut pada umumnya, seperti gitar, bas, gendang, dan tamborin.
Dangdut koplo, Weintraub menambahkan, bisa jadi menjadi perlawanan terhadap genre dangdut santun yang digariskan Rhoma Irama, juga aspirasi masyarakat, supaya artis baru juga ikut populer. Dangdut koplo adalah musik komersial. Untuk menjualnya, dibutuhkan sesuatu yang berbeda.
“Memang mereka ingin punya gaya yang lain, harus lebih cepat, gaya sensual. Tapi kalau masyarakat tidak suka, ya tidak akan diterima. Demikian juga kalau masyarakatnya tidak siap, tidak akan populer,” tuturnya.
Menurut Weintraub, artis dangdut koplo juga harus pintar melihat situasi. Mereka mempunyai kekuatan yang besar untuk membuat masyarakat menerima musik ini. Dangdut koplo pun bisa ditampilkan dalam gaya yang sopan.
Ihwal lirik, Weintraub menganalisis kebanyakan lagu dangdut koplo bertema cinta dan kehidupan serta memiliki unsur kemanusiaan. “Beragam jenis cinta, tanpa cinta tidak akan hidup,” ujarnya. “Lirik-liriknya yang membumi sangat dekat dengan keseharian. Liriknya bisa apa saja.”
Dengan lagu dangdut koplo, orang-orang memuaskan diri yang sehari-hari lelah, ingin menikmati waktu dan bermimpi. “Jangan lupa, musik itu seni, beda dengan kehidupan sehari-hari. Seni jadi dunia yang lain, harus ada tempat untuk imajinasi,” katanya. Mereka termasuk anak muda kini yang, menurut Weintraub, menggemari dangdut koplo karena bisa menikmati sesuatu yang instan.
Peneliti dangdut koplo, Michael H.B. Raditya, yang tengah menempuh studi doktoral di University of Melbourne, Australia, melihat ada perubahan signifikan atau transformasi dangdut koplo dalam 10 tahun terakhir. Perubahan itu tampak dari skala penyelenggaraan acara musik dangdut koplo yang masif, para agen dalam ekosistemnya, dan konteks yang berkelindan.
“Faktornya yang trendi, tak ingin ketinggalan, dan yang penting bisa joget,” ucapnya kepada Tempo melalui aplikasi pertemuan virtual, Rabu, 6 Desember lalu.
Ihwal persebarannya, tutur Michael, dangdut koplo tumbuh besar di Jawa Timur dengan ragam distribusi melalui pentas dan VCD yang bisa dinikmati hingga daerah pelosok. Kawasan pantai utara atau pantura menjadi penopang berkembangnya dangdut koplo di Jawa Timur.
Yang menarik, menurut Michael, dangdut koplo dipakai untuk merayakan siklus hidup dan peristiwa penting, dari perkawinan, kelahiran, kenaikan jabatan, hingga ulang tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Jawa Timur Menggoyang Nusantara"