Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Impian-impian Kapitalis Di Vietnam

Vietnam memang dikuasai orang utara, namun pada zaman damai, kini orang selatan lebih berperan. Semangat Doi Moi menyebabkan kapitalisme merajalela. Investasi dan bantuan asing mulai masuk.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAM Van bisa hidup makmur karena simbol status pun kini halal di Vietnam. Itulah simbol status di jalan-jalan Saigon, kota metropolitan Vietnam, yang di Vietnam sendiri hampir tak pernah disebut dengan nama resminya yang baru, yakni Kota Ho Chi Minh. Simbol itu bernama Honda, sepeda motor dengan kekuatan 8,5 tenaga kuda seharga US$ 2.000 yang dirakit di Muangthai. Belakangan ini iklim usaha sedang bagus-bagusnya, sehingga wiraswastawan berusia 31 tahun itu mampu hidup "wah": menyedot rokok Inggris John Player Special, mengenakan jam tangan emas Longines, dan bersama teman-temannya tiap malam goyang kibul di disko gemerlap Superstar, dengan iringan rekaman lagu-lagu penyanyi pujaannya, Madonna. Itulah Vietnam kini. Dulu, Vietnam Utara memenangkan perang, menduduki Saigon pada 1975, dan mempermalukan Amerika Serikat, seperti halnya mereka menghinakan Prancis dua dasawarsa sebelumnya. Pada zaman damai kini orang Selatanlah yang akhirnya menang. Memang, para gaek yang kini memimpin Partai Komunis Vietnam kebanyakan orang Utara dan masih kuat mencengkeram kekuasaan. Tapi semangat bebas Selatanlah, semangat yang pro-Barat dan berjiwa kapitalis, yang kini merajalela, baik di Utara maupun Selatan, baik di kota maupun desa. Semangat yang mengubah 66 juta penduduk Vietnam kini, termasuk Lam Van tadi. Bahkan di Vinh, 900 km utara Saigon, citacita menjadi kaya juga hidup di sini. Vinh, ibu kota Provinsi Nghe Tinh, mungkin bisa menjadi simbol bagaimana Vietnam berubah. Kota terbesar di daerah selatan Vietnam Utara dulu menjadi sasaran empuk pesawat-pesawat pengebom B52 Amerika. Ditambah tanah di provinsi ini yang berpasir dan kerap dilanda angin puyuh, praktis pertanian tidak hidup di sini. Waktu itu Nghe Tinh memang dikenal sebagai provinsi termelarat di Vietnam Utara. Bahkan hingga kini air bersih dan listrik hanya merupakan mimpi bagi kebanyakan keluarga petani di provinsi itu. Malaria pun sudah sampai tingkat mewabah. Yang membuat namanya tercantum dalam sejarah Vietnam, sejumlah pemimpin ternama Vietnam lahir di sana. Ho Chi Minh, pemimpin legendaris Vietnam Utara, lahir 101 tahun silam di sebuah gubuk beratap jerami beberapa kilometer di barat daya Vinh. Tapi sejak beberapa tahun lalu Vinh mulai membangun. Dan tak cuma membangun kota yang terkenal melarat ini pun sudah menerapkan pasar bebas dan pertanian pribadi, konsep yang dihalalkan di negeri sosialis itu lewat idoi moi. Doi moir, itulah semacam perestroika versi Vietnam. "Pembaruan ekonomi baik bagi kami, kami semua," tutur Huang Thi Xuan, pemilik sebuah toko obat di pasar Kota Vinh yang kini hiruk-pikuk itu. Pasar tersebut berupa gedung yang menyerupai gudang, tempat kioskios penjual kebutuhan makanan, barang-barang rumah tangga, sampai pakaian yang buka sejak subuh sampai menjelang malam. Kios Thi Xuan terdiri dari rak-rak kayu yang dipenuhi obat-obatan, mulai dari antibiotik modern sampai obat kuat tradisional dari dedaunan yang masih disukai pelanggan generasi tua. Menurut Xuan, sebelum idoi moir, cuma ada tiga toko obat di pasar itu. Kini ada sekitar 20 toko. "Lebih banyak pilihan untuk para pembeli," ujar wanita ulet ini sambil menyodorkan bubuk tanduk rusa, yang dipercaya orang Vietnam bisa menambah kuat daya seksual pria. "Orang-orang sudah lebih banyak punya uang. Kami masih perlu lebih banyak pembeli jika ingin makmur. Tapi, yang jelas, kehidupan kami sudah membaik." Doi moi mendorong lahirnya usaha-usaha pribadi, menyediakan peraturan penanaman modal asing paling liberal di Asia, menghentikan kontrol harga pada komoditi pokok, dan mendevaluasi paksa mata uang Vietnam, dong, agar lebih dekat dengan tingkat nilai tukar di pasar gelap. Dolar Amerika dan emas kini secara resmi bisa diperdagangkan. Dalam laporan tahunan paling akhir Bank Dunia, doi moi disebut "dramatis" dan "berpengaruh di bidang yang luas" serta dinilai berhasil menciptakan suatu "sektor swasta yang tumbuh cepat meski masih dalam skala kecil". Diresmikan oleh Partai Komunis Vietnam pada 1986, doi moi merupakan gagasan Sekjen Partai Nguyen Van Linh, orang Utara yang lebih banyak melewatkan waktunya sebagai pemimpin gerilyawan Vietkong di Selatan. Linh memulai eksperimen reformasi pasar bebasnya sewaktu ia menjabat ketua partai di Saigon pada awal 1980an. Walau upayanya di Selatan membuat Linh dimusuhi fungsionaris partai di Hanoi -- bahkan ia sempat sebentar terpental dari politbiro karena para pemimpin yang lain yakin bahwa Vietnam harus berada di bawah sistem tunggal ekonomi kolektif -- akhirnya konsep doi moinya diterima sebagai jalan selamat bagi Vietnam. Sebagai bukti bahwa Vietnam sudah yakin manfaat doi moi, ketika tahun lalu Van Linh mengundurkan diri karena kesehatannya yang buruk, penggantinya adalah Perdana Menteri Do Muoi, 74 tahun. Do Muoi orang Utara yang ramah dan seorang pendukung pembaruan. Dan pengganti Do Muoi adalah Vo Van Kiet, orang Selatan berusia 68 tahun dan seorang sekutu terdekat Linh. Maka, di jajaran pengambil keputusan tertinggi di Vietnam adalah mereka yang proreformasi. Inilah tampaknya yang membuat Vietnam pelanpelan mulai berwajah cerah. Vietnam bukan lagi negara kelabu nan suram pada pertengahan 1980-an, meski belum seperti Muangthai atau macan-macan ekonomi lainnya di Asia Tenggara. Vietnam masih salah satu negara paling melarat di bumi, sebagian besar karena embargo ekonomi Amerika yang sudah diterapkan sejak 30 April 1975, saat tentara AS terakhir meninggalkan Saigon. Embargo itu mengisolasi negara ini secara ekonomi, memotong Hanoi dari dana bantuan internasional, khususnya dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, dan menjauhkan investasi asing milyaran dolar. Pendapatan per kepala diperkirakan hanya US$ 195 per tahun (Indonesia US$ 555). Kelaparan dan penyakit pun masih merajalela. Masalah ekonomi Vietnam makin buruk dengan penghentian bantuan lebih dari US$ 1 milyar per tahun dari bekas negara Uni Soviet, sekutu terdekat Vietnam. Walau angka resmi tak bisa dipercaya, tingkat pengangguran kini diduga mencapai 20%. Dalam tiga kuartal pertama tahun 1991, tingkat inflasi mencapai 7% per bulan atau hampir 125% per tahun. Di tengah suasana seperti itulah, pelanpelan sejumlah orang bangkit karena kesempatan yang diberikan oleh doi moi. Buktinya jelas. Sampai pertengahan tahun lalu, rata-rata per hari mendarat 165 orang Vietnam di Hong Kong. Bulan-bulan belakangan ini, angka itu menurun hanya menjadi tujuh orang per hari. Meski tak bisa dikatakan bahwa doi moi menjadi satu-satunya faktor yang menurunkan jumlah manusia perahu Vietnam, juga tak bisa disangkal bahwa faktor itu menjadi salah satu yang menghambat eksodus tersebut. Memang, menurut para ahli, pertumbuhan ekonomi Vietnam tampaknya bakal segera melonjak naik. Ikut sertanya Vietnam membantu perdamaian di Kamboja, dan sikap positif pemerintah Vietnam dalam hal mengungkap nasib tentara AS yang hilang di Perang Vietnam dulu, membuat Washington sudah mulai mau membicarakan nasib Hanoi. Bahkan para pejabat di Gedung Putih sudah memberikan isyarat, embargo Amerika terhadap Vietnam dapat dicabut dalam beberapa bulan mendatang. Pencabutan embargo itu nanti tampaknya akan menjadi "gong" pembangunan di Vietnam. Sekarang saja pesawat Thai Airways dari Bangkok ke Saigon selalu penuh sesak. Penumpangnya adalah para pengusaha yang mencari duit di lahan yang boleh dikata masih sangat terbuka dibandingkan dengan negara Asia Tenggara yang lain. George Brown, yang lahir dengan nama Cho Chung 51 tahun silam di Korea dan mengganti namanya menjadi nama Barat setelah beremigrasi ke Australia pada 1970-an, kembali membentuk hidup baru di Saigon. "Vietnam adalah negeri kedua saya," kata Brown, yang tinggal pertama kali di Saigon pada 1960-an sebagai peniup saksofon di kelompok pemusik Korea yang menghibur tentara-tentara Amerika. "Saya suka makanan Vietnam, juga suka perempuan Vietnam." Brown pindah dari Vietnam ke Sydney pada 1974, sewaktu tampak gejala bahwa perang bakal berhenti dan saat itu ada kesempatan kerja di Australia. Ia baru mengunjungi Saigon kembali pada 1988, begitu Vietnam mulai mengundang investasi asing. Ia ingin menjajaki usaha di "negeri kedua"nya itu. Hari-hari pertama di Vietnam, "saya mencucurkan air mata melihat kemelaratan," katanya mengenang. "Gedung banyak yang ambruk. Semuanya tampak seperti tak bernyawa." Ia lalu balik ke Australia. Ketika Mei silam Brown kembali ke Saigon, ia tak lagi mencucurkan air mata. "Kali ini Anda bisa melihat perubahan dalam mata penduduk. Orang-orang kembali punya harapan," tuturnya. Brown yakin ia bakal banyak menggaet untung dari usaha restoran yang bakal dibelinya dari orang Vietnam. "Banyak kesempatan di Saigon," kata Brown, saat pesawat Thai itu terbang menurun mendekati Saigon yang dari atas tampak hijau dengan sawah-sawah di pinggiran kota. "Kalau Anda ingin berusaha apa saja sekarang ini, Anda bisa melakukannya di Vietnam," tambahnya. September tahun silam, pemerintah Vietnam memberi lampu hijau pada 98 proyek investasi asing di Vietnam senilai US$ 970 juta. Padahal, pada 1990, selama setahun hanya diresmikan 109 proyek senilai US$ 590. Dan jangan lupa, angka hampir semilyar dolar pada bulan September itu belum termasuk banyak perjanjian yang dibuat penanam modal asing di luar jalur pemerintah. "Saya kira, dari tiap dolar yang masuk secara resmi, ada dua atau tiga lainnya yang masuk lewat jalan lain ke Saigon," kata John Brisden, wakil bank Inggris, Standard Charter Bank, di Saigon. "Orang-orang tiba tiap minggu ke kota ini membawa ratusan ribu dolar di dalam tasnya. Dan penanam modal yang datang ke Vietnam sekarang ini merupakan pengusaha kaliber berat, dengan rekor dalam bisnis," ujar orang bank Inggris itu. Hampir tiap hari, di pemeriksaan imigrasi yang berjalan lambat di bandara internasional Tan Son Nhut di Saigon, tampak deretan merah, warna paspor Jepang. Paspor itu dipegang oleh para pengusaha berdasi dari Tokyo dan Osaka. Ada pula pengusaha dari Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Muangthai, Singapura, Malaysia, Australia, dan Prancis. Para pengusaha itu bukan hanya tertarik pada peraturan penanaman modal asing yang liberal -- mungkin paling liberal di kawasan Asia Tenggara -- tapi juga karena mereka tertarik pada sumber alam Vietnam yang sangat kaya, khususnya minyak, dan adanya tenaga kerja yang terdidik dan sangat murah. Para lulusan akademi di Vietnam cukup dibayar sekitar US$ 50 (sekitar Rp 100.000) per bulan. Salah satu tanda datangnya para investor asing adalah pemandangan sepanjang jalan dari bandara ke Kota Saigon. Sepanjang jalan terpampang papan iklan berbagai perusahaan asing yang mengumumkan kehadirannya di kota itu: Sony, JVC, Nissan, Ricoh, Ogilvy & Mather, Agfa. Iklan juga mengingatkan bahwa hampir dua pertiga dari keseluruhan modal asing di Vietnam bakal ditanamkan di Selatan. Bukan hanya karena infrastrukturnya lebih baik -- karena 20 tahun kehadiran pasukan Amerika -- tapi juga karena mereka menganggap persepsi orang-orang Selatan terhadap bisnis jauh lebih maju. Dan itu memang kenyataan. Perubahan yang terjadi di Uni Soviet secara langsung juga mempengaruhi Vietnam. Tahun lalu, Jepang menggantikan posisi Uni Soviet sebagai rekan dagang terbesar Vietnam. Jepang telah membeli 80% minyak mentah Vietnam. Selain itu, perusahaan-perusahaan Jepang juga sudah membuka kantor-kantor perdagangan di Saigon, dan untuk dekade ini, sudah merintis bisnis dan kontak antarpemerintah. Diduga, begitu embargo Amerika dicabut, investasi Jepang bakal melonjak drastis. "Mungkin investor Amerika bakal terlambat," kata Ninh Van Mien, manajer senior di Hanoi Electronic Corporation, yang memproduksi pesawat televisi JVC. "Orang-orang Jepang sudah ada di Vietnam beberapa tahun terakhir, dan sulit bagi orang Amerika untuk mengejarnya, kecuali mereka segera datang ke Vietnam. Di Vietnam ada ungkapan: Kerbau yang lamban sampai ke mata air, harus minum dari air kubangan berlumpur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus