Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara bukit-bukit kering Kurdistan yang membujur cokelat, enam laki-laki berjalan kaki dari jauh. Tiap orang menggendong sebuah papan tulis yang bertengger di punggung, mirip sayap hitam yang tegang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka guru. Kurus, kumal, berdebu, mereka menelusuri daerah perbatasan yang kosong dan rusak selama perang Iran-Irak. Mereka mencari murid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan seperti itu, momen surealistis yang ditampilkan sutradara Samira Makhmalbaf dalam film Takhté siah (Blackboards, Papan Tulis), membawa kita ke sebuah cerita tentang sejarah yang bisu dan keras, tapi juga sebuah alegori tentang sesuatu yang disebut “pendidikan”.
Waktu itu bom dan senjata kimia membuat desa-desa dan sekolah hancur. Anak-anak tak tentu rimbanya. Guru-guru kehilangan tempat bekerja, bahkan kehilangan kerja itu sendiri. Yang tersisa cuma segala yang absen. Kelas tak bermurid, peran yang lenyap, nafkah yang hilang. Raison d’être yang tak ada lagi. Hanya tinggal papan tulis.
Papan tulis, kita tahu, adalah tempat guru menuliskan ajaran dan murid menyimak. Teknologi bersahaja itu memungkinkan pemberian dan penerimaan ilmu berlangsung. Akhirnya blabag kayu ini tak terpisahkan dari sang pengajar. Ia jadi penandanya yang pertama dan penghabisan, seperti bendera dalam sebuah suasana hancur. Film Makhmalbaf dengan mengharukan menegaskan itu.
Tapi teknologi, ruang kelas, dinas pendidikan, bahkan guru, betapapun pentingnya, tak sepenuhnya mewakili proses pendidikan. Dalam film Papan Tulis, guru-guru yang malang itu harus menemukan satu elemen penting lagi: murid.
Said, dengan muka ceking dan lapar, sudah tiga hari berjalan. Tapi tak seorang pun murid ia dapat. Ia masuk ke sebuah desa yang kehilangan penghuni. Pintu-pintu rumah setengah terbuka setengah waswas. Said berteriak menawarkan jasanya—seperti tukang sol sepatu menjajakan keterampilannya dari gang ke gang. Tapi tak ada respons. Atau, jika ada: Tidak, kami tak ingin belajar baca-tulis. Dan diam.
Said mulai menyesal, ia tak mau mendengarkan nasihat ayahnya dulu agar jadi penggembala. Di perjalanan itu, setengah putus asa, ia tak habis-habisnya membujuk—kadang-kadang cerewet dan ngotot—tiap orang yang ditemuinya. Suaranya yang tanpa energi penuh anjuran, seperti penyebar agama yang menawarkan surga: belajarlah menulis, agar bisa melihat dunia.
Tapi di perbatasan yang cedera itu, di antara langit keras dan ranjau-ranjau tersembunyi, siapa yang tertarik melihat dunia?
Seorang guru yang lain, Reeboir, akhirnya bertemu dengan serombongan remaja. Anak-anak itu memanggul beban dari bukit ke bukit, selalu bergegas, ketakutan. “Kami bagal,” kata salah seorang dari mereka. Dengan tanpa kegetiran ia menyebut diri keledai pengusung barang para penyelundup, bagal yang mencoba menerobos perbatasan, sembunyi-sembunyi.
Sebagaimana halnya Said, Reeboir menawarkan jasanya sebagai guru. “Kalian akan bisa baca banyak cerita,” katanya. Anak-anak itu tak tertarik. Seorang dari mereka menjawab: “Aku sudah punya banyak cerita.”
Tapi ia menceritakan sebuah pengalaman, bukan dongeng masa kecil. Tanpa imajinasi, tanpa warna, tanpa kehangatan. Ia seperti mengulang laporan: suatu ketika ia bertengkar dengan temannya karena seekor kelinci yang disiksa dan tentang daging yang tak dibagi. Tak ada yang dramatis. Tapi mungkin pengalaman yang banal itu satu-satunya pertaliannya dengan masa lalu: dulu, ia pernah jadi anak, bukan bagal.
Dari rombongan itu Reeboir hanya memperoleh seorang murid, yang juga bernama Reeboir. Yang lain menolak. Mereka tak butuh guru. Seorang anak berbisik bahwa semua anggota kelompok itu sebenarnya bisa baca-tulis, tapi tak mau mengaku.
Reeboir tak mengecek benarkah demikian. Tak sempat. Tak lama kemudian mereka harus mencoba menyusup—dengan berjalan merangkak bersama domba-domba yang lewat. Tapi sia-sia. Di saat mereka beristirahat, tentara perbatasan (mungkin pasukan Iran, mungkin pasukan Irak, sama saja) menembaki mereka. Reeboir roboh, persis ketika ia baru selesai menulis namanya sendiri di papan tulis. Reeboir si guru tersungkur. Papan tulisnya menutupi jasadnya.
Papan Tulis mungkin cerita tentang sejarah yang berjalan mundur. Di lembah berbatu-batu purba itu, masa kanak-kanak tak ada lagi; yang ada hanya anak-anak—dan mereka ini pun berjatuhan mati di ujung cerita. Yang bertahan serombongan lelaki tua, tempat Said bergabung.
Di bagian ini kita lihat beberapa puluh aki-aki Kurdi berjalan mencari perbatasan, untuk pulang ke tempat nenek moyang. Tertatih-tatih, semua tetap terus. Said, yang kemudian jadi pemandu, tentu tak mendapatkan kesempatan mengajar. Satu-satunya murid yang ogah-ogahan seorang janda dengan anak satu, yang menurut kehendak ayahnya dalam rombongan itu harus dinikahi. Halaleh tak banyak bicara. Said mendesaknya belajar dan tiap kali menilainya. Di papan tulis hanya ada kalimat yang harus dilafalkan: “aku mencintaimu”.
Akhirnya mereka sampai di perbatasan. Said tak bisa ikut. Ia bukan dari wilayah itu. Ia terpaksa ceraikan istrinya. Papan tulisnya ia berikan sebagai syarat perpisahan—dan kita, penonton, seakan-akan diberi tahu: papan tulis, membaca, menulis, berhitung, guru, akhirnya tak ada gunanya.
Tapi mungkin saya salah. Papan tulis itu tetap berfungsi, tapi bukan seperti di ruang kelas. Pendidikan tetap berlangsung, juga bagi Guru Said dan Reeboir, tapi bukan di sekolah. Sekolah hanya mengungkung guru dan murid dengan rencana. Pendidikan di alam perbatasan yang telanjang itu, tanpa struktur, tanpa hierarki, luwes, justru bisa lebih memperkaya badan dan jiwa. Ivan Illich, dalam Deschooling Society, menyebut sepatah kata kunci: conviviality—suasana belajar yang akrab, santai, di mana manusia bisa tumbuh, lebih mandiri.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo