Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan IKN dikhawatirkan mengganggu ekosistem Teluk Balikpapan.
Mengancam bekantan dan pesut yang menjadi satwa penghuni Teluk Balikpapan.
Dua koridor satwa memiliki peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati.
MAPPASELLE tak bisa membayangkan nasib para nelayan bila memancing dan menjala ikan di Teluk Balikpapan dianggap aktivitas ilegal. Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Pesisir dan Nelayan, lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi isu pesisir dan nelayan di Balikpapan, itu mempersoalkan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kalimantan Timur 2021-2041 yang menetapkan perairan di sisi barat Selat Makassar tersebut sebagai zona pelabuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nelayan dan Teluk Balikpapan, kata Mappaselle, tak bisa dipisahkan. Bahkan sejarah nama Balikpapan juga dikaitkan dengan keberadaan kampung nelayan tertua, Desa Jenebora, dan suku Pasir Balik (Pasir Kuleng) yang menetap di sepanjang pesisir teluk itu. “Padahal nelayan aktif memberi masukan untuk rancangan perda itu sejak 2017,” ujarnya. “Di Teluk Balikpapan ini nelayan melaut tanpa rasa waswas meski menggunakan kapal dayung atau rakit papan. Tak pernah khawatir musim angin selatan atau angin utara.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mappaselle menduga aturan ini semata-mata untuk mendukung pembangunan infrastruktur ibu kota negara baru yang memerlukan pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal bermuatan ribuan ton baja dan material bangunan lain. Sebagai bukti, kata Mappaselle, Perda RZWP3K tidak mengatur ruang tangkap nelayan. Padahal Pasal 60 Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir justru mengatur alokasi ruang untuk nelayan. Perda itu juga tak mengatur ekosistem mangrove yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Selain itu, menurut Mappaselle, perda yang ditetapkan pada 22 April 2021 tersebut mengabaikan usul nelayan untuk menjadikan kawasan mangrove yang berusia ratusan tahun seluas 16 ribu hektare, terumbu karang, dan padang lamun sebagai kawasan konservasi. “Teluk ini kawasan penting untuk menjaga mulai dari pesut, dugong, penyu, teripang, kerapu, kepiting tapal kuda, buaya muara, hingga bekantan,” tutur Mappaselle.
Asisten II Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Abu Helmi, mengatakan perda ini telah mengakomodasi zona pemanfaatan ruang laut bagi pemerintah dan masyarakat umum. Perda ini juga dapat ditinjau kembali setiap lima tahun sekali. Menurut dia, pelaksanaan perda ini dipastikan dapat menjaga kelestarian alam dan dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat.
Danielle Kreb, perempuan yang telah menghabiskan 24 tahun terakhir sebagai peneliti pesut, khawatir akan dampak pembangunan ibu kota negara (IKN) di kawasan Teluk Balikpapan. Menurut peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia ini, pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) yang mendiami kawasan payau sepanjang Teluk Balikpapan harus menghadapi berbagai persoalan yang mengancam kehidupan mereka akibat aktivitas pembangunan IKN.
Aspek pertama yang menjadi perhatian Kreb adalah lalu lintas kapal besar di teluk. Selain soal cemaran minyak dari kapal, ia khawatir polusi suara di bawah air yang bisa mengakibatkan pesut terganggu. “Suara yang nyaring di bawah air akan menghalau sonar pesut. Padahal sonar digunakan sebagai penanda orientasi. Jika sonarnya kacau, pesut berpotensi menabrak,” tuturnya.
Untuk mencegah konflik yang dapat mengakibatkan kematian pesut, Kreb menyarankan agar ditempatkan pengamat mamalia laut. Tugasnya adalah memberi tanda apabila ada pesut, dugong, atau mamalia lain yang lewat. Aturan mainnya, kata dia, jika ada mamalia lewat saat kapal hendak melintas, kapal wajib menghentikan lajunya sampai mamalia tersebut menjauh dengan jarak lebih dari 500 meter.
Kualitas mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang ada di sepanjang teluk menjadi aspek kedua yang disorot Kreb. Tiga ekosistem ini, menurut dia, merupakan kunci bagi kawasan perairan yang sehat. “Karena itu, segala pencemaran dan sedimentasi yang menyebabkan rusaknya mangrove, padang lamun, dan terumbu karang akan berakibat bagi pesut juga,” ujarnya.
Sayangnya, menurut Kreb, aktivitas pembangunan IKN yang berada di hulu Teluk Balikpapan berpotensi menebalkan endapan lumpur di teluk tersebut. “Arus air di teluk tidak keluar ke Laut Makassar sehingga limpasan lumpur dari hulu akan menjadi sedimen di muara dan teluk,” ucapnya. Pencemaran lumpur ini dapat berakibat fatal bagi pesut karena akan mengganggu rantai pasok makanannya.
Pesut di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. @yk-rasi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur Yohana Tiko menyoroti dampak pembangunan bendungan Batu Lepek di Kabupaten Kutai Kartanegara dan bendungan Selamayu di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Keberadaan kedua bendungan itu, kata Yohana, akan mengganggu debit air sungai-sungai kecil ke Teluk Balikpapan. “Mamalia ini tempat hidupnya di ekosistem payau. Air tawar dari sungai inilah yang membentuk ekosistem tersebut,” tuturnya.
Danielle Kreb membenarkan kekhawatiran Yohana. Menurut Kreb, habitat favorit bagi 73 ekor pesut Mahakam di Teluk Balikpapan berada di dekat muara Sungai Somber, Sungai Semoi, dan Sungai Wain serta delta dan muara sungai lain di sepanjang teluk. Jumlah ikan dan udang yang relatif banyak serta lokasinya yang jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas kapal membuat daerah itu menjadi area favorit bagi mamalia karnivora tersebut.
Yohana mengungkapkan kecemasannya akan keberlangsungan hidup satwa-satwa ini. “Setelah IKN dibangun, akan ada cerita-cerita kepunahan pesut, dugong, penyu, dan bekantan, yang termasuk satwa dilindungi,” ucapnya. Memang, kata Yohana, dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis cepat, pemerintah menyiapkan koridor-koridor bagi satwa untuk mengatasi fragmentasi ekosistem. Persoalannya, menurut dia, hal tersebut tetap akan mengganggu ekosistem yang ada.
Bagi Stanislav Lhota, peneliti bekantan dari Czech University of Life Sciences di Praha, Republik Cek, yang meneliti primata di Teluk Balikpapan itu sejak tahun 2000-an, paling sedikit harus ada dua koridor, yaitu antara Hutan Lindung Sungai Wain dan Hutan Taman Raya Bukit Soeharto. “Keanekaragaman hayati pada tiga wilayah ini tidak mungkin bisa dipertahankan jika tidak ada migrasi satwa yang bebas di antara ketiganya,” ujarnya.
Menurut Stan—panggilan Stanislav Lhota—saat ini jumlah bekantan (Nasalis larvatus) di Teluk Balikpapan sekitar 3.500 individu. Meski populasinya terlihat kuat dan stabil, habitatnya berkurang sebesar 1 persen setiap tahun. Akibatnya, sebagian populasi menjadi terlalu padat. Persoalan lain adalah degradasi habitat karena pohon-pohon yang akhirnya mati tak sempat beregenerasi. Daya jelajah bekantan pun menjadi berkurang sehingga kawanan ini terpaksa memakan dedaunan dari pohon yang sama setiap hari.
Stan mencoba melihat aspek positif dari adanya IKN. Ia menghitung wilayah IKN meliputi area konsesi beberapa perusahaan sawit yang telah merusak hutan di Kalimantan Timur. Stan berandai-andai, jika bekas kebun sawit itu dapat direhabilitasi kembali dan dibiarkan menjadi hutan—bukan kawasan perumahan—akan membantu pelestarian primata berhidung panjang yang berhabitat di Teluk Balikpapan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo