Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tanaman Hias Pelepas Kebosanan

Hobi merawat tanaman hias tak hanya untuk mempercantik beranda rumah atau ruang tamu.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Ilustrasi hobi tanaman hias. Pexels/Cottonbro
Perbesar
Ilustrasi hobi tanaman hias. Pexels/Cottonbro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hobi merawat tanaman hias tak hanya untuk mempercantik beranda rumah atau ruang tamu. Bagi mereka yang melakoninya, melihat tanaman-tanaman kesayangan tumbuh dengan subur dan sehat jadi semacam capaian yang memuaskan batin. Kehadiran tanaman dengan dedaunan beraneka warna dan corak pun itu jadi hiburan tersendiri di kala tubuh tak bebas bepergian akibat pandemi virus corona.


Banyak orang mengira merawat tanaman hias membutuhkan keahlian khusus dan perhatian lebih. Akibatnya, mereka ragu menjalani hobi ini karena takut gagal. Hal itulah yang sempat dipikirkan Ayu Kartika Dewi saat mendapatkan dua pot berisi tanaman hias dari seorang temannya, beberapa waktu lalu. “Dulu saya mengira enggak akan bisa mengurus tanaman,” kata anggota Staf Khusus Milenial Presiden RI itu, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Namun rupanya dua pot tanaman hias itu mampu bertahan hidup dan bahkan tumbuh makin besar. Perempuan yang sebetulnya punya hobi membaca dan bermain musik itu pun jadi tertarik merawat tanaman hias. Apalagi, saat pandemi Covid-19 terjadi, Ayu lebih sering beraktivitas di kediamannya. Ia pun terpikir untuk menambah koleksi tanaman hiasnya. “Pada awal masa pandemi, saya mulai membeli tanaman sedikit demi sedikit, eh, lama-lama ketagihan dan koleksi saya jadi makin banyak.” Kini jumlah tanaman hias yang dimiliki Ayu di apartemennya mencapai belasan pot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebagian koleksi tanaman hias itu ia didapatkan dari pemberian rekan-rekannya. Sebagian lagi ia beli dari toko daring. Ayu mengaku tak keluar banyak uang untuk membeli koleksi tanamannya itu. “Rata-rata harganya di bawah Rp 75 ribu.” Tanaman hias termahal yang pernah Ayu beli adalah “karet kebo”, yang satu potnya seharga Rp 160 ribu. Ia juga mengaku beruntung punya tanaman monstera karena ternyata kini harganya semakin mahal. Tanaman itu sedang nge-tren dan banyak dicari orang. “Dulu saya mendapat monstera dari teman.”

Hobi baru Ayu itu pun kerap ia bagikan di media sosial pribadinya. Sejumlah foto dan video memperlihatkan Ayu tengah beraktivitas di sudut apartemennya, yang dipenuhi tumbuhan hijau nan subur. Koleksinya bermacam-macam, dari aglaonema, janda bolong (Monstera adansonii), kalatea (calathea), lidah mertua (sansavieria), hingga aneka jenis sukulen dan bunga-bungaan berwarna-warni.

Meski punya bentuk dan warna berbeda-beda, semua tanaman itu tampak serasi. Sebab, Ayu menempatkan tanaman itu dalam pot plastik warna putih yang seragam. Sebagian ia letakkan di lantai, dan sebagian lagi dia simpan di atas rak besi bertingkat.

Pojokan tempat koleksi tanamannya itu pun menjadi spot favorit Ayu di kediamannya. Di akun Instagram-nya, perempuan berusia 37 tahun itu juga terlihat sering beraktivitas di tempat tersebut. Dari berolahraga, yoga, membaca buku, bekerja, melakukan konferensi jarak jauh, sampai membuat konten untuk media sosialnya. Dalam satu unggahan di akun Instagram-nya, Ayu bercerita, di lokasi itu ia sering duduk di lantai untuk bekerja. “Pakai meja laptop yang bisa diatur tingginya supaya ergonomis. Kalau perlu nyalain video agar tampak lebih resmi, saya pakai kursi dari tangga pijakan dan meja dari bangku yang bisa ditinggikan.”

Dalam beberapa konten video ataupun foto yang diunggah Ayu, beberapa tanaman hias favoritnya menjadi latar belakang. “Tanaman favorit saya itu si monstera deliciosa karena daunnya bagus dan gampang dirawat.” Menurut Ayu, berkat kehadiran aneka tanaman di sudut apartemen yang terhubung dengan balkon itu, suasana di tempat tinggalnya terasa lebih berwarna. “Dulu saya memang setiap hari melakukan yoga di balkon. Tapi (balkon itu) dulu kosong. Setelah banyak tanaman dan bunga, jadi lebih semarak. Saya pun merasa senang.”

Inisiator gerakan SabangMerauke itu mengaku sebetulnya tak ada perlakuan khusus pada semua koleksinya. “Untuk perawatan, saya hanya punya alat penyiram.” Rutinitasnya pun biasa-biasa saja. Bahkan seringkali aneka tanaman itu ia sirami sembari melakukan panggilan telepon. Karena itu, Ayu mengaku senang aneka tanamannya itu bisa tumbuh dengan sehat dan subur. Meski koleksinya sudah banyak, Ayu tampaknya masih ingin menambahnya. “Masih cukup, nih, tempatnya buat beberapa tanaman lagi,” kata dia dalam satu unggahan video.

Menggeluti hobi tanaman hias untuk mempercantik tempat tinggal juga dilakukan Yasmin Tri Aryani. Perempuan yang bekerja sebagai rekan peneliti (research fellow) bidang desain di M+ Museum Hong Kong itu bahkan mengaku sudah dalam tahap terobsesi kegiatan ini. “Bahkan gue udah nganggep tanaman-tanaman gue itu kayak hewan peliharaan atau anak sendiri,” ujar dia.

Sebetulnya, kegemaran bercocok tanam di dalam ruangan sempit sudah dijalani Yasmin sejak bersekolah di Belanda pada 2012. Kebiasaan itu terbawa saat ia kembali ke Tanah Air. Tapi, karena pekerjaannya sebagai peneliti membuat dia sering bepergian dalam waktu lama, banyak tanaman koleksinya yang layu dan mati. “Nah, gara-gara pandemi, gue kan enggak ke mana-mana. Jadi, beberapa bulan terakhir ini lebih perhatian ke tanaman-tanaman yang gue punya.”

Obsesi Yasmin dimulai ketika ia tertarik membeli beberapa jenis tanaman hias dari toko online pada awal masa-masa work from home. “Di fotonya, tanaman yang dijual itu kelihatan bagus banget.” Tapi, ternyata, begitu tanaman itu datang, Yasmin malah kecewa. “Banyak yang sampai dalam kondisi layu, ukurannya kecil tak sesuai dengan foto, daunnya bolong-bolong, dan dihinggapi kutu.” Tak hanya sekali Yasmin mengalami hal itu. Di waktu lain, ia memesan tanaman hias dari Bogor. Ternyata, saat sampai, daun tanaman itu berwarna kekuningan dan tampak seperti bekas terbakar.

Meski sempat kecewa, Yasmin merawat semua tumbuhan itu dengan telaten. Ia membersihkan kutu yang menggerogoti daun pada tanaman yang baru dibelinya. Ia juga melakukan riset di Internet soal cara merawat tanaman yang tepat. ”Ternyata kebutuhan nutrisi setiap jenis tanaman itu berbeda-beda,” ujarnya. Ia pun mencoba berbagai ramuan, dari pupuk organik sampai aneka nutrisi tambahan sintetis. Ternyata aneka upayanya itu membuahkan hasil. Dalam dua pekan, beberapa tanaman yang semula tampak sekarat, kembali tumbuh. “Pucuk daunnya bermunculan.”

Hal itu membuat Yasmin semakin bersemangat merawat tanaman. Bahkan beberapa koleksinya yang sempat mati karena salah penyimpanan berhasil ia “hidupkan” setelah dirawat. “Kan, apartemen gue balkonnya sempit. Jadi, sebagian yang disimpan di dalam ruangan ternyata mati gara-gara kurang cahaya matahari.” Yasmin pun mengubah balkon apartemennya yang mungil itu sebagai tempat untuk menaruh koleksi tanaman hiasnya. Bahkan, demi menjaga kesehatan tanamannya, ia rela mengurangi penggunaan penyejuk ruangan. “Soalnya, kompresor AC-nya ada di balkon. Jadi, udara panasnya bisa merusak tanaman.”

Pada masa kewajaran baru alias normal baru, ketika ia sudah mulai bisa bepergian, Yasmin tetap menjalani hobinya. Bahkan kini ia rutin mengunjungi pasar untuk berburu tanaman hias. Uniknya, dia tak mengincar tumbuhan yang terlihat segar dan bagus. Justru dia mencari tanaman yang terlihat kurang sehat, daunnya sobek, atau berbercak-bercak. “Asalkan kelihatan ada bakal pucuk daun baru, tetap gue beli. Sebab, kalau sudah dirawat dengan benar, tanaman itu akan tumbuh dengan baik,” tutur dia. Salah satu tanaman favorit Yasmin yang ia dapatkan dalam kondisi kurang baik, tapi berhasil tumbuh bagus, adalah jenis Calathea musaica. “Corak daunnya bagus sekali.”

Untuk merawat tanamannya, Yasmin melakukan aneka eksperimen. Dari bermain-main dengan aneka jenis media tanam hingga menciptakan sistem irigasi otomatis sendiri. Salah satu media tanam yang dia sukai adalah bola-bola lempung hidroton. Dibanding media tanam tanah, kata dia, perawatan hidroton lebih mudah. Selain mampu menampung air, hidroton bisa menghambat perkembangan kutu. Sementara itu, untuk sistem pengairan, Yasmin menggunakan selang infus yang bisa mengeluarkan tetesan air dalam jumlah tertentu. Untuk koleksi calathea-nya, Yasmin juga memanfaatkan alat pembuat uap (difuser) yang biasa digunakan untuk aromaterapi agar udara di sekitar tanaman tetap lembap.

Yasmin mengaku puas ketika aneka tanaman yang semula tampak sakit itu bisa tumbuh dengan sehat dan rimbun. Rasa puas itu makin besar saat ia menyaksikan kehadiran pucuk-pucuk daun baru. “Artinya, perawatan yang gue lakukan sudah tepat.” Hal ini, kata dia, jadi semacam capaian kecil yang membuat keseharian Yasmin jadi terasa lebih menyenangkan. Belum lagi suasana di apartemennya yang terasa lebih teduh dan sejuk berkat kehadiran dedaunan hijau yang menyegarkan. “Jadi, tanpa pakai AC pun apartemen gue enggak terlalu sumuk. Padahal gue tinggal di Kemayoran,” ucap dia.

Hobi ini pun jadi semacam pelampiasan dari rasa jenuh karena harus berdiam diri selama pandemi. Sebagai peneliti yang biasa bekerja di lapangan dan bepergian ke daerah, Yasmin mengaku rasa jenuh dan lelah akibat pekerjaannya bisa tersalurkan dengan melakukan perjalanan ke tempat baru. “Tapi, gara-gara pandemi, kan gue jadi enggak bisa ke mana-mana.” Merawat tanaman akhirnya jadi jalan keluar untuk mengatasi rasa bosan yang tak kalah seru.

Keseruan merawat tanaman hias juga dirasakan Andhika Prayogi, seorang pemilik perusahaan distributor alat musik asal Bandung. Tanpa latar belakang pengetahuan ilmu budi daya tumbuhan, Andhika berhasil mengembangbiakkan tanaman kacang saba (Pachira aquatica) di pekarangan rumahnya. “Modalnya belajar dari bacaan di Internet dan menonton tutorial di YouTube saja,” kata pria berusia 34 tahun itu. Kini di halaman depan rumahnya berjajar puluhan kantong wadah media tanam (polybag) yang berisi pohon pachira setinggi 40-50 sentimeter.

Tumbuhan kacang saba, alias pachira, nge-tren jadi salah satu tanaman hias sejak lima tahun lalu. Tapi tumbuhan yang sering dijuluki “pohon uang” itu masih jarang dibudidayakan. Andhika pun tak sengaja mengenal pachira. “Tujuh tahun lalu ada yang memberi pohon ini, tapi saya tak melakukan perawatan khusus.” Ternyata pohon pemberian itu tumbuh sehat dan berbuah. Buah-buah pohon itu pun berjatuhan di halaman rumah Andhika. “Saya diamkan, ternyata bisa tumbuh sendiri,” kata dia.

Saat ada pembatasan sosial akibat pandemi, Andhika pun jadi lebih memperhatikan aneka tanaman di halaman rumahnya, terutama si pachira. ”Apalagi, setelah saya baca-baca, pohon ini bisa dijual dengan harga mahal. Karena itu ia disebut pohon uang.” Ia lalu mengumpulkan buah dari induk pachira yang berjatuhan. Bijinya lalu ia semai dalam media tanam. Dalam satu kantong media tanam, Andhika memasukkan beberapa biji pachira. “Nah, nanti, ketika dia sudah tumbuh tinggi, batang pohonnya bisa dibentuk meliuk-liuk atau dikepang dalam jumlah ganjil, tiga, lima, atau sembilan,” ujarnya. Di kalangan masyarakat Tionghoa, pohon pachira yang dikepang harganya mahal, bisa mencapai jutaan rupiah.

Namun, karena Andhika baru memulai penanaman pohon uang ini sekitar lima bulan lalu, ketinggian tanaman yang ada di rumahnya baru mencapai setengah meter. Saat mencoba mengepang tanaman, Andhika baru berhasil membuat pohon dengan tiga kepangan. “Kalau lebih, bisa patah batangnya. Memang harus menunggu tinggi dulu.” Saat ini, kata dia, harga pohon pachira setinggi 1 meter bisa mencapai ratusan ribu rupiah.

Sama seperti yang lain, Andhika juga mengaku merasakan kepuasan melihat tanaman yang ia pelihara bisa tumbuh dengan sehat. Ia pun punya kesenangan baru, yakni mempelajari ilmu budi daya dan perawatan tanaman. Lalu, meski punya prospek menguntungkan, Andhika mengaku belum berencana memasarkan pohon-pohon hasil budi dayanya.

Justru, jika nanti pohon-pohon itu sudah cukup besar, Andhika akan membagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga di sekitar rumahnya yang terletak di daerah Cikutra, Bandung. “Niatnya bukan untuk berjualan. Tapi bagaimana berkontribusi terhadap lingkungan dulu, membuat daerah di sekitar rumah lebih asri dengan banyak pohon.”

PRAGA UTAMA

 


9

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus