SUDAH setahun rumah itu kosong melompong. Terletak di tepi Jalan Pemali, Kebon Dalem, Pemalang, Jawa Tengah, gentingnya tampak pecah-pecah, dilempari orang dengan botol limun. Tak terdengar lagi celoteh dan kecerian anak-anak Joko Pitono alias Dulmatin. Tembok semen kusam tak bercat yang dulu bersih kini penuh coretan. Di antaranya, dan yang mungkin paling seram: "Rumah buron bom Bali."
Diceritakan, Dulmatin boyongan dari sana, bersama istri dan lima anaknya yang masih kecil, tergesa-gesa. Pakaian masih banyak berserakan, juga mainan anak seperti baby walker. Ia pergi seperti "hantu", tak satu pun tetangga yang melihat sekeluarga itu kabur. Sekitar sebulan setelah peledakan bom Bali, 12 Oktober 2002, tak ada lagi celoteh khas si mungil Adidah, 5 tahun, dan Usamah, 3 tahun, "Om Dedy, Om Dedy," ujar Dedy Syafruddin, tetangga sebelah rumah.
Dulmatin menjadi target polisi setelah peledakan bom Bali, yang menghanguskan Paddy's Café dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta. Bom hasil kerja ayah lima anak asal Pemalang dan Dr. Azahari—warga negara Malaysia—itu menewaskan 202 orang. Nama Dulmatin pertama kali disebut oleh Ali Imron, adik Amrozi dari trio Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, Februari 2003 lalu. Menurut Ali Imron, Dulmatin itulah yang memiliki keahlian merakit firing device—rangkaian elektronik yang memicu kerja detonator bom.
Atas "kecakapan"-nya itu, polisi menempatkan Dulmatin sebagai buron nomor wahid dari pelaku peledakan bom Bali, setelah Ali Gufron alias Muchlas, Imam Samudra, dan Hambali tertangkap. Mereka adalah pentolan organisasi bawah tanah Jamaah Islamiyah (JI) yang diduga terkait dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, JI resmi disebut organisasi teroris internasional.
Dulmatin lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan (alm.) Usman dan Masriyati, 60 tahun. Ketika ia duduk di kelas tiga SD, ayahnya wafat. Ia kemudian diasuh kakeknya, H. Sofi. Dulmatin kecil, yang bernama Joko Pitono, tergolong anak cerdas, terutama untuk pelajaran matematika dan elektro. Karyadi, 43 tahun, guru elektro di SLTP Negeri 2 Pemalang, mengatakan, "Nilai rata-rata elektronya 8,5, sedangkan matematikanya 9."
Jiwa pemberontak mulai terlihat ketika ia menginjak remaja. Di SMA 1 Pemalang, ia sering mendebat guru dan menentang aturan sekolah yang tidak dikehendakinya. "Ia juga tak pernah mau menghormat bendera Merah-Putih pada setiap upacara bendera," kata H.M. Mufid R., guru bimbingan dan penyuluhan (BP) SMA 1 Pemalang. Lantaran tak betah di sekolah negeri, setelah naik kelas tiga ia memutuskan pindah ke SMA III Muhammadiyah, Yogyakarta. Ia lulus pada 1990.
Setamat SMA, ia menjajal kebolehannya lewat Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ia memilih jurusan teknik elektro di Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung. Namun, nasib baik tak sedang berpihak padanya: dia tak lulus UMPTN. Gagal menjadi mahasiswa, ia merantau ke Malaysia. Menurut ibunya, Masriati, di Malaysia Dulmatin bekerja di sebuah pabrik barang elektronik.
Dulmatin jarang memberi kabar. Hampir selama tiga tahun keluarganya tak mengetahui keberadaannya. Barulah pada 1995, Dulmatin mendadak muncul di kampungnya. Ia kemudian menjajal hidup dengan menjadi makelar mobil. Selang setahun, ia menikahi gadis pujaan hatinya yang masih sepupu, Istiadah. Di Kantor Urusan Agama Petarukan, Comal, Dulmatin meminta penghulu mengganti namanya di buku nikah menjadi Asmar Usman.
Ketika itu Istiadah masih mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Namun, kuliahnya tak diteruskan setelah pihak kampus melarang ia memakai cadar—yang mulai dilakukannya setelah menikah. Dari perkawinan itu Dulmatin beroleh lima anak. Paling besar perempuan, berusia lima tahun, sedangkan yang bungsu laki-laki, lahir tak lama setelah bom Bali.
TEMPO, yang masuk ke rumah Dulmatin yang murung itu, menemukan barang-barang aneh, seperti tulisan dalam huruf Arab pegon di buku tulis kumal, yang setelah diterjemahkan seperti laporan hasil pengamatan: tanggal 6-2-2001, pukul 10.30 ibu muda turun dari becak, 13.00 ibu muda keluar dari rumah dengan anak-anak, 15.00 datang mobil CRN cokelat dengan nomor H 7938 MR.... Bahkan, dalam sehelai kertas yang disobek dari buku tulis, tampak tulisan semacam sandi. Pendeta = Manager Dealer, Gereja = Dealer, Alamat = Bis, Kendaraan = KIA, Jalan = H. Di bawahnya tertulis Nama = Pdt. Simotius Bekti, Alamat = Jalan Broto Joyo.
Sepak terjang Dulmatin terlacak di beberapa aksi peledakan bom. Ali Imron menyebut Dulmatin, yang pernah terjun dalam konflik Ambon dan Poso 1998, sebagai perakit bom Mojokerto pada malam Natal 2000 yang menewaskan seorang penjaga gereja dari Barisan Serba Guna NU. "Amrozi membeli potasium klorat, belerang, dan bubuk aluminium. Bahan itu diracik dengan TNT, detonator, dan firing device yang disediakan oleh Abdul Matin," kata Ale—panggilan akrab Ali Imron.
Menurut Ali Imron, dalam pertemuan di Hotel Mesir, Surabaya, Dulmatin adalah orang bawaan Hambali, yang ditangkap oleh agen Dinas Rahasia Amerika Serikat, CIA, dan polisi Thailand di Ayutthaya, Thailand Utara, pada 1 Agustus 2003. Jejak langkah Dulmatin sebagai "mesin pembunuh" juga terlacak dalam peledakan bom yang hampir membunuh Duta Besar Filipina di Indonesia, Leonides Caday, pada 1 Agustus 2000.
Sepak terjang Dulmatin dikisahkan oleh pelaku peledakan yang sudah tertangkap polisi, Abdul Jabar. Sebagai perakit bom yang menewaskan tiga orang, selain Jabar adalah Asmar Usman alias Dulmatin dan Fathur Rohman Al-Ghozi, anggota JI yang ditangkap militer Filipina di General Santos, Filipina Selatan, dan sekarang tak terdengar kabar beritanya setelah kabur dari tahanan. Karena itulah polisi terus memburu Dulmatin. "Usaha menangkap Dulmatin akan mengungkap peranan Dr. Azahari," ujar juru bicara Tim Investigasi Bom Bali, Komisaris Besar Polisi Zainuri Lubis
Polisi juga mencurigai Dulmatin di belakang aksi peledakan Hotel JW Marriott, 5 Agustus 2003. Diduga kuat, ia berduet dengan Dr. Azahari, gurunya di bidang rakit-merakit bom. Oleh Dr. Azahari, Dulmatin dipanggil "si genius". Guru dan murid ini diperkirakan membawa bom sisa ledakan Natal 2000 dari Bengkulu ke Jakarta. Mereka kemudian merakitnya di sebuah rumah kontrakan di Jalan Kemuning, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Di rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya yang berkendaraan minibus Kijang itu, para detektif dari Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri menemukan potongan kabel, solder, cutter, benda-benda yang dicurigai sebagai alat merakit bom. Bom Marriott, yang menewaskan 10 orang dan melukai puluhan lainnya itu, diledakkan oleh kelompok Bengkulu. Asmar Latin Sani diyakini polisi sebagai pelaku bom bunuh diri.
Dari jejak Asmar, polisi kemudian mengetahui bujangan ini telah menyembunyikan Dr. Azahari, Idris alias Gembrot, Nordin M. Top, dan Dulmatin, yang diperkirakan sudah berganti nama menjadi Feri Kurniawan. Dulmatin dikabarkan sering berkeliaran di tempat usahanya, sebuah kios fotokopi di dekat kampus Universitas Bengkulu. Maka, sebelum Dulmatin dan Azahari tertangkap, seperti dikatakan mantan Ketua Tim Investigasi Bom Bali, Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika, masih ada kemungkinan para pengebom beraksi lagi. Jika itu terjadi, rumah di tepi Jalan Pemali, Kebon Dalem, Pemalang, itu pun akan semakin murung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini