Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas media sosial awalnya memanfaatkan akun anonim untuk mencari teman baru.
Pemilik akun di bawah umur berinteraksi di dunia alter, komunitas berahi media sosial.
Dari tahun ke tahun, kian banyak anak-anak yang menjadi korban.
PERBEDAAN zona waktu menjadi tantangan bagi pegiat di Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Kepala Sub-Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online SAFEnet, Ellen Kusuma, mengatakan advokasi terhadap korban kekerasan seksual daring kerap terhambat karena perbedaan jam kerja dengan pengelola media sosial di Amerika Serikat dan Eropa. “Mereka tak memiliki tim yang bekerja 24 jam,” katanya, Jumat, 28 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ellen bersama timnya di SAFEnet, lembaga advokasi perlindungan digital, harus bergerak cepat begitu menerima laporan korban kejahatan seksual di Internet. Umumnya yang diadukan adalah penyebaran foto atau video intim. Ini bisa berupa foto atau video romantis yang dibuat untuk koleksi pribadi tapi bocor ke pihak lain ataupun adegan intim yang direkam tanpa setahu korban alias nonkonsensual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka melaporkan akun yang menyebarkan konten itu ke admin media sosial. Jika video itu ditemukan di situs porno, tim SAFEnet meminta pengelola menghapusnya. “Kami sampai membuatkan template laporan korban dalam bahasa Inggris,” ujar Ellen.
Cara ini diharapkan meringkas proses pelaporan. Mereka berkejaran dengan waktu agar penyebaran video intim itu tak makin luas di jagat maya. Tim juga kerap beradu argumentasi dengan content moderator untuk menghapus isi video jika bukti yang diajukan dianggap tak cukup.
Jika langkah pencegahan ini terhambat, SAFEnet berkoordinasi dengan tim pengaduan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Cara ini cukup ampuh karena Kementerian Komunikasi berwenang mengatur lalu lintas Internet di Tanah Air.
Hingga April 2021, Kementerian sudah memblokir sekitar 1 juta situs porno dan ratusan ribu akun media sosial. “Terkait dengan pornografi, kami menggunakan Undang-Undang Pornografi. Kalau website, mesin kami bisa mencari dan langsung memblokir,” ucap Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan.
Jika video sudah dihapus atau penyebar akun bisa dinonaktifkan, pekerjaan tak lantas selesai. SAFEnet menyadari aktivitas dunia maya selalu meninggalkan jejak digital. Karena itu, mereka mengedukasi korban untuk membuat laporan baru ke pengelola situs bila masih ditemukan video atau foto yang sama di kemudian hari.
Penyebaran video intim nonkonsesual merupakan modus yang paling sering terjadi belakangan ini. SAFEnet menyebutkan pelaku membuat video ini dengan merekam secara diam-diam. Mereka menggunakan kamera telepon seluler atau kamera tersembunyi.
Dengan beragam motif, pelaku menyebarkan video tersebut lewat akun anonim di Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, Google, dan TikTok. Video-video itu kemudian menyebar ke akun lain. “Di masa pandemi ini penyebaran video porno makin luas,” ujar Ellen.
Dari penelusuran Tempo, ada banyak akun, khususnya di Twitter, mengunggah video rekaman adegan intim yang diklaim diperagakan remaja Indonesia. Ini sesuai dengan data SAFEnet yang mencatat korban penyebaran video nonkonsesual didominasi kelompok usia muda. “Usia remaja memang kelompok yang paling rentan dieksploitasi karena mudah diiming-imingi sesuatu,” kata Ellen.
Di berbagai platform media sosial itu pula para pelaku mencari mangsa. Menurut Semenjani, admin di akun alter base Twitter (akun yang menampilkan sisi lain pengguna dan kerap menyembunyikan identitas asli), seorang temannya pernah menjadi korban pemerasan seksual dengan memanfaatkan rekaman video intim atau sextortion baru-baru ini. Keduanya berkenalan di media sosial, lalu berjumpa di dunia nyata.
Hubungan keduanya makin intim. Sang pria diam-diam merekam adegan mesra mereka. Ia menggunakan video itu agar korban selalu menuruti kemauannya. Jika tidak dituruti, ia mengancam menyebarkan video tersebut. “Pelaku kerap meminta korban membelikan sesuatu,” ucap Semenjani.
Perempuan 21 tahun asal Jawa Tengah ini mengakui akun alter base sering menjadi awal terjadinya kekerasan seksual. Sejumlah remaja disebut kerap memanfaatkan akun alter untuk mencari kenalan baru di media sosial.
Akun ini “memfasilitasi” anak-anak muda yang mencari teman bercerita, pasangan, hingga partner aktivitas seksual. Mereka menggunakan akun anonim untuk menyembunyikan identitas asli. Usia mereka berkisar 19-25 tahun. “Tapi ada juga yang berumur 15-16 tahun,” kata Semenjani.
Twitter menjadi media sosial favorit akun-akun ini. Dari pantauan Tempo, ada puluhan akun alter aktif hingga kini. Tiap akun diikuti ribuan hingga puluhan ribu akun anonim. “Dunia alter dimanfaatkan untuk melampiaskan sensualitas yang tidak bisa disampaikan lewat akun dengan identitas asli di media sosial,” tutur seorang pengelola akun alter base lain yang menolak identitasnya disebutkan.
Semenjani mengatakan korban kekerasan seksual online juga dialami remaja pria. Ia memiliki teman pria di “dunia alter” yang pernah menjadi korban. Temannya itu berkenalan dengan seseorang yang mengaku sebagai perempuan. Saat keduanya berkomunikasi lewat video call, sang pria memperagakan aktivitas seksual sambil menampakkan wajah. Komunikasi itu ternyata diam-diam direkam. “Dia diminta uang Rp 1 juta supaya video itu tak disebar,” ucapnya.
Salah seorang korban pemerasan menggunakan konten intim adalah Bella—bukan nama sebenarnya. Ia pemilik akun alter @a****a**m dengan pengikut sekitar 15 ribu. Saat menjadi mahasiswa beberapa tahun lalu, ia pernah diperas oleh kakak kelasnya untuk berhubungan badan. Kakak kelas itu mengetahui aktivitas Bella di dunia alter. “Dia mengancam akan mengungkap foto-foto dan akun alter gue ke teman kampus,” katanya. Takut identitasnya dibongkar sehingga berdampak pada kuliahnya, Bella menuruti permintaan kakak kelas itu.
Bella juga menjadi korban ketika foto sensualnya dipakai orang lain untuk menipu di Instagram. Modusnya, pelaku membuat akun memakai foto Bella dan memasang tarif kencan semalam dengannya.
Dia tak menyangka akan menjadi korban kekerasan seksual. Alasan Bella memasuki dunia alter adalah ia dihinggapi rasa minder atas tubuhnya. Ia memanfaatkan akun anonim untuk mengunggah berbagai foto sensualnya dan berharap mendapat apresiasi dari orang lain. “Gue pakai foto-foto untuk diapresiasi. Butuh pengakuan bahwa badan gue bagus,” ujarnya.
Kekerasan seksual online kian memprihatinkan karena belakangan anak-anak sering menjadi korban. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat korban kekerasan seksual online seperti sextortion berasal dari usia beragam. “Namun sejumlah pelajar di bawah umur pada usia SMP dan SMA juga turut menjadi korban,” kata Semuel Abrijani Pangerapan. “Tren usia korban sekarang makin muda.”
Semuel menjelaskan, anak muda rentan menjadi korban kasus sextortion ketika hubungannya dengan sang pacar berakhir. Bekas pacar kemudian memanfaatkan video atau foto sensual dengan beragam ancaman. Pada 2018-April 2021, Kementerian Komunikasi menangani 23 kasus pemerasan seksual. “Jiwa muda lagi pacaran, senang-senang. Begitu putus, ada ancaman,” ucapnya.
DIKO OKTARA, DINI PRAMITA, MITRA TARIGAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo