Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni cetak grafis di tiga lantai gedung dengan subtema berbeda.
Pameran itu juga membentangkan arsip surat-surat dan dokumen pidato 1953.
Yang tertua adalah karya almarhum Y. Eka Suprihadi pada 1976, yakni seni cetak tempel.
SEBUAH gambar besar monokrom langsung menyambut pengunjung di gedung Galeri R.J. Katamsi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Senin, 9 Desember 2024. Begitu pintu kaca dibuka, tergambar sosok lelaki yang hanya berkancut membawa tombak meringis karena seekor orang utan mengoyak lengannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kaki orang utan itu menapak pada paha lelaki tersebut, sementara salah satu tangannya menahan batang tombak. Hal itu membuat empat laki-laki serupa yang berdiri tak jauh darinya di hutan belantara tersebut terpana. Tombak-tombak di tangan mereka pun mematung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kurator pameran, Febrian Adinata Hasibuan, menyebutkan itu adalah karya sketsa antropolog, biolog, sekaligus ilustrator asal Inggris, Alfred Russel Wallace, saat melakukan penelitian di Nusantara pada abad ke-19. Saat itu Wallace bertemu dengan masyarakat Dayak.
Gambar setinggi sekitar 2 meter itu mengawali kisah keberagaman praktik dan pengetahuan budaya cetak masyarakat Indonesia dalam Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024 bertema “Watak”.
Pameran yang berlangsung pada 7-20 Desember 2024 itu dibagi di tiga lantai gedung dengan subtema berbeda. Di lantai pertama, bertajuk “Ada dan Berlipat Ganda”, pameran menyuguhkan arsip sejarah seni cetak grafis di Indonesia dari era kolonial Belanda hingga Orde Baru dalam konteks propaganda.
Sketsa orangutan menggigit orang Dayak karya Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 dalam Festival Pameran Seni Cetak Grafis Trilogia 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Krack!, kolektif seni cetak grafis yang menggelar pameran itu, mengumpulkan arsip dari beragam sumber, seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, Indonesian Visual Art Archive, kolektor, dan aneka majalah. Mereka ingin menampilkan berbagai wujud cetak grafis yang mayoritas berperan sebagai media propaganda.
Pada masa pendudukan Jepang, misalnya, grafis yang dicetak dalam umbul-umbul digantung melingkar di langit-langit dan berputar. Hal itu mengingatkan pada mainan bayi yang digantung di langit-langit keranjang tidurnya. Umbul-umbul itu berisi gambar dan tulisan berbahasa Jepang yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Misalnya “Riyuku Sokyoku Oeroesan Angkoetan Darat” dan “Armada Nippon”.
Pada masa Orde Baru, mereka memotret propaganda pemerintah berupa kebijakan keluarga berencana (KB), empat sehat lima sempurna, hingga penanggulangan HIV/AIDS. “Propaganda bekerja di ruang-ruang privat, dari urusan perut hingga urusan ranjang,” kata kurator lain, Sita Magfira.
Kampanye Orba itu direpresentasikan dalam ruang seperti sebuah rumah yang di situ ada ruang keluarga dilengkapi televisi tabung mungil hitam-putih. Televisi itu menyiarkan berita berulang tentang pembangunan Pulau Buru untuk mendukung rencana pembangunan lima tahun. Mereka menghadirkan televisi karena sulit mendapatkan poster propaganda tiga kebijakan itu.
Di 'rumah' itu, ada tempat tidur dengan seprai bermotif lambang KB. Juga poster-poster keluarga di atasnya yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak. Ada pula meja makan lengkap dengan empat kursi. Poster-poster tentang ketahanan pangan tercetak pada piring dan pinggir taplak meja.
Di lantai pertama itu juga disajikan sejarah komunitas seniman cetak grafis yang meriung dalam Persatoean Tenaga Peloekis Indonesia (PTPI). Organisasi ini dibentuk dua bulan setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 10 Oktober 1945, oleh seniman Jayeng Asmara di bilangan Bintaran, Kota Yogyakarta.
Uniknya, menurut Febrian, bukan hanya seniman, masyarakat umum, anak sekolah, dan pemerintah juga menggerakkan PTPI lantaran keterbatasan material untuk membuat poster. Ada sejumlah foto yang menggambarkan proses pembuatan karya pada masa itu, termasuk penggunaan alat seperti penyemprot nyamuk. “Dalam sehari bisa 500-1.000 poster dihasilkan,” ucap Febrian.
Karya perupa Y. Eka Suprihadi, berjudul Ayam Jantan (kiri) dan Radish dalam Festival Pameran Seni Cetak Grafis Trilogia 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Sayangnya, saat terjadi Agresi Militer II Belanda pada 1948 dan pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, banyak karya poster hilang ataupun dirampas. Sebab, isi poster-poster itu cenderung berupa propaganda yang menggaungkan semangat revolusioner. “Kami dapat versi lengkapnya dari kolega yang menyimpannya,” kata Febrian sembari menunjuk album bersampul serba hitam berjudul "Kami Berdjuang dengan Poster"
Dalam album itu, propaganda karya PTPI terbagi menjadi setidaknya empat kelompok. Ada poster, karikatur berukuran besar dan kecil, klise, dan poster sorot. Di kategori keempat, mereka menemukan kisah seseorang yang berperan sebagai dalang memainkan gambar-gambar dengan bantuan cahaya lampu. Ceritanya lucu-lucu, tapi revolusioner. “Wah, poster jadi pertunjukan, nih. Ini kan dua medium yang berlintasan (pada masa itu),” ujar Febrian, yang mengaku takjub.
Dalam pameran itu juga dibentangkan arsip-arsip surat dan dokumen pidato bertahun 1953 di dalam meja etalase. Melalui arsip itu diketahui PTPI adalah panitia pembentukan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang menjadi cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pada awal berdirinya ASRI, Jayeng menjadi wakil direktur di bawah Katamsi selaku direktur pertama.
Di lantai kedua, pameran mengusung tajuk “Artist Proof”. Di sana dipajang berbagai karya seni kontemporer yang pernah dipamerkan. Ada karya 17 seniman, antara lain Alfin Agnuba, Aurora Arazzi, Trio Muharam, Irwan Ahmett, Tita Salina, F.X. Harsono, dan Samantha Tio.
Menurut kurator dari Ace House Collective, Gintani Swastika, dalam kerangka kuratorial, karya-karya tersebut dipamerkan lagi dalam konteks zamannya hingga kini. Seniman masih membuat karya cetak grafis dengan memperluas medium serta eksplorasinya dengan beragam ciptaan, prinsip kerja, dan capaiannya.
Poster-poster propaganda masa kemerdekaan dalam album "Kami Berdjuang dengan Poster". Tempo/Pito Agustin Rudiana
Yang tertua adalah karya (almarhum) Y. Eka Suprihadi pada 1976, yakni seni cetak tempel. Eka menggunakan material kain-kain berpori yang dibentuk bertumpuk dengan teknik kolase. Dalam karya berjudul Purnama Penuh, misalnya, kain-kain berpori warna putih itu ditempel pada kertas membentuk bulatan penuh sebagai rembulan.
Eka juga menggunakan material kain kasa berupa perban untuk membuat tekstur obyek secara kolase. Hal ini tergambar dalam karya berjudul Ayam Jantan dan Radish yang dibuat pada 1990 dan 1992. Tampak lubang-lubang kotak pada kain kasa terlihat jelas. “Di masa itu, seni grafis masih dianggap karya seni kelas dua setelah melukis,” tutur Gintani.
Ada pula karya Nunung Nurdjanti, istri Eka. Karya grafis pensiunan dosen ISI Yogyakarta berjudul White on White itu pernah disajikan dalam pameran seni patung kontemporer di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 1978. Penempatan karya grafis itu di antara karya-karya seni patung membuatnya unik. Karya itu serupa cetak sablon yang memunculkan tekstur timbul seperti relief dengan satu warna, yakni putih, dan membentuk tiga obyek dalam tiga panel, yaitu bunga tulip, ikan, serta daun.
“Ini aneh, grafis satu warna. Kenapa Bu Nunung menghilangkan warna? Menurut saya, agar kita bisa melihat bayangan ketebalan reliefnya,” ujar Uji “Hahan” Handoko, kurator sekaligus murid Nunung.
Keunikan lain, karya itu merupakan eksplorasi cetak saring yang dibuat manual. Karena keterbatasan material pada masa itu, Nunung membuatnya dengan bahan kain yang biasa digunakan untuk membatik. Kain tersebut berulang kali diberi tinta dan dikeringkan hingga memunculkan tekstur dengan ketebalan tertentu.
Di lantai itu, pengunjung juga bisa menikmati karya perupa Tisna Sanjaya yang pernah dipamerkan pada 2022 berjudul Football Print: Art & Football Peace. Karya itu berada di ruangan tersendiri. Tisna tak hadir dalam pembukaan pameran. Dua perupa Afganistan, Amin Taasha dan Mumtaz Khan Chopan, berkolaborasi “mencetak gol” pada lembaran kanvas yang dipajang di dinding.
Dua perupa Afganistan, Amin Taasha dan Mumtaz Khan Chopan berkolaborasi dalam karya cetak grafis berjudul “Football Print: Art & Football Peace”. Foto: Farhan Rizki/Festival Pameran Seni Cetak Grafis Trilogia 2024.
Bola sepak dalam karya itu lebih dulu diberi stempel batas-batas negara yang bisa dibubuhkan pada paspor. Lalu bola itu dilumuri lumpur yang dibubuhi pewarna biru berbahan organik dan kuning dari kunyit. Hal ini menjadi penanda bahwa keduanya adalah pencinta konsep kelestarian lingkungan berkelanjutan dan ketahanan pangan. Kemudian bola itu ditendangkan ke arah kanvas sehingga mencetak pola-pola tertentu. Tampak dinding ruang pamer berlepotan dengan jejak lumpur itu.
“Bicara perdamaian dunia, saat konflik global, semua negara bisa merayakan bersama lewat pertandingan bola. Medium ini dinilai tepat,” tutur Gintani, membeberkan ide Tisna.
Pameran di lantai ketiga yang bertajuk “Cetak Aksi: Dari Kamar Gelap ke Lapak Terang” menyajikan budaya cetak pada benda-benda keseharian yang digunakan sebagai sekadar hobi hingga keinginan konsumtif. Ada cetakan merek pada aneka kotak wadah rokok zaman baheula. Ada pula gambar poster film zaman dulu dan sebagainya.
Direktur Seni Cetak Grafis Sukma Smita menyebutkan, “Kami ingin merayakan seni cetak grafis tidak hanya dalam ranah seni rupa kontemporer, tapi juga yang berlangsung dalam praktik keseharian. Mengingat seni cetak grafis ada di sekitar kita.” ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wajah Cetak Grafis dari Masa ke Masa"