MOBIL Daihatsu City metalik itu merapat ke sebuah bengkel penyejuk udara (AC) di kawasan Taman Universiti, Skudai, Johor Bahru, akhir 2001 lalu. Pengendaranya seorang pria berkacamata, berperawakan tinggi, kalem, dan tak banyak bicara. Arman, si pemilik bengkel, bersicepat meladeni pelanggannya. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung membongkar perangkat penyejuk udara di mobil. Sesekali ia mengajari sang pemilik bagaimana seharusnya mesin dan AC itu dirawat. Lelaki itu pun manggut-manggut.
"Saya malu setelah belakangan tahu dia itu ternyata ahli kimia dan jago meracik bom," kata Arman kepada TEMPO, yang menemuinya di Malaysia, September lalu. Tak lain, sang pelanggan yang diceramahinya tiap kali mereparasi mobil adalah Doktor Azahari Husin, ahli bom jaringan Jamaah Islamiyah. "Bisa jadi doktor itu lebih paham dari saya," Arman mengenang.
Azahari rutin mengecek kondisi AC mobilnya di bengkel Arman. Menurut Arman, kendaraan Azahari ada beberapa. Semuanya mentereng: Mercedes, Volvo, Pajero, dan juga Daihatsu City. "Saya kenal Azahari sebagai dosen yang royal," Arman menambahkan. Berapa pun ongkos yang diminta, Azahari langsung merogok kocek dan membayarnya. Si royal tak pernah menawar.
Hubungan baik antara pemilik bengkel dan dosen pendiam itu berjalan cukup lama, sekitar dua tahun. Sepanjang waktu itu pula Arman tak pernah tahu bahwa Azahari adalah master bom Jamaah Islamiyah, hingga ada pengumuman di televisi ihwal tuduhan keterlibatannya dalam kasus Bom Bali.
Nama Azahari, bekas dosen di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), pertama kali muncul pasca-tragedi Kuta, 12 Oktober 2002. Ia disebut oleh Ali Imron, salah seorang terdakwa peledakan itu, sebagai peracik dan perakit bom di rumah kontrakan di Jalan Pulau Menjangan, Denpasar. Hingga kini, Azahari masih jadi buron dan berada di deret teratas teroris berbahaya yang paling dicari aparat.
Berbeda dengan kader Jamaah Islamiyah yang lain, yang kebanyakan berasal dari desa dan berpendidikan rendah, Azahari sangatlah terpelajar. Pada akhir 1970-an, ia belajar ke Australia selama empat tahun. Saat itu tak ada anasir radikal ataupun keagamaan yang diminatinya. "Dia tak pernah bergabung dengan kelompok militan semacam itu," kata seorang pejabat kepolisian Malaysia.
Ia bahkan sempat gagal meraih gelar masternya di Adelaide gara-gara terlalu sering pelesir dan jalan-jalan. Titel itu baru bisa disabetnya setelah dia pulang ke Malaysia. Beruntung, setelah itu, ia mendapat kesempatan bersekolah di Reading University, Inggris, sekitar 1980. Terkesan dengan kecerdasannya, dosennya memberikan rekomendasi untuk menempuh program doktoral. Pada 1990, Azahari pun meraih gelar philosophiae doctor (Ph.D.) dalam kajian model statistika dengan predikat cum laude.
Sampai di sini, masih tak terjadi perubahan serius pada hidup pria kelahiran 14 September 1957 ini. Bersama istrinya, ia kembali ke Malaysia dan memilih menjadi dosen di Fakultas Teknik dan Ilmu Geoinformasi UTM di Skudai, Johor Bahru. Sebagai dosen, ia mampu mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangganya, malah hidup tergolong mewah. Arman bercerita, tak ada mobil bermerek lokal yang dimiliki Azahari. "Semuanya mobil impor," katanya, "Hampir tiap Sabtu dan Minggu, Azahari mengajak istrinya berkeliling kota."
Keluarga Azahari tinggal di kawasan Taman Teratai, sekitar lima kilometer ke arah selatan dari Taman Universiti, UTM. Kasatmata, mereka termasuk keluarga harmonis. Buat orang di lingkungannya, tak ada kesan radikal dalam diri Azahari, apalagi kejam. Semua orang terkecoh dengan penampilannya yang kalem dan pandai menyimpan perasaan. Arman menuturkan, sulit untuk menebak apa keinginan sesungguhnya Azahari. Suka atau tidak terhadap tindakan orang lain, dia hanya menimpalinya dengan diam.
Kini rumah asri di kawasan Taman Teratai tersebut sudah tak lagi ditempati. Istri Azahari kembali ke tempat asalnya, di Negara Bagian Malaka. Sedangkan sang suami harus berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian lain, menghindari sergapan petugas. Entah di mana ia berada kini.
Titik balik hidup Azahari bermula ketika pada 1991 ia bergabung dalam sebuah kelompok pengajian (usroh) di Skudai. Padahal, menurut seorang staf pengajar UTM, dulu Azahari sama sekali tak pernah mengutip ayat agama. Ia tercatat hanya pernah menulis buku tentang analisis regresi, salah satu bahasan dalam ilmu statistik, yang melulu merupakan bahasan ilmiah.
Dari situ, tanpa banyak diketahui publik dan rekan-rekan dosennya, Azahari lalu aktif di Pesantren Lukmanul Hakim, Ulu Tiram—tempat Amrozi dan Ali Gufron alias Muchlas (dua terpidana mati kasus Bom Bali) menempuh pendidikan agama.
Azahari tiba-tiba menjadi militan. Kadung menjadi pejuang garis keras, ia berteguh hati meninggalkan istrinya yang lagi sakit keras dan anak-anaknya.
Sumber TEMPO di Malaysia menyebutkan, Azahari lantas menjadi salah satu anggota dewan direktur Lukmanul Hakim. Tak lama kemudian, ia dikirim ke Mindanao, Filipina Selatan, pada 1999, untuk mengikuti pelatihan menembak dan meracik bahan peledak. "Pada saat itulah Azahari berkawan akrab dengan Fathur Rohman al-Ghozi," kata sumber itu.
Sepulang dari sana, pada tahun 2000, bersama Hambali alias Encep Nurjaman, Azahari mengikuti kursus bom tingkat lanjut di Kandahar, Pakistan, selama tiga bulan. Di kamp pelatihan ini, ia mempelajari berbagai jenis senjata mutakhir lainnya.
Sekitar Januari-Maret 2002, menurut keterangan Muchlas dalam berkas pemeriksaan di kepolisian Bali, Azahari dan seorang kawannya bernama Noordin Mohamad Top menyusul Ali Imron dan kawan-kawan, yang lebih dulu tiba di Thailand, setelah dikejar-kejar pemerintah Malaysia sejak akhir 2001. Mereka bertemu di Terminal Yala, di selatan Negeri Gajah Putih.
Bali adalah salah satu contoh "laboratorium" Azahari. Kepada para penyidiknya, Ali Imron, adik Muchlas, bersaksi: di suatu subuh, lima hari sebelum petaka meledak di Kuta pada 12 Oktober 2002, Azahari, yang menggunakan nama alias Alan, bersama Dulmatin, datang ke rumah Amrozi di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Siang harinya, mereka bertiga melaju ke Bali dengan mobil Vitara hijau milik Amrozi.
Di Pulau Dewata, Azahari, Dulmatin, bersama Ali Imron menginap di Hotel Harum, Denpasar. Setelah itu, mereka berpindah ke sebuah rumah kontrakan di Jalan Pulau Menjangan 18, Denpasar. Di tempat terakhir inilah Azahari meracik ramuan bom dari bahan-bahan yang dibeli Amrozi. Pada 10 Oktober, sekitar pukul 16.00 Wita, Azahari dan Dulmatin meninggalkan rumah kontrakan setelah mengajari Ali Imron cara memicu bom tersebut, yang telah dipasang di sebuah rompi dan mobil L-300.
Sejak saat itu, Azahari hilang tak berbekas. Aparat kuat menduga "doktor elmaut" ini masih berada di Indonesia. Baru belakangan jejaknya kembali tampak. Sejak awal tahun sampai April 2003, Azahari bersama Idris alias Gembrot diketahui pernah membantu usaha fotokopi milik Asmar Latin Sani, pengebom bunuh diri Hotel Marriott, di lingkungan kampus Universitas Bengkulu.
Tak pelak lagi, Azahari menjadi buruan nomor satu aparat intelijen banyak negara. Setelah Hambali tertangkap, Azahari bergeser ke daftar buron utama. Apalagi, konon, ketika diinterogasi agen Badan Intelijen Amerika (CIA), Hambali—salah satu pemimpin puncak Jamaah Islamiyah yang memiliki kaitan erat dengan Al-Qaidah—mengakui Azahari-lah yang menggantikan kedudukannya sekarang.
Seorang polisi Indonesia yang terlibat dalam pengejaran Azahari menggambarkan, lelaki itu memang "luar biasa" dalam urusan merangkai bahan peledak. "Dia ahli merakit bom dengan bahan campuran low explosive dan high explosive menjadi bom rakitan yang lebih dahsyat dari bom konvensional," ujarnya.
Sumber TEMPO yang bekerja untuk militer Malaysia pun mengatakan bahwa Azahari layaknya kamus bom berjalan, piawai merangkai kombinasi pemicu ledakan, dan nyaris tak pernah gagal. "Dia mampu meramu bom dalam bentuk apa pun dalam waktu singkat," katanya. Semua rumus bom seperti telah melekat erat di otaknya. "Dia sudah tidak perlu buka buku lagi, sudah hafal luar kepala."
Tapi benarkah dia punya kapasitas sebagai pemegang rantai komando? Sumber di militer Malaysia ini meragukannya, "Dia orang teknis, bukan sutradaranya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini