Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jenderal Laskar Istimata

Zulkarnaen, panglima militer Jamaah Islamiyah, masih tak tersentuh aparat. Alumni Afganistan angkatan pertama ini dikenal sebagai ahli taktik tempur.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH tua itu terletak persis di belakang Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ada dua boneka kecil mainan anak-anak tergeletak di depan pintu. Di sebelah kiri ruang tamu, ada garasi kosong berdebu. Langit-langitnya banyak yang jebol. Di setiap sudut, jaring laba-laba penuh menjuntai. Pada suatu sore pertengahan September silam, dari dalam rumah itu terdengar suara tangis bayi. Merengek-rengek. Sudah setahun lamanya Rahayuningtyas, si nyonya rumah, menunggu kabar suaminya, Aris Sumarsono. Perempuan bercadar berusia 32 tahun itu—dia akrab disapa Ning—terakhir bertemu dengan suaminya pada Lebaran tahun silam. Aris, kata Ning, suka ke luar kota untuk urusan berdagang kain. Kadang sepekan, paling lama sebulan. Tapi kepergian yang terakhir tak menyisakan jejak. "Dia hanya pamit ke Sragen, setelah itu tak kembali lagi ke rumah," ujarnya. Aris Sumarsono tak lain adalah Zulkarnaen, yang disebut-sebut sebagai komandan tertinggi sayap militer Jamaah Islamiyah (JI). Kini, anak Desa Gebang, Sragen, itu menjadi buron penting. "Zulkarnaen salah satu tokoh penting JI yang lagi kita uber," ujar Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbaai, Kepala Desk Antiteror di Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Posisinya di pucuk itu makin terungkap setelah polisi menangkap Achmad Roihan alias Saad, tokoh teras Markaziyah (pimpinan pusat) JI di Palu, April silam. Roihan mengaku Zulkarnaen hadir dalam pertemuan Markaziyah di Tawangmangu, Solo, setelah bom Bali meledak. Zulkarnaen punya nama lain: Daud. "Orangnya bertubuh kecil dan pendiam," kata Mualif Rosidi, bekas guru Zulkarnaen di Pondok Pesantren Ngruki. Dia masuk pondok itu sejak 1975, dan belajar di sana selama enam tahun. Lulus dari pondok, Zulkarnaen, yang kerap masuk peringkat lima besar di sekolahnya itu, masuk ke Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Sejak mondok, dia jarang pulang," ujar Mualif. Tak jelas sejak kapan Zulkarnaen mulai terlibat dalam gerakan militan itu. Yang terang, namanya kini disebut-sebut sebagai salah satu arsitek bom Bali. Dari persidangan kasus bom Bali, melalui kesaksian Nasir Abbas, kakak ipar Muchlas yang merupakan salah satu pelaku utama lainnya, terungkap posisi Zulkarnaen memang cukup penting di organisasi JI. Nasir, yang kini ditahan di Markas Besar Polri, adalah veteran pejuang Afganistan. Dia terjun ke medan jihad Afganistan sejak 1987 sampai 1993. Setelah itu, dia bergabung dengan gerilyawan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Moro, daerah selatan Filipina. Dia mengangkat senjata ke Moro atas perintah Mustofa alias Pranata Yudha, salah satu pentolan JI yang tertangkap di Semarang. "Mustofa meminta saya, atas perintah Zulkarnaen dan atas saran Abdullah Sungkar," kata Nasir Abbas. Sungkar adalah pemimpin besar JI sebelum Abu Bakar Ba'asyir. Perintah pengiriman pasukan jihad ke Moro, yang diberikan Zulkarnaen kepada Mustofa, membuktikan Zulkarnaen memang berada di pucuk struktur. Mustofa saat itu menjabat Ketua Mantiqi III, struktur operasi JI yang meliputi wilayah Filipina Selatan, Serawak, Sabah, Brunei, dan Kalimantan. Posisi Zulkarnaen, kata Nasir, adalah Ketua Bidang Askari (militer) Markaziyah, yang dulunya langsung berada di bawah Abdullah Sungkar. Mustofa kini meringkuk di sel Kepolisian Daerah Metro Jaya, setelah dicokok petugas pada Juli silam. Bagi para mujahidin asal Indonesia, Zulkarnaen mereka hormati sebagai senior. Dia termasuk angkatan pertama lulusan akademi militer di Afganistan. Seorang veteran mujahidin, Abi Sholeh (nama samaran), mengaku satu angkatan dengan Zulkarnaen, saat terjun ke Afganistan pada 1985. Waktu itu mereka dikirim oleh almarhum Abdullah Sungkar, pendiri JI. Abi Sholeh tak mau menyebut jumlah pasti berapa orang yang berangkat pada gelombang pertama itu. Yang jelas, kata dia, mereka mendapat pelatihan di Kamp Saddah, akademi militer milik Syekh Abdurrasul Sayyaf, tokoh legendaris mujahidin Afganistan. "Kamp itu letaknya di Khumran Agency, di dekat Parachinar, perbatasan Pakistan dan Afganistan," kata Abi. Di sana mereka menimba ilmu perang, dari teori sampai praktek. Juga soal perang gerilya, termasuk gerilya kota, meracik bom, dan artileri. Para mujahidin itu juga lihai membaca peta dan teknik pengintaian musuh. "Mereka latihan aneka macam senjata, seperti AK-47 dan M-16," ia berkisah. Di Afganistan, Zulkarnaen adalah lulusan terbaik. "Dia ahli dalam semua pelajaran militer," tutur Abi lagi. Bahkan, sebelum lulus, Zulkarnaen sudah diminta mengajar di Kamp Saddah—di mana Syaikh Sayyaf memberikan tempat khusus bagi mujahidin asal Asia Tenggara. Zulkarnaen ditunjuk sebagai kepala akademi militer itu, untuk melatih mujahidin asal Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Pengalaman tempur Zulkarnaen, kata Abi, juga di atas rata-rata. Dia pernah terlibat pertempuran selama tiga pekan di Jaji (Joji), pada April 1987. Saat itu tarung senjata berlangsung hebat antara pasukan mujahidin dan tentara pendudukan Uni Soviet. Tak semua mujahidin asal Asia Tenggara dilibatkan di garis depan. Kata Sayyaf, seperti dikutip Abi, tujuan latihan militer bukan untuk berjihad di Afganistan. "Yang penting, menyiapkan diri berjihad di negeri sendiri," begitu pesan sang Syekh. Achmad Roihan alias Saad, anggota Markaziyah, pun mengaku seangkatan dengan Zulkarnaen ketika terjun ke Afganistan. Saad, sama seperti Abi, mengakui Zulkarnaen menjabat posisi ketua dewan militer di Markaziyah JI. "Tapi sekarang saya tak tahu apa posisinya," ujar Saad kepada TEMPO, kala ditemui di Penjara Krobokan, Bali, beberapa waktu lalu. Tapi, menurut seorang bekas pemimpin JI (dia menolak disebut namanya karena alasan keamanan), posisi Zulkarnaen saat ini belum tergantikan. Dialah pemegang tongkat komando pasukan jihad, yang menjadi inti gerakan JI. Sebagai Ketua Dewan Askari, Zulkarnaen adalah jenderal bagi para laskar JI itu. "Ada tiga kategori laskar," ujar sumber itu. Pertama laskar biasa, yang anggotanya pernah ikut latihan militer selama empat sampai enam bulan. Lalu, kedua, Laskar Khos, yaitu satuan khusus yang punya kemampuan perang dan senjata, minimal ikut latihan militer tiga tahun. Ketiga adalah Laskar Istimata. Yang paling militan adalah Laskar Istimata. Mereka yang masuk satuan itu siap melakukan amaliyah istishadiyah (bom syahid). Anggotanya bisa saja direkrut dari luar JI. "Contohnya adalah kasus Iqbal Arnasan, yang menjadi martir dalam bom Bali," ujar sumber itu. Dia melanjutkan, dalam aksi bom di Hotel Marriott, JI pun menggunakan salah satu kader Laskar Istimata, yaitu Asmar Latin Sani. "Ketiga jenis laskar itu berada di bawah komando Zulkarnaen." Sebagai panglima, Zulkarnaen punya wewenang besar. Dia bertanggung jawab atas operasi intelijen dan "operasi pembangunan kekuatan". Lingkupnya antara lain pelatihan militer, baik kursus singkat enam bulan maupun memimpin "akademi militer" yang makan waktu tiga tahun. Selain itu, di tangan Zulkarnaen pula wewenang "operasi penggunaan kekuatan", semisal bom Natal dan bom Bali bisa dijalankan. "Untuk operasi seperti itu, Zulkarnaen harus mendapat izin dari Majelis Fatwa Markaziyah JI," ujarnya. Keterangan itu dibenarkan oleh Saad. Semua aksi memang harus melewati forum fatwa dulu, agar tindakan jihad menjadi sah secara organisasi. Namun, sejak Abdullah Sungkar meninggal pada November 1999, forum fatwa tak lagi berjalan. "Banyak operasi sekarang yang tidak diputuskan organisasi," ujarnya. Dia mencontohkan, bagaimana order dari Mantiqi I (wilayah Singapura dan Malaysia) justru dilakukan di Mantiqi II dan sama sekali tak diberitahukan lebih dulu kepada pemimpin struktur setempat. Mantiqi II berpusat di Solo, dengan wilayah operasi seluruh Indonesia, kecuali Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut Saad, kecakapan militer Zulkarnaen tergolong biasa saja. Tapi dia ahli dalam soal taktik tempur. Satu lagi, Zukarnaen juga kuat dalam soal komandaniyat (bahasa Afganistan berarti kepemimpinan—Red.). Lalu, apa yang menjadi tugas utama komandaniyat itu? "Manajemen organisasi tempur," ujar Saad mantap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus