Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDUSTRI farmasi bergejolak saat Kementerian Kesehatan menahan penjualan obat sirop pada 18 Oktober lalu. Obat sirop diduga menjadi penyebab lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak sepanjang tahun ini. Dua hari kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan merilis lima obat yang diduga mengandung etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil eter (EGBE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi menyatakan keputusan Kementerian Kesehatan dan BPOM itu berpengaruh besar pada industri farmasi. Mengklaim tidak menginginkan adanya korban berjatuhan, Elfiano meminta obat-obat yang tidak mengandung senyawa tersebut bisa tetap diedarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada wartawan Tempo, Hussein Abri Dongoran dan Egi Adyatama, di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, pada Kamis, 27 Oktober lalu, Elfiano memberi penjelasan tentang kondisi yang dialami berbagai perusahaan farmasi.
Bagaimana dampak imbauan Kementerian Kesehatan pada industri farmasi?
Dampaknya luar biasa di dalam negeri, terutama pada penjualan. Ada 2.393 obat sirop beredar di pasar. Tapi kami tidak memprioritaskan dampak ekonomi, melainkan akses masyarakat terhadap obat sirop cair. Banyak yang non-balita membutuhkan obat cair.
Berapa kerugiannya?
Kami belum mengumpulkan datanya. Tapi penjualan obat sirop bisa Rp 5 triliun setahun, belum termasuk ekspor. Yang paling banyak adalah obat batuk sirop dan penurun panas sirop.
Seperti apa dampak imbauan itu di lapangan?
Setelah 18 Oktober, industri, apotek, toko obat kalang-kabut. Ribut semua. Ada apotek yang digerebek polisi, bahkan sampai tengah malam. Semua grup ramai. Ini damage-nya luar biasa. Kalau tak cepat ditangani, bisa jadi snowball. Makin besar, lama-lama tak terkontrol. Makanya saya sangat berharap ada satuan tugas supaya bisa terkoordinasi komunikasinya.
Industri farmasi ingin kebijakan itu segera ditarik?
Kami sepakat bahwa imbauan menahan sementara penjualan obat sirop agar tak menambah kematian anak balita akibat gagal ginjal. Tapi kami juga minta agar obat yang diprioritaskan ditahan hanya yang mengerucut ke arah sana (mengandung senyawa berbahaya) sampai kausalitas gagal ginjal diketahui. Sisanya bisa dilepaskan kembali.
Apa yang dilakukan industri farmasi supaya Kementerian mencabut imbauan itu?
Kami terkejut, kok ada edaran yang menyatakan penghentian sementara penjualan obat cair dan sirop di semua apotek. Anggota kami dari hulu sampai ke retail market tidak dilibatkan dalam kasus ini. Kami minta audiensi dengan Kemenkes untuk menanyakan kenapa sampai seperti itu. Audiensi itu juga untuk klarifikasi, apa yang diharapkan oleh pemerintah. Industri farmasi tak ingin obat menjadikan orang mati. Kami ingin menghasilkan obat berkhasiat, bermutu, dan aman.
Dalam kondisi banyak anak balita menjadi korban, bagaimana industri farmasi memastikan keamanan obat?
Dalam produksi obat ada CPOB (cara pembuatan obat yang baik). Sertifikatnya dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sangat tidak mudah mendapatkan sertifikat itu, belum tentu enam bulan keluar. Tanpa sertifikat itu kami tidak bisa produksi obat.
Nyatanya, ada yang sudah mendapatkan sertifikat tapi diduga menyebabkan gagal ginjal akut.
Kalau ada perusahaan farmasi yang bandel, dihukum saja. Kekosongan bahan baku tidak bisa menjadi alasan untuk menggunakan EG dan DEG. Kan, sudah dilarang. Pertanyaannya, ada 188 industri memproduksi obat sirop dan cair. Apakah 188 itu melakukan semua atau hanya satu-dua? Ini melanggar aturan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia, yang melarang pelarut EG dan DEG.
Wawancara Menteri Kesehatan: Kami Salah karena Tak Tahu Penyebab Gagal Ginjal Akut
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo