Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kongres Kebudayaan Indonesia 2023.
Upaya memperkuat pemajuan kebudayaan.
RUANG Graha Utama di lantai tiga gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi riuh ketika beberapa peserta Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 dari sejumlah daerah meneriakkan usulan Kementerian Pendidikan, Selasa, 24 Oktober lalu. Mereka bertepuk tangan menyampaikan dukungan agar urusan kebudayaan ditangani oleh sebuah kementerian. Si empunya hajat, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, kemudian mengambil pengeras suara. “Baiklah kalau demikian, apakah Saudara-saudara siap semuanya?” katanya. Hadirin pun kompak menjawab siap. Hilmar lantas menjelaskan bahwa pewujudan aspirasi atau usulan tersebut tak semudah membalik telapak tangan. Semua perangkat harus disiapkan, juga tata kelola dan koordinasi antarlembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah lima hari puluhan forum digelar, tim perumus hasil Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 yang diketuai Hilmar Farid menyampaikan rekomendasi yang dibacakan Damayanti Buchori. “Hasil panen Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 bermuara pada urgensi terbentuknya sebuah kementerian yang secara khusus menangani kebudayaan secara terpadu,” ujar Damayanti, yang juga pengajar di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, disambut tepuk tangan para peserta Kongres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menutup Kongres, Hilmar meminta semua hadirin ikut serta menggelorakan hasil ini di komunitas dan semua kalangan serta pemangku kepentingan di jajaran pemerintah, dunia usaha, pendidikan, komunitas, dan lain-lain. “Sampaikan semua sehingga hal ini menjadi gerak bersama kita. Saya ingin bertanya, siap melakukan itu?” tutur Hilmar, disambut jawaban kompak dan tepuk tangan hadirin.
Hilmar menyebutkan aspirasi para peserta Kongres Kebudayaan ini mengemuka sejak 2018 dan terus menguat. “Sekarang kami masukkan karena betul-betul permintaan peserta Kongres. Kongres harus menyatakan bahwa ini sudah menjadi kebutuhan,” kata Hilmar seusai pembacaan maklumat.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid memberi sambutan saat pembukaan Kongres Kebudayaan Indonesia 2023, di kantor Kemendikbudristek, Jakarta, 23 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Menurut dia, dilihat dari resolusi, poin per poin, keluasan, volume pekerjaan, dan kompleksitas urusan, pilihan mendirikan kementerian yang khusus mengurusi kebudayaan menjadi logis. Sekian banyak urusan kebudayaan, pria yang akrab dipanggil Fay ini menambahkan, bisa ditangani oleh sebuah kementerian yang berdiri sendiri. Hilmar juga menyampaikan kepada peserta Kongres untuk menyiapkan segala sesuatu mengenai tata kelola serta hubungan dan koordinasi dengan banyak lembaga kebudayaan, seperti dinas pemerintahan, museum, dan taman budaya. “Tidak cukup kementeriannya saja, ekosistemnya juga hingga ke daerah, regulasinya juga,” ujarnya.
Kongres Kebudayaan Indonesia dihelat selama 23-27 Oktober 2023. Direktorat Jenderal Kebudayaan menginginkan perhelatan ini menjadi ajang urun rembuk mengenai upaya pemajuan kebudayaan. Ratusan orang pemangku kepentingan, utusan lembaga seni budaya, dan seniman dari semua daerah hadir untuk membahas sembilan isu dan fokus bahasan yang menjadi usul bahan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemajuan Kebudayaan 2024-2029.
Sembilan isu itu meliputi inklusivitas dan kebebasan berekspresi, interaksi seniman dan hukum, kebudayaan dan pendidikan, pemberdayaan desa dan masyarakat adat, kebudayaan di arena global, kebudayaan dan pariwisata, sumber daya dan infrastruktur kebudayaan, kebudayaan dan teknologi, serta kelembagaan kebudayaan.
Ihwal inklusivitas, muncul cerita dan pengalaman beberapa pelaku seni difabel pada sesi awal Kongres. Memperlihatkan seni budaya masih menjadi barang mewah bagi komunitas ini. “Jangankan sampai terlibat berkesenian atau budaya, untuk bisa mengakses saja masih sulit,” kata komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Jonna Aman Damanik. Budaya dan infrastruktur masih belum ramah terhadap kelompok difabel. Beruntung masih ada Edo Wulia, pendiri Minikino; serta Sukri Budi Dharma alias Agus Butong, kurator dan inisiator Jogja Disability Arts Biennale, yang menyelenggarakan acara-acara seni yang bisa diakses komunitas difabel. Mereka berbagi praktik budaya yang inklusif untuk komunitas difabel dan menularkannya kepada kelompok nondifabel.
Edo Wulia(tengah) dan Sukri Budi Dharma (kanan) saat sesi diskusi di Kongres Kebudayaan Indonesia, 23 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Di ruang diskusi lain, soal kebebasan berekspresi masyarakat dan maraknya persekusi, intimidasi, serta kriminalisasi terhadap pelaku seni dan beberapa kelompok masyarakat juga mengemuka. Anis Hidayah, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyampaikan bahwa pada 2020 lembaganya menangani 22 aduan serangan digital serta masalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari hasil survei, sebanyak 36 persen masyarakat merasa tidak bebas menyampaikan ekspresi di media sosial. Konteks kasusnya adalah ekspresi politik, diskusi ilmiah, karya jurnalistik, kesaksian di pengadilan, kritik kebijakan, penyampaian pendapat di muka umum, dan penyebaran informasi. Adapun korbannya antara lain jurnalis, individu, akademikus, mahasiswa, aktivis, media pemberitaan, dan pemengaruh atau influencer.
Ekspresi seni, Anis mengungkapkan, adalah wujud hak atas kebebasan berimajinasi. Penciptaan dan distribusi ekspresi budaya harus bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik, ataupun tekanan aktor-aktor non-negara. Menurut dia, negara harus membantu menciptakan dan menjaga iklim yang mendorong kebebasan ekspresi artistik; memfasilitasi kemunculan bakat-bakat kreatif; serta mendukung karya pegiat seni, pendidikan, dan pelatihan artis dan hak-hak sosial serta kerja pegiat seni, juga hak cipta.
Seniman Didik Nini Thowok dan Maria Dharmaningsih mengomentari perihal kebebasan berekspresi dalam laku budaya dan maraknya persekusi. Menurut Didik, para pemangku kebijakan harus mempelajari sejarah, memahami keberagaman budaya di Indonesia. “Jika tidak tahu sejarah, bagaimana mau mengatur hal ini boleh atau tidak. Lalu wujudkan juga respek, toleransi. Jangan cuma dalam ucapan salam, jangan lip service biar kelihatan toleran. Belajar gitu,” tuturnya. Hal ini juga terkait dengan beberapa tradisi silang budaya dan keberagaman gender yang akhir-akhir ini marak dipersekusi.
“Di Indonesia, tradisi silang gender ada sejak dulu,” katanya. Ia mencontohkan tarian silang gender di Yogyakarta, langendrian, pada era Hamengku Buwono VII dibawakan oleh pria. Sedangkan di Solo, Jawa Tengah, langendrian ditarikan perempuan. Tari-tarian silang gender di Jepang juga dihargai.
Tari Langendriyan di Puro Mangkunagaran. puromangkunegaran.com
Senada dengan Didik, Maria mengatakan banyak orang yang terjebak dalam sekat isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Menurut dia, Indonesia bisa memberikan kontribusi melalui tradisi budaya Indonesia untuk menjawab isu ini. Dia mengatakan diperlukan penghormatan terhadap tradisi yang ada. “Dengan belajar berekspresi bisa mengeluarkan energi, bergerak, bergaul, berinteraksi.”
Ada pula pembahasan upaya pelindungan terhadap aktivitas pelaku budaya, termasuk kelompok rentan seperti perempuan korban peristiwa 1965 dan gender minoritas agar bebas dari kekerasan seksual. “Hak kebudayaan mereka juga harus difasilitasi. Kami ingin memastikan juga kepada penegak hukum, tidak ada lagi kekerasan terhadap pelaku seni. Kepolisian harus dengar hal itu,” ujar sekretaris tim perumus hasil Kongres, Neng Dara Affiah. Menurut dia, mereka senang diikutkan dalam rembuk dan suara mereka dihimpun sebagai suara negara.
Yang tak kalah penting dibahas dalam Kongres Kebudayaan ini adalah peran desa dan masyarakat adat dalam upaya pemajuan kebudayaan dan pendanaannya. Di beberapa sesi, masyarakat desa dan masyarakat adat memegang peran besar dalam diskusi kebudayaan. Keberadaan masyarakat desa dengan ragam budayanya seperti lumbung bahan seni budaya. Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Samsul Hadi menyatakan pentingnya penghimpunan data tradisi di desa dan masyarakat adat melalui pencatatan atau pendokumentasian. “Butuh kerja sama sesepuh dengan generasi mudanya tentang tradisi yang diwariskan turun-temurun,” ucapnya.
Tradisi sedekah bumi di Dusun Sekararum, Desa Sekarsari, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Juni 2023. Rembangkab.go.id
Adapun Abdul Ghafur, pandu desa di Nusa Tenggara Timur, menjelaskan beberapa kearifan lokal masyarakat Lembata. Di antaranya tradisi murung, seperti tradisi sasi di Maluku, tentang zona pelarangan eksploitasi laut dalam waktu tertentu, juga tradisi sedekah bumi. Sayangnya, tradisi dan budaya semacam ini belum mendapat dukungan pendanaan pemerintah dan sumber dana manusia untuk pengembangannya masih kurang.
Kurnia Anita dari Rembang, Jawa Tengah, bercerita tentang tradisi sedekah bumi di desanya yang tak jauh dari area pengeboran minyak. Sempat terhenti, tradisi ini kembali berlangsung dengan adanya dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Beberapa anak muda dari Palembang; Serang, Banten; Sumba, Nusa Tenggara Timur; dan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, juga mempresentasikan usaha penjenamaan (branding) daerah mereka. Dari Palembang, Yudi dengan ikon Midang Cindo-nya (istilah untuk mejeng cantik) berupaya merevitalisasi beberapa gedung tua di area kota lama. Ia bersama komunitasnya menggerakkan berbagai kegiatan untuk membangkitkan seni tradisi di kota tersebut.
Akan halnya dari Banten ada Andi Suhud, penggerak komunitas yang berupaya membangkitkan aktivitas seni budaya dengan festival. Sayangnya, komunitas ini masih menghadapi kendala karena Kota Serang tak mempunyai tempat publik yang representatif sebagai lokasi kegiatan. Jika menggunakan alun-alun, fasilitas olahraga, atau lapangan militer, mereka harus mengeluarkan biaya sewa ratusan juta rupiah per hari.
Dari Tanjungpinang, Desiana mempresentasikan penjenamaan Pulau Penyengat. Ia tergelitik untuk memperkenalkan kota dan pulaunya sebagai asal-muasal tradisi dan bahasa Melayu. Dari Sumba, selain budaya megalitik, tradisi tenun ikat sangat kaya. Tiap suku mempunyai kekhasan tenun masing-masing dan terkoneksi dengan bahasa. Tenun dengan kekayaan motif menjadi pintu masuk pemajuan budaya dan kekuatan lokal.
Suasana sesi diskusi saat Kongres Kebidayaan Indonesia di hari kedua, 24 Oktober 2023. Kemdikbud.go.id
Penjenamaan dan kekuatan lokal menjadi elemen dalam pariwisata. Pidato kebudayaan Myra P. Gunawan, pakar pariwisata dari Institut Teknologi Bandung, sangat tajam dan reflektif. Menurut dia, saat ini masih ada dikotomi seni, budaya, dan pariwisata. Padahal, dia menjelaskan, pariwisata hanyalah kendaraan untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Ia mengkritik kolega dari bidang kebudayaan saat ini lebih berupaya mempertahankan dan melindungi ketimbang memanfaatkannya dengan bertanggung jawab. “Masih ada ketimpangan,” katanya. Dia mengatakan pemanfaatan secara bertanggung jawab bisa dipandu sebagai sumber daya untuk pemanfaatan dan pemajuan. “Kita belum dapat memanfaatkan sehingga memberi manfaat untuk pemeliharaan dan perlindungannya,” ujar Myra.
Upaya pelindungan budaya membutuhkan pemangku kepentingan yang bertanggung jawab, pemerintah yang bertanggung jawab karena paham akan obyek budayanya, pengusaha yang bertanggung jawab, sumber daya insani yang paham dan sejahtera, sumber daya finansial yang cukup, serta wisatawan yang bertanggung jawab. Menurut Myra, perlu perubahan cara pandang bahwa pariwisata hanya kegiatan sukaria untuk menghasilkan duit atau pajak. Wisata adalah kendaraan untuk mencari kemajuan dan kesejahteraan. Ia mencontohkan hal-hal yang sepele tapi sangat signifikan.
Satu pokok bahasan penting lain menyangkut perubahan iklim dan lingkungan. Beberapa sesi juga membincangkan pemajuan budaya terkait dengan urusan lingkungan dan ketahanan pangan. Tradisi kuliner dan ragam pangan tradisional adalah salah satu elemen penting. Damayanti Buchori dalam pidato kebudayaannya menjelaskan bahwa pangan berkaitan erat dengan budaya dan proses berbudaya manusia.
Dua akademikus, Agus Santoso dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Ignatius Haryanto dari Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, menggagas strategi pengembangan dan pemajuan kebudayaan terkait dengan pengelolaan kekayaan intelektual komunal. Setidaknya perlu pendataan atau pendokumentasian kekayaan intelektual komunal dan pelibatan masyarakat di dalamnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Janji-janji Kongres Kebudayaan"