Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang melelahkan di Ibu Kota sepanjang tahun ini menjadi bagian penting dalam Kaleidoskop 2017. Nuansa konflik politik yang bergeser ke kasus pidana bahkan sudah muncul sejak pertengahan 2016.
Pelantikan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2017, menggantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat, tak serta merta menghentikan hawa panas residu pilkada yang kental sentimen SARA tersebut.
“Cerita (kasus) Al-Maidah 51 kian membuat suhu Pilkada DKI meningkat,” kata Mardani Ali Sera, mantan Ketua Tim Sukses Anies-Sandi, kepada Tempo pada Sabtu, 23 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Ini Bedanya Anies Baswedan dengan Jokowi Dalam Menata Tanah Abang
Sejumlah “korban” telah berjatuhan dari kedua belah pihak karena isu SARA. Ahok diputus bersalah dalam perkara penodaan agama pada 9 Mei 2017 dan harus mendekam dua tahun di penjara. Kasus ini dipicu pernyataan blunder Ahok yang menyinggung Alquran Surat Al-Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu pada September 2016 untuk menepis isu SARA menjelang Pilkada DKI 2017.
Adapun dari pihak pembencinya, yang secara politik disebut blok Anies-Sandi, ada Jonru Ginting dan musikus Ahmad Dhani yang menjadi tersangka kasus ujaran kebencian di media sosial. Kemudian Buni Yani divonis penjara 1 tahun 6 bulan pada 14 November 2017 karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan menyebar ujaran kebencian dan mengedit rekaman video pidato Al-Maidah Ahok di Kepulauan Seribu.
Rizieq Syihab, bos Front Pembela Islam yang paling depan melawan Ahok dengan isu agama dan ras, sampai kabur ke Arab Saudi sejak Mei 2017 sampai sekarang belum kembali. Berbekal visa umroh, Rizieq ngacir gara-gara dibayangi kasus chat porno dengan seorang wanita bernama Firza Husein yang beredar viral di media sosial.
Simak: Tanggapan Menarik Warga Jabodetabek Soal Remisi Ahok
Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, menilai Pilkada DKI 2017 paling brutal dalam konteks demokrasi di media sosial. Pilkada Jakarta membuat netizen sosial media terbelah menjadi dua kubu yang saling lempar opini negatif.
"Pilkada Jakarta itu Luber. Langsung, umum, berutal," kata Effendi dalam diskusi “Demokrasi Kebangsaan di Republik Sosial Media” di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) pada Kamis, 23 Maret 2017.
Jack Lapian, pendiri BTP (Basuki Tjahaja Purnama) Network, memandang Pemilihan Gubernur DKI 2017 sebagai pilkada terburuk dalam sejarah. “Mulai dari ayat sampai mayat. Terbukti cukup ampuh, ya Pilkada SARA ini,” ujarnya kepada Tempo pada Minggu, 24 Desember 2017.
Ampuh yang dia maksud adalah efektif membelah masyarakat dengan dengan kebencian. Ketakutan masyarakat bawah mencuat seiring dengan penolakan sejumlah kelompok mengurus dan mensalatkan jenazah pemilih Ahok pada putaran pertama pilkada 2017 yakni 15 Februari 2017.
Pilkada putaran pertama menghadirkan tiga kontestan, yakni Anies-Sandi, Ahok-Djarot, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Putaran kedua pada 19 April 2017 adalah pertarungan final Ahok vs Anies Baswedan.
Sentimen SARA yang disebar massif di semua lapisan masyarakat akhirnya manjur menghapus hasil kerja Ahok membangun Jakarta selama lima tahun. Hingga saat ini upaya kedua kubu berdamai juga tak terlihat.
Jack menyayangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sama sekali belum menjenguk Ahok di penjara Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, untuk mencairkan suasana. Padahal, keduanya berjanji menemui Ahok setelah dilantik. “Ketulusan tidak bisa difotokopi,” katanya.
Mardani Ali Sera tak sepakat jika isu Al-Maidah disebut penentu kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno meski diakui itu mempengaruhi perolehan suara. “Tapi (kami) tidak akan menang kalau strategi elektoral kami tidak tepat sasaran,” ucapnya.
Menurut Jack, berpolitik menggunakan agama sudah terlihat sejak demonstrasi ratusan ribu massa pada 4 November 2016 yang disebut sebagai Aksi Bela Islam 411. Dia mengutip pernyataan Presiden Jokowi di Istana malam hari setelah Aksi 411, “Agama telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik."
Demonstrasi 411 di depan Istana diikuti sekitar 200 ribu orang sebagai reaksi atas pidato Al-Maidah Ahok di Kepulauan Seribu, hanya sekitar tiga bulan sebelum coblosan. Demonstrasi lebih besar digeber pada 2 Desember 2016 atau Aksi Damai 212 dengan isu menuntut Ahok nonaktif dari jabatan gubernur setelah dijadikan tersangka kasus penodaan agama. Wacana yang dibangun sampai menyasar Presiden Jokowi.
Baik Aksi 411 maupun 212 memadati areal Bundaran Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal-Monumen Nasional (Monas)-Istana Negara. Aksi 212 dipusatkan di Monas, sama seperti acara Reuni 212 pada 2 Desember 2017, yang dihadiri Gubernur Anies Baswedan.
Dalam acara dari pagi hingga siang tersebut, dikumandangkan rekaman suara Rizieq Syihab. Dia membanggakan efek dari Aksi 212 terhadap hasil Pilkada 2017 yang dimenangi Anies Baswedan. “Akhirnya, Alhamdulillah dengan izin Allah penista agama lengser dan longsor,” kata Rizieq dalam rekaman suara. “Lengser dari jabatannya dan longsor ke penjara.”
Acara Reuni 212 bisa digelar di Monas setelah Anies Baswedan merevisi Peraturan Gubernur DKI Jakarta Gubernur Djarot yang melarang Monas untuk kegiatan budaya, pendidikan, sosial, dan agama per 13 Oktober 2017. Anies mengubahnya dengan Pergub Nomor 186 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, Monas.
Kegiatan pertama yang digelar berdasarkan aturan Anies Baswedan membuka kembali Monas dengan mengizinkan kegiatan Tausiah Kebangsaan pada Ahad, 26 November 2017. Anies berjanji memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan Monas, termasuk untuk Perayaan Natal 2017.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menyiapkan acara Natal 2017 yang rencananya digelar pada 5 Januari 2018 di Monas. Niat baik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan rupanya tak cukup membuat acara lancar jaya. Citra Monas sebagai sentral aksi kampanye politik berbalut agama memicu mayoritas organisasi-organisasi umat Kristiani menarik diri. "Kami tidak ingin kemurnian perayaan Natal ternoda,” ujar juru bicara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampouw. (Simak Kaleidoskop 2017: Natal Gagal di Silang Monas)
JOBPIE S. | M. Hendartyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini