Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI balik kaca, Eva Nurmala menyaksikan Nasifa dikepung tim dokter Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam, Kepulauan Riau, Sabtu dinihari, 1 Oktober lalu. Beberapa saat sebelumnya, perawat memberi tahu Eva bahwa kondisi putrinya yang mengalami gagal ginjal akut kritis. “Dada anak saya sudah dipompa dokter,” kata Eva menceritakan peristiwa tersebut, Kamis, 27 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Nasifa, yang berusia 2 tahun 7 bulan, telah dirawat hampir sepekan di ruang perawatan intensif khusus anak. Ia menjadi satu dari tujuh pasien gagal ginjal akut yang terdata di Dinas Kesehatan Kepulauan Riau. Hanya Nasifa yang bertahan. Enam anak lain telah meninggal. Hari itu dokter berhasil menyelamatkan putri Eva tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Kamis, 27 Oktober lalu, jumlah pasien gagal ginjal akut mencapai 269 anak yang berasal dari 27 provinsi. Kementerian Kesehatan mencatat 157 orang di antaranya meninggal. Artinya tingkat kematian kasus gagal ginjal pada anak ini mencapai 58,4 persen.
Menurut Eva, anaknya mengalami demam tinggi pada pertengahan September lalu. Sempat minum parasetamol tablet, Nasifa malah terserang batuk dan pilek. Eva lantas membawa anaknya ke bidan, yang memberikan obat batuk dan antibiotik. Keduanya berupa sirop.
Eva menyuapkan obat sirop dari bidan itu bersama obat tuberkulosis berwujud tablet dan dua sirop lain sebagai penambah darah. Nasifa telah mengkonsumsi obat tuberkulosis dan penambah darah—untuk membantu perkembangan motoriknya—selama sepuluh bulan. Namun, setelah minum obat sirop dari bidan itu, Nasifa jadi sering muntah.
Sehari setelah minum obat tersebut, Nasifa tak lagi kencing. Badannya membengkak. Ronald Chandra, dokter spesialis anak yang menangani Nasifa, mengatakan anak balita itu mengalami gangguan pernapasan karena racun menumpuk di tubuh lantaran tak bisa berkemih.
Ronald pun memutuskan bahwa Nasifa harus menjalani cuci darah setiap hari sejak dua pekan lalu. “Kaki dan tangan Nasifa sudah bisa digerakkan,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Riau Mohammad Bisri mengatakan pasien gagal ginjal anak seperti Nasifa seharusnya dirujuk ke Pekanbaru atau Jakarta untuk mendapatkan perawatan. Sebab, rumah sakit daerah tak memiliki peralatan medis yang mumpuni dan dokter ahli ginjal.
Tak mudah bagi Eva untuk mengantar Nasifa berobat ke Ibu Kota. Perempuan 34 tahun itu menghitung ongkos yang dibutuhkan sedikitnya Rp 45 juta untuk membayar penginapan, alat medis, dan jasa perawat yang diboyong dari Batam. Biaya itu berat bagi Eva dan suaminya, Lamhari, yang berprofesi petugas sekuriti. “Kami tak sanggup,” ucap Eva.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Dzuhairi Rizky Nuryanto, anak balita sebelas bulan, mengalami diare dan kakinya kaku setelah meneguk vitamin dan parasetamol sirop dari Rumah Sakit Umum Daerah Prambanan. Sebelumnya, pada pertengahan September lalu, putra Mariani, warga Piyungan, Kabupaten Bantul, itu meminum obat batuk yang diperoleh dari pusat kesehatan masyarakat setempat.
“Anak saya sempat kejang dan pingsan ketika dibawa ke puskesmas terdekat,” kata Mariani.
Rizky kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito. Tubuhnya mulai membengkak karena ia tak bisa kencing. Dokter memasang kateter di leher anak balita itu untuk memasukkan obat-obatan. Menjalani beberapa kali transfusi darah, Rizky akhirnya berpulang pada Sabtu, 24 September lalu.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Agus Budi Raharja menyatakan telah menerjunkan tim surveilans untuk menyelidiki kasus gagal ginjal akut pada anak. Di wilayah itu tercatat dua anak mengidap gagal ginjal akut. Semuanya meninggal. Adapun sejak Agustus lalu RSUP Dr Sardjito telah merawat 13 anak penderita gagal ginjal akut, 7 di antaranya tak sanggup bertahan.
Menurut Agus, petugas awalnya kesulitan mendeteksi jenis obat yang dikonsumsi pasien. Orang tua korban sudah membuang botol sirop lantaran mereka mengalami trauma. Tim surveilans akhirnya mendatangi pusat kesehatan masyarakat yang meresepkan obat kepada orang tua Rizky. Menemukan obat tersebut, tim mendata nomor batch produksi.
“Kami sedang mencocokkan nomor itu dengan data yang dirilis Badan Pengawas Obat dan Makanan,” tutur Agus.
Wawancara Menteri Kesehatan: Kami Salah karena Tak Tahu Penyebab Gagal Ginjal Akut
Muhammad Faizal, warga Bandar Lampung, juga tercatat sebagai salah satu anak penderita gagal ginjal akut. Pendi, ayah Faizal, mengungkapkan putranya mengkonsumsi parasetamol sirop pada Rabu, 19 Oktober lalu. Setelah itu, badannya kejang dan matanya membelalak.
Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, 21 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Ampelsa/hp.
Hari itu juga Faizal langsung dirawat di ruang perawatan intensif pediatri di RSUD Dr Abdul Moeloek. Namun nyawanya tak tertolong pada Sabtu, 22 Oktober lalu. Direktur RSUD Dr Abdul Moeloek, Lukman Pura, mengatakan Faizal memiliki riwayat penurunan produksi air seni. “Perlu ada penyelidikan epidemiologi untuk memastikan penyebabnya,” katanya.
Lukman mengatakan rumah sakit itu telah menggerakkan tim surveilans dan menyiapkan bangsal khusus bagi pasien anak. Namun alat hemodialisis khusus anak baru dimiliki 14 rumah sakit rujukan di Indonesia. RSUD Dr Abdul Moeloek tidak termasuk fasilitas kesehatan rujukan pasien gagal ginjal akut.
Gagal ginjal akut juga membuat Yanti Oktaviani, 32 tahun, kehilangan anaknya, Komang Dyra Bulan Kayana, pada 17 September lalu. Urine Komang tak lagi mengalir setelah ia meneguk sirop penurun demam. “Dokter menyatakan ada penurunan fungsi ginjal,” ujar Yanti.
Komang menjalani cuci darah di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar. Yanti bercerita, anaknya menempuh hemodialisis melalui perut. Sebab, jarum pada alat cuci darah biasa terlampau besar untuk bayi 14 bulan. Prosedur itu sempat membuat Komang bisa kembali pipis. Namun ia tiba-tiba mengalami penurunan kadar hemoglobin hingga dinyatakan meninggal.
Baca Opini Tempo: Gagal Ginjal dan Kegagalan Negara Melindungi Anak
Fasilitas kesehatan di Jakarta pun kelimpungan merawat pasien gagal ginjal akut. Salah satunya Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Sejak Januari hingga 20 Oktober lalu, rumah sakit rujukan kasus gagal ginjal ini telah menangani 49 anak, 31 di antaranya meninggal.
Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastuti mengatakan rumah sakitnya menambah kapasitas di ruang perawatan intensif khusus anak sejak September lalu. Perawatan dan alat penanganan gagal ginjal akut pada anak juga berbeda. RSCM menyiapkan tim yang terdiri atas dokter spesialis anak dan nefrologi.
Lies menyatakan proses cuci darah pada anak yang terkena gagal ginjal akut berbeda dengan orang dewasa. Harus ada peralatan khusus dan tak semua rumah sakit memilikinya. “Alat dan dokter kami lengkap,” tuturnya.
EGI ADYATAMA (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MADE ARGAWA (BALI), YOGI EKA (BATAM), HENDY SIHALOHO (LAMPUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo