Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsumsi energi bersih di Indonesia memperlihatkan tren kenaikan. Data yang dipaparkan SKK Migas pada 3 Agustus 2024, menunjukkan pemanfaatan gas dan renewable energy secara perlahan melesat pada 2020 yang tercatat sebesar 14 persen, dan diharapkan terus naik sampai 2030 sebesar 26 persen dan 31 persen pada tahun 2050.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Analis Senior Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Jabanusa, Dimas A. Rudy Pear, menjelaskan konsumsi gas diproyeksi naik 298 persen dibanding konsumsi minyak yang diprediksi naik 139 persen pada 2050.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pascasarjana Universitas Mulawarman, Ndan Imang, merespons positif atas naiknya konsumsi energi bersih atau energi terbarukan di Indonesia. Menurutnya, kenaikan ini diantaranya didorong faktor produsen dan suplier yang semakin banyak, misalnya solar cell (fotovoltaik) yang semakin mudah dibeli dan harganya terjangkau.
Bukan hanya itu, energi bersih juga sudah menjadi bagian dari program pemerintah pusat, termasuk pemerintah kabupaten. Diantaranya membuat pembangkit listrik komunal dari solar cell untuk masyarakat desa yang belum terjangkau oleh PLN.
Dekan Fakultas Bisnis LSPR Institute Communication and Business Yuliana Riana Prasetyawati senada dengan pandangan Ndan. Selain itu, dia juga menilai faktor pemicu naiknya konsumsi energi baru terbarukan atau renewable energy adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. "Masyarakat juga secara perlahan dan pasti mulai berpindah dari penggunaan energi fosil ke energi bersih."
Low carbon initiative
Bicara soal energi bersih, Dimas menyebut SKK Migas tengah berupaya mengubah pandangan publik yang biasa mengidentikan SKK Migas dengan energi kotor dan kerusakan lingkungan, pada kontribusi SKK Migas dalam menjaga lingkungan dengan menerbitkan kebijakan low carbon initiative. Inisiatif ini diantaranya dengan melakukan flairing reduction initiative yakni bagaimana SKK Migas mengurangi atau menuju pada zero flaring supaya gas yang dikeluarkan bukan lagi di-flare tetapi dipindahkan menjadi on-use atau proses optimalisasi.
“Kami juga menghitung carbon emission yang diantaranya dengan menetapkan target carbon capture. Untuk saat ini, kami masih fokus pada hasil perkiraan jika kami melakukan penanaman pohon. Ini menjadi salah satu inisiatif kami pada 2024,” kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi D. Suryodipuro dalam wawancara dengan Tempo, 7 Agustus 2024.
Disebutkan Hudi, pihaknya juga melakukan inisiatif managemen energi terkait konservasi energi atau fuel conservation. Salah satunya solar panel, yang diantaranya ada di Rokan, Provinsi Riau, yang diresmikan pada Mei 2024. Di sana, ada fotovoltaik yakni teknologi yang mengubah energi matahari menjadi listrik secara langsung.
Adapun untuk low carbon initiative long term, kontribusi hulu migas diantaranya menutup carbon melalui penanaman pohon. Untuk penanaman pohon ini ada banyak macamnya yakni ada bagian dari program pengembangan masyarakat (PPM) dan bagian dari rehabilitasi DAS (daerah aliran sungai). “Tetapi intinya, itu semua bagian dari program penghijauan yang dilakukan oleh industri hulu migas,” ujar Hudi.
Dalam tiga tahun terakhir, SKK Migas mencatat sudah menanam di atas satu juta pohon pertahun. Yakni pada 2021 ditanam 1.2 juta pohon, pada 2022 sebanyak 1.7 juta pohon yang ditanam, dan pada 2023 ada 2.2 juta pohon. Sedangkan pada 2024, ditargetkan di atas 2 juta pohon.
Sampai 30 Juni 2024, SKK Migas sudah menanam 455 ribu pohon atau sekitar 28,5 persen dari target awal 1.6 juta pohon. Penanaman pohon ini, diharapkan berpotensi terhadap penyerapan emisi sekitar 885,4 ribu ton.
Infog Aksi Tanam Pohon SKKMigas di Bawah Program Low Carbon Initiative
Setiap perusahaan memiliki tata cara sendiri untuk menghitung berapa carbon reduction yang sudah mereka lakukan. Begitu pula SKK Migas, di mana KKKS mengumpulkan datanya dan SKK Migas memvalidasi tata cara penghitungannya. Jika bicara hitungan secara kasar, pada 2024 diharapkan ada 300 ribu ton carbon reduction untuk Co2.
Bentuk konsistensi dari SKK Migas dan KKKS dalam melaksanakan Renstra IOG 4.0, salah satu targetnya adalah lingkungan berkelanjutan.
Selanjutnya baca: Tantangan penanaman pohon
Dalam wawancara dengan Tempo, Hudi mengakui, financial institution selalu mencari ‘green’ pada saat mereka mengucurkan investasi. Salah satunya adalah pengembangan oil and gas yang bisa dijual bahwa pengembangan ini juga meng-capture carbon.
Sedangkan menyoroti masalah Co2 sequestration, saat ini sudah ada empat proyek yang disetujui pengembangannya dengan ada-atau-tidak-adanya CCS (capture carbon) atau pun CCUS package-nya (menginjeksi karbonnya kembali untuk kepentingan produksi). Pertama adalah Ubadari Carbon Capture project milik BP atau bagian dari BP tanggung expansion project. Kedua adalah proyek abadi Masela yang setelah disetujui revisinya, maka salah satu tambahannya adalah penambahan skema CCS. Terakhir, sakakemang repsol yang proyek CCS-nya sudah disetujui.
“Secara keseluruhan kira-kira itu upaya-upaya yang dilakukan Hulu Migas despite being of fossil based atau carbon based industry, kami juga memastikan apa yang kami generate, tetap kami capture juga,” kata Hudi.
Jika dilihat, misalnya dari seluruh upaya yang sudah dilakukan, maka yang paling mudah adalah penanaman pohon. Hanya saja, tantangannya adalah kesiapan bibit dan ketersediaan lahan di area yang bukan DAS.
“Kami (SKK Migas) dianggap memproduksi energi kotor. Kami ingin tegaskan ini bukan sekadar bicara energi kotor atau green energy namun kami melakukan berbagai upaya untuk memastikan carbon yang kami lepaskan ini kami capture atau kami kurangi potensi yang kami keluarkan,” kata Hudi.
SKK migas juga mendorong agar pipa Cisem dan pipa Dumai Sei-mengkei bisa terhubung supaya gas yang ada di Jawa Timur bisa terkoneksi sampai ke atas. Pasalnya, Jawa barat mengalami defisit gas, sedangkan Jawa Timur surplus sehingga ada beberapa project yang akhirnya stranded (tidak bisa diproduksikan). Gas tidak sama dengan minyak karena gas harus sudah ada pembeli - baru produsen memproduksinya.
Keberadaan hulu migas tetap akan memberikan impact positif terhadap perekonomian Indonesia. Saat yang sama, green energy atau energi bersih harus terus dikembangkan. Untuk menuju green energy ini, dibutuhkan transisi, yang mana transisinya ini adalah gas .
Sementara itu, Rere Christanto Kepala Divisi Kampanye Walhi menilai ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau menghalangi penggunaan energi bersih (EBT). Pertama secara politik, jika ada jaminan berupa regulasi yang berpihak pada pengembang energi bersih, maka ada kepastian hukum bagi mereka sehingga mendorong pengembang energi bersih lebih yakin akan investasinya.
Kedua, secara ekonomi, jika pertumbuhan ekonomi negara meningkat, ditambah adanya dukungan insentif harga bagi pengembang energi bersih, maka akan lebih banyak investasi disektor itu.
Ketiga dari sisi teknologi, saat inovasi teknologi energi bersih bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta mampu menekan biaya produksi, maka energi bersih akan punya nilai tawar lebih baik dibanding energi fosil. Terakhir secara sosial, jika kesadaran publik akan pentingnya energi bersih bagi lingkungan dan kehidupan sudah menguat, maka akan ada lebih banyak dukungan untuk pengembangan energi bersih.