Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kamboja, atau petasan penderitaan...

Sihanouk, lon nol, pol pot saling menikam. mereka mencabik-cabik negeri sendiri, kamboja. pendidikan bahkan kesehatan tak dihiraukan. berjuta-juta rakyatnya menggelandang tanpa masa depan.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Killing Fields, film yang melukiskan kesengsaraan di Kamboja, di zaman Khmer Merah, tak selesai di layar putih. Derita itu berlanjut, terus, di kehidupan nyata Kamboja dan di kamp pengungsi di Muangthai. Negeri yang tercabik-cabik inilah yang dicoba dibenahi lewat sebuah konsperensi tak resmi yang bernama Pertemuan Informal Jakarta, di Bogor, awal pekan ini. Adapun tiga bagian tulisan berikut disusun dari tulisan di The New York Times Magazine, yang merupakan reportase Barbara Crossete, wartawan majalah tersebut di biro Bangkok. Ditambah, laporan Asiaweek belum lama ini. SOK Kael seorang pelawak. Tapi ia tak bisa melucu lagi. Pertikaian terus-menerus di negerinya menyeret Sok Kael ke dunia yang jauh dari lawakan: terdampar ke barak pengungsian di negeri orang. Sementara itu, negerinya sendiri telah terpuruk menjadi salah satu negara paling miskin di dunia. "Kamboja tengah sekarat," kata seorang pendeta Budha. Dan Kamboja itulah negeri Sok Kael, negeri yang kini tampak berantakan. Gedung-gedung terbengkalai. Pembangunan terhenti. Luka akibat perang tak kunjung kering: candi terkenal Angkor Wat rusak berat, baliho yang menggambarkan pembunuhan masal rezim yang lampau terpampang di jalan, tumpukan tulang dan tengkorak korban menjadi obyek tontonan, dan kutukan terhadap Pol Pot, pemimpin Khmer Merah yang sadistis itu, terus terdengar. Perekonomian pun buruk. Pertanian -- merupakan tumpuan utama -- berjalan seadanya. Produksi beras 1,5 juta ton pada tahun lalu sudah merupakan kemajuan yang berarti. Apalagi bila dibandingkan dengan panen tahun 1982-1983, ketika kekeringan mencengkeram Kamboja. Sok Kael seorang pelawak. Namun, ia pasti tak akan tega menertawakan keadaan negerinya. Suasana kota suram. Setiap kali jam menunjuk pukul 9 malam, kesenyapan menyergap. Bila malam tiba, Phnom Penh bisa dibilang sebagai ibu kota negara tersunyi di dunia. Jangan tanyakan industri di sana. Kegiatan sektor itu masih jongkok. Yang layak disebut pabrik hanyalah sebuah pabrik tekstil di Phnom Penh. Di situ ditampung sekitar 750 orang pekerja saja. Target produksinya tahun ini, 2,5 juta lembar sarung. Itulah Kamboja, sebuah negeri yang tercabik-cabik. Bagi seorang luar, negara Kamboja amatlah serupa dengan rangkaian petasan yang entah berapa panjangnya. Gerakan gerilyawan komunis dan keberhasilan Vietkong menumbangkan pemerintah Vietnam Selatan adalah udara panas yang membikin kering dan menjadikan mercon itu siap meledak. Sedang yang menyulutnya adalah Amerika Serikat. Amerika menggunakan pimpinan tertinggi angkatan bersenjata Kamboja, Jenderal Lon Nol, untuk menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Norodom Sihanouk. Sejak itu Kamboja terus-menerus meledak sampai entah kapan. Sihanouk telah tersingkir. Lon Nol tidak tahan lama berkuasa. Lalu tampillah Pol Pot bersama Khmer Merah-nya ke pentas kekuasaan, menjungkirkan Lon Nol yang boneka Amerika itu. Pol Pot adalah figur yang tepat untuk meremuklantakkan negerinya. Barangkali ia memang lupa bahwa dirinya telah menjadi pimpinan negara. Pol Pot masih saja melangkah seperti ketika ia memainkan peran sebelumnya: kepala gerombolan pemberontak. Ia tetap tak punya hati. Hanya ada satu kata yang digemarinya. Revolusi. Khmer Merah memang berhasil memerahkan negerinya. Banjir darah terjadi di mana-mana. Kematian, bagi warga Kamboja waktu itu, menjadi acara rutin sehari-hari lebih daripada sarapan pagi. Ratusan ribu, bahkan jutaan orang, menerima kematian dengan terpaksa. Oleh bom, granat, ranjau, peluru, bayonet, pentungan, pukulan, atau kelaparan. Kamboja pun berubah menjadi pentas yang paling mengerikan dan memilukan. Kamboja adalah ladang pembantaian. Tak ada waktu tenang bagi kaum intelektual untuk lepas dari teror: pagi, siang, atau malam. Tentara Khmer Merah bisa datang setiap saat, membawa penduduk pergi, tanpa pernah kembali lagi. Kamboja adalah negara gerombolan. "Dari 40 siswa yang kuajar, kurang dari sepuluh yang masih hidup," kata Dam Soaun, seorang wakil kepala sekolah di Phnom Penh. Kamboja pernah punya 25 ribu guru. Tapi begitu Pol Pot berkuasa, tahun 1975, angka itu melorot drastis. Menurut Dam Soaun, hanya ada 5 ribu guru yang lolos dari kematian. Itu pun setelah melewati penderitaan pahit. Salah seorang di antaranya adalah Dam Soaun sendiri. Mungkin Pol Pot memang punya sisi gelap dalam hidupnya. Ia membenci pendidikan. Dan itu tak cuma ia lampiaskan dengan membunuhi para guru, tapi juga menghancurkan sekolah. Ada sekitar 6 ribu sekolah yang dirobohkan pasukannya. Sekarang, saat bel berdentang, murid-murid pun terpaksa berjejalan menuju sekolah-sekolah tersisa. Nasib dunia kesehatan tak lebih baik dari dunia pendidikan. Hampir 800 rumah sakit hancur total. Dan dokternya? Mereka tak lebih dari sekadar sasaran bayonet. Sebelumnya ada 500 dokter di Kamboja. Sesudah kemelut, tinggal 45 dokter. Yang lain bisa dipastikan tewas terbunuh atau dibunuh. Gerakan Pol Pot memang gerakan gerilyawan komunis sejati. Tak perlu kaum cendekia, tak perlu teknokrat, apalagi pemilik modal untuk membangun negeri. Mereka hanya memerlukan kerja massa, bila perlu dengan todongan senjata -- dan kenyataannya memang hanya dengan moncong senapan di punggung orang-orang mau kerja sukarela. Dengan cara itulah Pol Pot membangun Kamboja. Massa dikerahkan untuk membangun jaringan irigasi. Maunya sehebat yang telah dibangun Kerajaan Angkor -- zaman baik yang dilukiskan oleh utusan Cina pada tahun 1296 sebagai "negeri dengan panen tiga empat kali setahun, padi mudah didapatkan, perdagangan lancar, dan banyak wanita". Tentu saja itu tak mudah, mengingat sisa-sisa kualitas ketenagaan. Seorang penduduk, Heng Siu Heing, ingat: ia harus bekerja selama 16 jam sehari untuk membikin saluran irigasi, dan hasilnya praktis sia-sia. Tak ada tenaga ahli lagi di sana. Terlalu banyak ahli irigasi yang dibunuh Khmer Merah. Lainnya pergi mengungsi. Ketiadaan ahli adalah petaka: Kadang kanal yang dibangun terlalu kecil, lalu air pun melimpah ke luar. Kadang juga terlalu lebar, sehingga air lebih banyak merembes ke tanah. "Tapi selalu ada paksaan untuk membangun cepat, tak peduli macam apa. Jika tak kau lakukan, Khmer Merah pun membunuhmu," kata Heng, yang kini menjadi pimpinan lapangan proyek irigasi Kandal Stung. Petasan Kamboja terus-menerus meledak. Pada 1979, terjadi ledakan yang terlalu berarti untuk bisa disepelekan oleh sejarah. Pol Pot, yang begitu tajam kukunya itu, terjungkal. Masyarakat membenci langkah kejam Pol Pot. Sejumlah orang komunis lain pun tak suka kepadanya. Lalu, gerilyawan komunis yang berkiblat ke Vietnam mulai menguasai keadaan. Perlahan mereka mendesak, menumbangkan, dan memaksa Pol Pot kabur untuk bersembunyi di hutan-hutan Kamboja Barat. Sang penguasa baru tidak sendirian. Tentara Vietnam terlibat langsung bersama mereka. Heng Samrin tampil di puncak kekuasaan. Rakyat memang bersorak, meski rezim baru sebenarnya juga tak sesuai dengan harapan. Tapi mereka benci Pol Pot. Rezim Heng Samrin bagaimanapun memang lebih baik ketimbang pendahulunya: setidaknya membikin rakyat bisa tidur lebih nyenyak. Teror praktis berkurang. Pembantaian pun tak terdengar lagi. Tapi bukan Kamboja, tentu, kalau pertumpahan darah bisa langsung terhenti. Kamboja sudah terlalu tercabik-cabik ke dalam berbagai gerombolan. Pertikaian, tembak-menembak, terus saja terjadi meramaikan suasana Kamboja yang sunyi. Pemerintahan baru mencoba memperbaiki keadaan. Langkah pertama adalah mengutuk kekejaman Pol Pot. Puluhan ribu tulang -- sisa-sisa korban tak berdosa -- digali dari lubang kubur masal. Lalu ditumpuk dijadikan bahan tontonan, seolah merupakan pamflet: ini kerja Pol Pot. Setelah itu, mereka membenahi semua sektor. Tapi hambatan menghadang. Keadaan Kamboja sudah terlalu remuk. Bantuan dari luar sulit diharap: Barat sangat tidak suka pada keterlibatan Vietnam. Bekerja sama dengan Vietnam dan Uni Soviet, Kamboja memperbaiki diri. Pendidikan adalah titik terpenting. Kini diperkirakan sekitar 2 juta anak memerlukan sekolah. Mereka perlu guru, tentu. Kursus guru dibuka di semua provinsi. Suatu pendidikan khusus diharapkan bisa memenuhi kebutuhan itu: mencetak 30-an ribu guru dalam waktu singkat. Kalau bisa malah mencapai angka 50 ribu. Tampaknya, gebrakan ini menggugah minat banyak orang menjadi guru. Mungkin lantaran sulit lapangan kerja. Padahal, gaji mereka tak begitu bagus. Dengan setengah hari bekerja para guru rata-rata hanya mendapat gaji sekitar 3 dolar AS sebulan. Maka, seperti juga di mana-mana, kebanyakan guru membuka les. Bagaimanapun, gambaran pendidikan di Kamboja masih menyedihkan. Jutaan orang dewasa buta huruf. Hanya di daerah kota sekolah berjalan relatif lancar. Murid murid berjejalan di setiap kelas, yang kadang-kadany berisi 60 murid, bahkan lebih. Diperkirakan, hanya 12 persen dari mereka yang masuk SD bisa menyelesaikan SMP-nya. Angka ketidaknaikan pun tinggi: 25-30 persen siswa harus mengulang pelajarannya. Entah mengapa begitu. Departemen pendidikan menduga, masalahnya menyangkut kurikulum dan kelangkaan buku teks. Di Phnom Penh, yang kondisi pendidikannya lumayan bagus, sejumlah anak usia sekolah masih tampak bermain-main di rumah saja. Tak ada uang buat membeli buku dan pensil, katanya. Ada juga yang mengaku bahwa sekolah kelewat jauh dari rumah, tak ada uang buat ongkos kendaraan. Seorang pengamat Barat menilai: di Kamboja segalanya masih serba amatir. Baru tahun 2000 nanti, kira-kira, keadaan menjadi normal, walaupun belum bisa dikatakan baik. Universitas Phnom Penh sudah dibuka sejak Maret lalu. Tapi suasana kelas di perguruan tinggi masih belum berbeda dengan di SD. "Hubungan guru-murid berlangsung sepihak. Kreativitas tidak muncul," kata pengamat itu. Agaknya suasana masa Pol Pot masih menghantui benak mereka. Mereka masih enggan tampak lebih pintar ketimbang lainnya. Di sektor medis, keadaan juga mengkhawatirkan. Kebutuhan air bersih untuk rumah sakit saja belum teratasi. Truk-truk mengangkut air ke situ dengan bak terbuka. Seorang Kamboja berkata, ia pernah melihat ayam melenggang tenang di kamar operasi. Padahal, tempat itu adalah rumah sakit paling penting di Kamboja saat ini: Rumah Sakit Persahabatan Kamboja-Soviet. Di situ 459 staf bekerja, termasuk 34 dokter Kamboja. Dan Soviet membantu dengan menempatkan 29 orang dokter dan teknikus di situ. Seorang perawat mengeluh. Kantung-kantung darah dan banyak peralatan lain digunakan kembali tanpa sanitasi sama sekali. Kontaminasi darah sering terjadi. "Seorang anak dirawat karena anemia, diberikan transfusi darah, lalu berangsur menguning dan meninggal," tuturnya. Dr. Pen Phimean, wakil kepala rumah sakit itu, mengakui kondisi lembaganya memang belum normal. "Fasilitas kami sudah ketinggalan zaman," katanya. "Pasien yang sakit parah harus dikirim ke luar negeri." Tenaga medis di Kamboja memang masih jauh dari mencukupi. Menurut dr. My Samedy, dekan fakultas kedokteran, di Kamboja hanya ada seorang dokter untuk 30 ribu penduduk. Di Vietnam masih mendingan, satu banding dua ribu. Mereka hendak memperkecil perbandingan itu lewat pendidikan. Pendidikan kedokteran belum normal. Padahal, menurut Samedy, sebelum tahun 1975, mutu pendidikan kedokteran negeri itu "sama dengan Prancis". Kini, dengan bantuan tenaga dari Vietnam, Uni Soviet, Jerman Timur, dan Prancis, mereka berusaha kembali mengejar ketinggalan. Sejak tahun 1979 -- disebut juga tahun pemulihan -- sudah 356 dokter baru yang diluluskan. Tapi kemampuannya hanya cocok untuk kebutuhan masa lalu, tak memenuhi tuntutan kebutuhan kini. "Kami butuh dokter untuk pengobatan umum. Kami butuh teknologi. Kami butuh spesialis, ahli bedah, dan kampanye pencegahan penyakit," katanya. Bukan hanya pendidikan kedokteran yang dikembangkan. Sekolah-sekolah kejuruan dihidupkan pula. Heng Siu Heing, misalnya, menjadi lulusan pertama sekolah teknik Soviet-Khmer di Phnom Penh, sekolah yang di antaranya mengajarkan kelistrikan dan pengairan. Kursuskursus bahasa asing, terutama Inggris, banyak diminati para remaja. Mereka juga tahu bahwa belajar bahasa Inggris, "lebih baik ketimbang bahasa Rusia atau Vietnam." Sewaktu wartawan Barat datang, seorang pelajar mendekatinya. "Saya telah belajar bahasa Inggris selama tiga tahun, kamu orang asing pertama yang bercakap-cakap dengan saya." Biasanya, menurut pelajar itu, polisi selalu mengusir anak-anak agar tak mendekati orang asing. Mereka mengaku sering menyetel radio, mendengarkan siaran Suara Amerika. Bukan hanya untuk mendengar berita Barat, tapi juga menambah pemahaman Inggris mereka. Isi pelajaran di sekolah -- ini biasa di negeri komunis -- juga dalam pelajaran bahasa Inggris, mengandung pula doktrin. Misalnya, ketika memperkenalkan kata "memperbaiki" kepada para murid, guru itu memberi contoh dengan kalimat: "Sekolah yang rusak pada masa Pol Pot telah diperbaiki." Banyak siswa secara sembunyi-sembunyi ingin berbincang-bincang dengan orang asing. Soal Pol Pot, soal Sihanouk, atau rencana perdamaian di Kamboja. Ketika ditanya bagaimana pendapatnya soal politik dalam negerinya, salah seorang menjawab, "Saya tak berani berpendapat, sebelum orang Vietnam pergi." Masih amat suram, Kamboja. Perekonomian remuk. Industri dicoba ditegakkan, tapi mana ada modal. Yos Tith, manajer pabrik tekstil, menyatakan akan memodernkan pabriknya. Sejumlah peralatan bikinan Jepang yang sudah usang tengah diperbaiki. Ia berharap, tahun 1990 nanti usahanya bisa berjalan pada kapasitas penuh. Industri lainnya: jangankan berkibar tiangnya pun belum ada. Pemerintah bukannya tak berusaha. Keran devisa yang kini mampet diusahakan mengalir kembali. Bidang pariwisata pun dilirik, sejak tahun 1986 lalu. Tapi tak mudah. Perang, baik di masa lalu maupun kini, adalah batu pengganjal yang menghambat arus turis. Hampir tak ada hotel buat pelancong. Kebanyakan kamar hotel utama telah terisi oleh orang-orang asing: para pekerja sosial, juga petugas dari berbagai organisasi internasional. Sejumlah kamar lain dipakai buat perwakilan Soviet atau delegasi pemerintah yang acap kali datang ke Phnom Penh. Hanya ada 32 kamar di hotel itu yang tersedia buat turis asing. Memang hanya kamar itu yang layak buat wisatawan. "Sejauh ini, ada 40 perusahaan wisata asing bekerja sama dengan kami," kata Pum Sichan, anggota lembaga turisme setempat. "Lebih banyak lagi yang menyatakan hendak datang." Namun, baru beberapa gelintir turis datang. Pada 1987 hanya tercatat 429 orang wisatawan asing. Tahun ini angka itu agaknya akan jauh lebih bagus. Dalam dua bulan pertama tahun ini sudah datang 700 turis ke Kamboja. Tak seorang pun yang datang dari blok Timur. Kesulitan memang masih menghadang siapa pun yang hendak datang ke negeri itu. Praktis hanya lewat Vietnam orang luar mudah datang ke Kamboja. Mereka pun menerima turis hanya lewat Ho Chi Minh (dulu Saigon). "Kami menandatangani perjanjian dengan agen perjalanan Saigontourism." Agen perjalanan inilah yang menjaring turis-turis Barat. Angkor Wat di bagian barat Kamboja kini pun sepi. Padahal, hingga tahun 1970-an, candi itu obyek wisata ramai. Tak kurang dan 10 ribu wisatawan datang ke sana setiap bulan. Sekarang kunjungan ke Angkor Wat hanya bisa sehari, di siang hari. Tak ada hotel buat mereka menginap. Temple Hotel telah rusak karena pengeboman Amerika pada masa Lon Nol. The Grand Hotel pun berantakan pada zaman rezim Pol Pot. Akhir Maret lalu sejumlah penerbangan carteran buat turis ditunda. Para ahli dari Jepang yang hendak merestorasi puing-puing candi menangguhkan datang. Sejumlah wisatawan Amerika yang masing-masing telah mengeluarkan uang 6 ribu dolar untuk liburannya hanya buat mengunjungi Angkor Wat merasa kaget. Pemandu mengumumkan bahwa mereka hanya akan ke Kota Ho Chi Minh. Sebab, "tak dapat kontak" dengan bandar udara Siem Riep di Kamboja. Para turis itu pun mendapat uang kembali 50 dolar. Sejumlah sumber mengatakan, pemberontak menyerang daerah itu. Pemerintah membantah: soal keamanan tak ada masalah -- begitulah selalu pemerintah bilang. Dan beribu maaf dimintakan dari para turis yang tak beruntung itu. Pemerintah Kamboja memberi isyarat bahwa mereka hendak memperbaiki keadaan. The Grand Hotel sedang direnovasi. Tahap pertama boleh diharap selesai akhir tahun ini. Investor Hungaria juga bermaksud memperbarui Khemera Hotel di Phnom Penh. Yang termegah dari semua itu adalah Cambodiana Hotel. Mempunyai 500 kamar, hotel ini menjulang di sisi Sungai Mekong. Cambodiana Hotel dibangun pada akhir 1960-an. Namun, belum sempat menerima seorang tamu pun. Desain interiornya telah remuk akibat perang, dan hotel pun dibiarkan kosong selama 18 tahun. Sekarang Uni Soviet telah menandatangani perjanjian pemugaran kembali, mulai tahun 1990 nanti. Sementara itu, keterbatasan akomodasi menjadikan Kamboja ke posisi puncak daerah wisata yang paling primitif di dunia. Bagaimanapun keadaannya, Phnom Penh terus berdenyut. Dan makin keras denyutnya. Tak ada kegiatan apa-apa bila malam tiba, memang. Bagi orang asing cuma ada sedikit yang bisa menjadi hiburan. Di Monorom Hotel Phnom Penh, band lokal membantu memecah sunyi ala kadarnya. Bir Heineken bisa dinikmati dengan harga 1,25 dolar AS. Sedang Coca-Cola atau 7-Up berharga 75 sen dolar. Harga-harga memang terasa murah bagi orang asing. Tapi bagi penduduk, terasa mencekik leher. Seekor ayam berharga 120 riel -- mata uang Kamboja -- kira-kira sama dengan 1,2 dolar AS. Jumlah itu sama dengan hampir separuh gaji guru atau dokter muda. Penghasilan rata-rata "kelas menengah" sekitar 300 riel sebulan. Karena itu, seperti juga di Indonesia banyak orang yang kecanduan lotere. Mereka mengharap bisa meraih hadiah tertinggi sebesar 80 ribu riel. Seperti di negeri komunis lain, pasar gelap tumbuh subur. Banyak pilihan bisa diperoleh di situ. Mereka juga sangat menghargai dolar. Pemerintah menetapkan kurs dolar sama dengan 100 riel. Di pasar gelap harga bisa berlipat. Vietnam secara resmi masih bercokol di sana. Penarikan pasukan memang telah terjadi, walaupun baru sebagian. Kini kehadiran pasukan Vietnam tak mencolok mata. Hanya baru-baru ini saja bertruk-truk tentara Vietnam datang ke stadion Phnom Penh. Mereka ternyata datang tak untuk berperang, melainkan bertanding sepak bola melawan tim Kamboja. Entah kapan Kamboja akan kembali normal. Pertikaian politik masih terus saja terjadi. Letusan peluru acap kali terdengar, merobek sunyi hutan barat daya. Rakyat Kamboja makin terimpit kemelaratan tanpa bisa bangun. Ratusan ribu warga mereka masih tinggal di negara tetangga, di Muangthai, di kamp pengungsian yang amat buruk kondisinya. Si petasan panjang Kamboja masih akan terus meledak, tanpa harus disulut lagi. Tampaknya, hanya sikap realistis dan uluran tangan asinglah -- yang kini memboikot mereka -- yang mampu menyelamatkan negeri itu untuk tidak menjadi serpih-serpih yang tak berarti. Zaim Uchrowi Wajah-Wajah Pengungsi Mereka pelawak, mereka pengusaha, dan mereka tentara . . . komunis atau bukan. Kini semua terbelenggu dalam barak pengungsian. Sedikit air, secupak tanah, sesuap makanan, dan "orang-orang Thai mengangkut lima sepeda kami." LIMA belas tahun silam, Sok Kael, 48 tahun, masih jadi tentara Kamboja. Ia -berperang melawan tentara komunis ..., Khmer Merah pimpinan Pol Pot. Setelah Khmer Merah berhasil menguasai Kamboja, tahun 1975, ia dan beberapa serdadu lainnya dikirim ke pertanian kolektif. Tidak seperti ribuan yang lainnya, dia mampu bertahan. Hingga kini, mereka, Sok Kael, dan Choeun Chom, istrinya, masih mampu mempertahankan kehidupan keluarga kecilnya. Pada awal 1979, keluarga ini berhasil meloloskan diri saat rezim Pol Pot porak poranda. Tentara Vietnam pun jadilah penguasa yang baru. Ketika Kael mencapai perbatasan Muangthai, anak tertuanya, Sok Tom, bergabung dengan tentara anti-Vietnam. Malang, si sulung 9 kehilangan sebelah kaki dan sebelah matanya demi mempertahankan tanah air. Anak keduanya, Sok Prach, ikut berjuang sebagai pemandu jalan. Dia memimpin serdadu Kamboja dan penduduk sipil untuk mencapai kampung pengungsi di perbatasan yang memisahkannya dengan si sulung. Bagaimanapun, mereka masih merupakan kesatuan keluarga. Sampai mereka menetap di Site 2, kamp pengungsi Kamboja yang berbatasan langsung dengan Muangthai. Dalam kesempatan berbeda, Sok Kael memanfaatkan waktu menjadi tukang tembang dan pelawak. Dia menulis balada tentang kehidupannya, yang diberi judul Nasib Malang Seorang Lelaki. Simaklah hasil coret-coretnya: "Kisah sedihku bagaikan daun gugur" 16 Januari istriku tidur dengan lelaki lain Oh, wanita ayu, pergilah kau, pergilah dari sini" Perempuan itu telah pergi. Celakanya. kartu keluarga, yang memungkinkan mereka bisa mendapat jatah makanan dari organisasi-organisasi yang membantu, ikut dibawanya. Dengan kartu itulah, padahal, jatah beras -- satu keluarga hanya mendapat satu kilo beras minyak goreng sebotol kecil, dan ikan asin baru bisa diambil. Dengan jatah sebanyak itu -- tanpa memperhitungkan berapa jumlah anggota keluarga -- banyak pengungsi lalu cari akal. Misalnya, anak-anak didandani seperti orang dewasa, agar layak mendapatkan satu jatah lagi. Kalau petugas pembagi jatah ragu-ragu menentukan apakah dia orang dewasa atau anak-anak, ia lalu menyuruh "orang" itu menggapai kuping kiri dengan tangan kanan lewat kepala. Kembali ke kisah Sok Kael. Setelah 30 hari, dua anak Sok Kael yang terkecil tak memiliki apa-apa lagi untuk dimakan. Yang besar gadis berusia 13 tahun dan si bungsu lelaki berusia 7 tahun. Mereka tak pernah mengecap dunia pendidikan. Sok Kael, sosok seorang yang terusir dari negerinya akibat perang yang berkepanjangan. Dia hanyalah salah satu dari hampir 300 ribu penduduk Kamboja yang kini hidup di perbatasan Muangthai. Rumahnya hanyalah sebuah gubuk bambu, dengan lantai tanah berlumpur dan atap rumbia. Kemewahan satu-satunya, mungkin, adalah ikan kecil yang berenang-renang dalam kantung plastik, di salah satu sudut gubuk itu. Chea Sokha, 30 tahun, tetangga Kael, bertutur bahwa yang paling bernasib malang adalah para suami yang ditinggal mati atau kehilangan istri. Atau juga, bila istrinya kabur begitu saja. Betapa tidak. Para lelaki di Site 2 telah tercerabut dari akar tradisi yang mengharuskan lelaki bekerja mengolah tanah atau menjadi buruh dan membangun rumah bagus untuk keluarganya. Di sini mereka hidup tanpa masa depan. Pada akhirnya, keadaan porak poranda tak terhindarkan lagi. Kebanggaan dan harga diri mereka sebagai lelaki tak ada lagi arti. Sehari-hari mereka hanya mengisi waktu dengan berjudi, mengadu ikan. Ada juga yang membuka kios pemangkas rambut di bawah pohon dengan peralatan seadanya. Untuk menumbuk gabah, ibu-ibu harus menggali tanah dulu lalu melapisinya dengan karung plastik. Barulah mereka bisa mulai menumbuk. Jatah air pun sangat terbatas. Maklum, tangki-tangki didatangkan dari tempat yang cukup jauh. Karena itu, ada kalanya mereka mau memikul air sekadar mendapatkan uang lelah. Sering lelaki dan perempuan dari Site 2 nekat menyelusup ke perkampungan penduduk Muangthai. Mencuri. Mereka menempuh risiko besar: dihadang tentara paramiliter Muangthai yang setiap saat siap menjaga perbatasan, atau kepergok bandit-bandit yang semakin merajalela di kawasan itu. Suos Sophy, 43 tahun, adalah bekas penyelundup. Untung, dia berhasil menyelinap ke Site 2, kendati harus kehilangan sebelah kakinya. Ia tinggal sendiri. Keluarganya tercerai-berai ketika terjadi kerusuhan di wilayah perbatasan. Ia bahkan tak tahu pasti di mana anak-anaknya kini berada. Bisa jadi, sudah diboyong ke Amerika oleh pihak yang mengadopsi. Sebagai pengungsi, tampaknya mereka tak dibiarkan tenteram, termasuk untuk soal-soal pribadi. Tentara Muangthai tak akan membiarkan mereka tampak sedikit makmur. Seseorang, yang mungkin semula pengusaha, dengan ragu-ragu menceritakan bagaimana ia berupaya mencari uang dengan mengaryakan sepedanya. Ia menjadikan sepeda butut sebagai alat angkutan di kompleks Site 2 yang luas itu. Tapi pada suatu hari, "pada pukul 9 pagi, truk yang memuat orang-orang Thai mengangkut lima sepeda kami," tuturnya. "Mereka berpakaian biasa, tapi punya pistol. Kami berusaha lari. Tapi mereka berhasil menangkapku. Aku dihajar habis-habisan. Ada delapan sepeda yang diangkut hari itu. Kata mereka, tidak boleh bersepeda di kompleks ini, tanpa menyebut alasannya." Seorang ibu dengan bangga memperlihatkan baju yang dipakainya. "Ini dari rakyat Indonesia," katanya, sembari mengelus bayi yang tertidur dalam buaian kain sarung. Sama halnya dengan nasib para pengungsi lain, tak jarang dia mengemis untuk sekadar mendapatkan beras bagi anak-anaknya. Di lapangan tanah yang gersang, anak berlarian mendekat. Sekantung gula-gula habis diserbu dalam sekejap. Tentu saja ada yang menangis, tak kebagian. Di kejauhan, beberapa anak bermain gerobak kayu. Dunia ceria mereka seolah tak terusik oleh keadaan yang sesak dan runyam itu. Site 2 terbentang luas di areal yang miskin air. Terletak di kaki Gunung Dong Rek, Provinsi Prachinburi, sekitar satu kilometer dari perbatasan Kamboja-Muangthai. Inilah perkampungan pengungsi terbesar di perbatasan kedua negara tersebut. Penghuninya hampir seluruhnya dari Kamboja, pengikut KPNLF (Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer), yang dipimpin bekas Perdana Menteri Kamboja Son Sann, 76 tahun. Di sana-sini terlihat sisa-sisa gubuk yang dibakar tentara Vietnam. Masih terlihat kepulan asap dari reruntuhan gubuk-gubuk itu. Son Sann mengantar kami mewawancarai tentara Vietnam yang tertangkap. Memang, tak jarang tentara Vietnam menyerang sampai masuk ke perbatasan Muangthai. Bisa disebut, Site 2 adalah "kota" terbesar yang berpenghuni masyarakat Kamboja. Sebuah kota tanpa nama, kecuali sebutan dalam bahasa Inggris "Site 2". Hampir 165.000 suku Khmer, suku bangsa Kamboja yang terbesar, bermukim di Site 2. Mereka tunduk pada kebijaksanaan pemerintah Muangthai yang melarang mereka menggapai dunia luar. Bahkan untuk mendapatkan keterampilan yang suatu saat kelak bisa digunakan untuk membangun negeri mereka kembali pun tak mudah. Pakaian, makanan, dan pengelolaan sepenuhnya di tangan lembaga-lembaga bantuan internasional. Mereka benarbenar terpojok, terhina, dan tertekan. "Ini adalah tempat dan bentuk bantuan bagi pengungsi yang terbaik di seluruh dunia," kata seorang sukarelawan bangsa Eropa. "Makanan obat-obatan, dan pakaian sudah tersedia bahkan sampah-sampah dikumpulkan. Tapi kami tak dapat membahagiakan mereka. Kami tak dapat memberi mereka sebentuk harapan." Sok Kael dan ratusan ribu pengungsi lainnya adalah korban perang gerilya yang berkepanjangan. Mereka bergantung pada bantuan Muangthai, Malaysia, Cina, dan negara-negara Barat. "Kamboja sudah mati," tutur pendeta Budha suku Khmer kepada pendeta Katolik yang mengunjungi Site 2. Ketidakpastian itu agaknya yang pada akhirnya menimbulkan kerusuhan di Site 2. Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah kekerasan terus meningkat tajam. Bukan hanya dengan tetangga bahkan dengan saudara. Ratusan ribu orang, tanpa harapan masa depan, berjejal di gubuk-gubuk kumuh, menjadi semacam laboratorium ideal untuk sebuah penelitian tentang tekanan jiwa dan sakit mental. Di sini bukan aneh bila terjadi kasus kriminalitas yang dikategorikan kejahatan dalam keluarga. Anak kecil dikapak sampai mati seorang lelaki lima kali dihunjami pisau karena dendam keluarga. Lalu, sepasang manusia mencoba bunuh diri. Pelacuran pun merajalela. Bila orang menginginkan janda, cukup membayar US$ 2, dan untuk yang masih gadis, tarifnya hanya US$ 4. Akibatnya, penyakit raja singa ikut melonjak. Kamp pengungsi memang bukan hotel. Tapi yang diperuntukkan orang Khmer di Muangthai memang tempat yang lantak, hitam, busuk. Yulia S. Madjid Mereka yang Terpaksa Menadahkan Tangan Diperbatasan, kamp pengungsi di Muangthai itu terletak. Miskin, sengsara, cuma ada sekolah dasar, di sini harapan pun nyaris tiada. Merekalah monumen pertikaian Kamboja. TRAGEDI Kamboja tercermin pada gubuk bambu, lantai tanah, dan pakaian compang-camping para pengungsinya di Muangthai. Atap nipah dan plastik berbentangan sederhana, sekadar melindungi dari terik dan gerimis. Anak-anak bermain tanpa baju. Orang-orang cacat, karena ranjau atau lainnya, tak terhitung lagi. Lalu jadilah kamp pengungsian itu sebagai "kota Kamboja" terbesar di perantauan. Bahkan lebih besar dari kota-kota lain di Kamboja, kecuali Phnom Penh. November 1984, ketika Vietnam menyerang gencar tiga kelompok perlawanan Kamboja, terdapat 55 ribu tentara dan 200 ribu warga sipil yang terlibat perang. Dengan tank dan artileri berat, pasukan Vietnam mendesak lawannya tentara dan orang sipil -- menuju ke perbatasan Muangthai. Gempuran Vietnam mereda pada awal tahun nak 1985. Para gerilyawan menyusun barisan lagi, an dalam satuan yang lebih kecil untuk memudahkan mereka menyusup kembali masuk Kamboja. Para warga sipil berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka mencari aman. Yang paling memungkinkan adalah bergerak di sepanjang daerah perbatasan Muangthai. Di situlah mereka diurusi oleh banyak lembaga dunia, yang bergerak di situ sejak tahun 1979. Lembaga-lembaga itu dikoordinasikan oleh United Nations Border Relief Organisation, UNBRO. Bagi pengungsi, hidup menetap di pengungsian baru setelah tahun 1985 -- di negeri seberang perbatasan. Namun, sikap Bangkok tegas. Mereka tetap tak diizinkan terus tinggal di Muangthai. Di sini orang-orang Khmer tak banyak mendapat simpati. Muangthai memang tak menaruh hormat kepada tetangganya satu ini. Itu soalnya bila Muangthai tak berniat mengembangkan permukiman sementara bagi pengungsi Khmer. Prasong Soonsiri, staf Perdana Menteri Prem Tinsulanonda, dalam sebuah wawancara menyatakan itu. Pertimbangannya tentu bukan soal kebencian itu. Tapi Muangthai melihat upaya itu hanya akan menarik datangnya pengungsi lebih banyak. Selain itu, mereka tak mau para pengungsi itu terlihat hidup dengan standar yang lebih baik ketimbang masyarakat pedesaan Muangthai. Bagaimanapun, pengungsi Kamboja tetap berdatangan. Umumnya mereka percaya, dengan hidup di kamp pengungsian suatu hari akan mendapat jalan ke Barat. Delapan tempat pengungsian itu kini sudah seperti kota satelit. Lihatlah Site B di Provinsi Surin. Sebanyak 52 ribu pengungsi hidup tenang di sana. Mereka adalah tentara Sihanouk, pasukan khusus pengawal raja. Di bawah kendali anak Sihanouk, Pangeran Norodom Ranariddh, Site B menjadi contoh baik sebuah tempat penampungan pengungsi: kebun sayur, air bersih, pepohonan yang rindang, dan udara yang jernih. Para pengikut Khmer Merah Pol Pot menempati lima permukiman. Yang terbesar adalah Site 8, yang dipenuhi 32 ribu orang. Bagi pekerja sosial dan wartawan asing, permukiman pengungsi yang ini mudah dikunjungi. Sementara itu, kamp Khmer Merah lainnya sangat tertutup. Soalnya, kendali pimpinan dipegang oleh orang yang bergaya Pol Pot: mengobarkan kekerasan. Petugas PBB pun kesulitan untuk datang ke sana memonitor pembagian bantuan. Ada juga orang Kamboja yang bisa lolos dari kamp. Mereka menuturkan bahwa di sana ada penjara rahasia dan kerja paksa. Para pekerja sosial dan pemimpin barisan demokrasi meyakini itu. Diperkirakan, sebanyak 80 persen penghuni kamp itu pasti akan pindah ke kamp yang bukan komunis, bila diberi kesempatan. Tak semua kamp di bawah kekuasaan komunis. Site 2, misalnya. Penghuni kamp ini kebanyakan pengikut KPNLF, Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer. Sebuah organisasi perlawanan yang dibentuk oleh Son Sann, dulu perdana menteri Kamboja, yang kjni berusia 76 tahun. Kamp inilah yang paling banyak menarik pengungsi, terutama dari kelas menengah. Mereka kurang tertarik untuk pergi ke kamp lain, termasuk ke Site B, yang berkiblat pada Sihanouk pun. Para pelarian itu memang masih menghorrnati Sihanouk. Tapi mereka bukan lagi loyalis raja itu. Mereka kecewa atas sikap Sihanouk yang sempat mendukung Khmer Merah. Bagaimanapun, para profesional, pekerja kantor, dan pemilik ladang-ladang kecil tak ingin jatuh lagi ke tangan Khmer Merah dengan Pol Pot-nya Mereka tak ingin negeri yang ditinggalkannya menjadi ladang pembantaian lagi. Site 2 dibagi menjadi lima bagian. Masing-masing berasal dari kamp yang terpisah di perbatasan. Setiap bagian dipimpin oleh seorang staf administrasi Kamboja. Merekalah yang berhubungan langsung dengan lembaga-lembaga dunia, juga dengan pemerintah Muangthai. Di antara pengungsi, ada yang datang dari San Ro, sebuah desa berpenduduk 14 ribu orang. Itulah desa yang hangat, akrab, sebelum tercerabut lantaran perang. Lay Khaik, nama pemimpin masyarakat di sini. Ia pergi mengungsi untuk mencari kesempatan "bergabung dengan saudaranya di Amerika". Tapi hingga kini ia masih berada di penampungan pengungsi. "Sekarang," ujarnya, "ruang hidupku terasa sangat sempit." Bukan hanya Lay Khaik yang mengeluh. Para tokoh pengungsi lainnya juga. Mereka merasa, pemerintah Muangthai terlalu membatasi kegiatan pengungsi. Sekolah pun tak boleh didirikan dalam kamp, kecuali sekolah dasar. Namun orang macam Thou Thon membangkang. Ia mendirikan SMP di situ, walaupun dengan murid yang sangat sedikit dan dengan kondisi seadanya. Dengan kekangan begitu maka praktis para pengungsi itu makin bergantung pada bantuan badan-badan dunia. Dulu, menurut Thou Thon, kehidupan mereka lebih baik. Ketika itu para pengungsi masih di wilayah Kamboja. Dan mereka tak tergantung uluran pihak luar, walaupun perang berkecamuk. Mereka mencukupi kebutuhan sendiri: menghasilkan makanan, menjualnya atau membarterkannya untuk mendapat barang yang diinginkan. Barang-barang itu dibawa oleh para penyelundup perbatasan. Merekalah yang menguasai perdagangan, sebelum semua orang itu dikurung dalam kamp pengungsian. Kini para penyelundup beralih kerja: menjadi perampok. "Kamp sudah kelewat padat," kata Thou Thon di barak bambu yang dihiasi dengan gambar Son Sann. "Tak ada tempat buat berolah raga. Tak ada tempat buat sekolah. Tak ada tempat buat menanam sayuran. Kami masing-masing hanya punya 33 m, enam orang dalam setiap rumah." Mereka juga kekurangan air. Buat mandi? "Orang-orang tak bisa mandi." Sering mereka berkelahi hanya lantaran berebut sejengkal tanah yang dianggap bisa ditanami tanaman. Saudara, ini Kamboja. Bangsa yang tercabik-cabik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus